13 Serikat Pekerja Kecewa DPR Sahkan Perpu Cipta Kerja


 



------

PEDOMAN KARYA

Senin, 03 April 2023

 

 

13 Serikat Pekerja Kecewa DPR Sahkan Perpu Cipta Kerja

 

 

Oleh: Achmad Ramli Karim

(Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan)

 

Perlu diketahui bahwa awalnya DPR sudah mengesahkan RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 silam, walaupun dalam proses pembahasan antara Pemerintah dengan Parlemen (DPR) diiringi protes dan penolakan.

Pada prosesnya, RUU yang kemudian menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini dinyatakan “Inkonstitusional Bersyarat” oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagai penggantinya, Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 lalu, mensahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, sebagai pengganti UU Cipta Kerja 2020.

Tiga bulan kemudian, pada 21 Maret 2023, DPR melalui Rapat Paripurna kembali secara resmi menyetujui penggantian Perpu No. 2 Tahun 2022 tersebut menjadi UU Cipta Kerja.

Sebagaimana diketahui bahwa Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU No. 11 tahun 2020, tentang Cipta Kerja, yang dinyatakan “Inkonstitusional Bersyarat” melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

“Tindak lanjut Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tersebut perlu segera dilakukan oleh Pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi pelaksanaan investasi, baik domestik maupun asing, yang telah berkomitmen untuk melakukan investasi setelah terbitnya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Investasi tersebut tentu akan menambah lapangan kerja yang luas bagi masyarakat,” kata Yasonna, di Universitas Sumatera Utara, Jumat (4/2/2022).

Sebagaimana publik mengetahui bahwa UU Cipta Kerja (UU No. 11/2020) telah mengalami pengujian formil di MK, dan pada 25 November 2021, MK menjatuhkan putusan perkara Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam amar putusan tersebut dinyatakan bahwa pembentukan “UU tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.

Kemudian Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi “inkonstitusional secara permanen”. (http://bpsdm-dev.kemenkumham.go.id).

Dikutip dari “Integrity” (Indrayana Center For Government Constitution, And Society) - Sekarang dengan disahkannya Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang ada 13 (tiga belas) Serikat Pekerja kecewa, karena presiden belum siap memberikan keterangan.

Melalui kuasa hukumnya Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, 28 Maret 2023, melaksanakan sidang dalam perkara uji formil Perppu Cipta Kerja dengan nomor perkara 14/PUU-XXI/2023, dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden.

Namun ternyata di dalam persidangan, pihak pemerintah menyampaikan permohonan untuk menunda sidang dengan alasan keterangan Presiden belum siap untuk dibacakan.

“Menurut pihak pemerintah, permohonan penundaan disampaikan kepada majelis hakim konstitusi atas permintaan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, karena keterangan Presiden belum siap untuk dibacakan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan,” ujar M. Raziv Barokah, kuasa hukum pada perkara nomor 14/PUU-XXI/2023 dan Senior Associate INTEGRITY Law Firm.

Perkembangan terakhir, pada 21 Maret 2023 lalu, DPR melalui sidang paripurna telah menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang.

Mengingat Perppu Cipta Kerja ditetapkan Presiden pada tanggal 30 Desember 2022, maka Perppu Cipta Kerja harus mendapat persetujuan pada masa sidang DPR terdekat yang jatuh pada tanggal 10 Januari 2023, sampai dengan 16 Februari 2023. Akan tetapi sampai pada tanggal 16 Februari 2023 Perppu Cipta Kerja tidak mendapatkan persetujuan DPR.

Artinya, DPR telah luput bahwa masa sidang untuk menyetujui Perppu Cipta Kerja sudah terlewati dan oleh karenanya melanggar ketentuan (Pasal 52 Ayat (2) UU PPP), atau Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, tentang perubahan kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah disetujui oleh DPR pada 24 Mei 2022, dan ditandatangani oleh Presiden pada 16 Juni 2022 lalu.

Penerbitan Perpu Ciptaker sendiri, sudah cacat sejak kelahirannya. Di samping tidak bisa menghadirkan argumentasi yang kokoh atas syarat konstitusional “kegentingan yang memaksa.”

DPR akhirnya tidak memberikan persetujuan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mensyaratkan Perppu harus disetujui DPR pada masa sidang berikutnya, dan harus dicabut jika tidak mendapatkan persetujuan DPR masa sidang berikutnya.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 52 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) adalah, “… masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan.”

Itu artinya sudah dilewati pada tanggal 16 Februari 2023 yang lalu. Dengan demikian menyetujui Perppu Ciptaker pada masa sidang DPR sekarang, Presiden dan DPR nyata-nyata melanggar norma UU PPP yang mereka buat sendiri.

“Dan yang lebih membahayakan dengan ringan tangan melanggar ketentuan UUD 1945,” pungkas Prof Denny Indrayana SH LLM PhD, sebagai salah satu kuasa hukum pada perkara nomor 14/PUU-XXI/2023 dan Senior Partner INTEGRITY Law Firm.

Fakta di atas semakin memperkuat alasan bahwa tidak ada unsur kegentingan yang memaksa dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja. Lewatnya masa atau tenggang waktu DPR dalam memberikan persetujuan atas Perppu Cipta Kerja menunjukan bahwa Perppu Cipta Kerja ini telah cacat secara formil dalam pembentukannya.

Perppu Cipta Kerja yang tidak disahkan hingga masa sidang DPR berikutnya berakhir seharusnya dicabut dan dinyatakan batal demi hukum.

Alasan adanya kegentingan yang memaksa adalah Bohong Besar, karena nyatanya tidak ada kebijakan pemerintah yang harus segera dikeluarkan demi kepentingan rakyat banyak kecuali untuk melayani oligarki, bahkan justru dengan mengorbankan rakyat banyak termasuk kaum buruh/pekerja.

“Dengan gagalnya DPR memberi persetujuan pada masa sidang terdekat semakin menguatkan bahwa kegentingan memaksa itu benar-benar tidak ada, karena masa sidang terdekat itu faktanya memiliki waktu cukup lama yaitu 35 hari yaitu dari tanggal 10 Januari hingga 16 Februari 2023, dan tidak juga berhasil membuahkan persetujuan DPR atas Perppu Cipta Kerja tersebut,” tutup Moh Jumhur Hidayat, sebagai salah salah satu Pemohon pada perkara nomor 14/PUU-XXI/2023, dan Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). (INTEGRITY) - Jakarta, 28 Maret 2023. (bersambung)

 

Dua Fraksi Menolak

 

Sebagai catatan kaki, Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang RUU Cipta Kerja ini ditolak oleh dua Fraksi, yaitu; Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS, bahkan microphone juru bicara Fraksi Demokrat dimatikan saat membacakan alasan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja tersebut.

DPR telah menunjukkan ketidak-berdayaannya dengan menyetujui Perpu No. 2 Tahun 2022 menjadi UU Cipta Kerja, sementara RUU-nya dinyatakan “Inkonstitusional Bersyarat” oleh MK.

Ada apa dengan DPR begitu gampang menyetujui dan mensahkan suatu regulasi yang inkonstitusional? Akankah Omnibus Law Memungkinkan Indocina Menjadi Kenyataan?

Omnibus Law adalah sebuah konsep yang menggabungkan secara resmi (amandemen) berupa peraturan perundang-undangan menjadi satu bentuk UU baru. Ini dilakukan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi dan memangkas masalah dalam birokrasi yang dinilai menghambat pelaksanaan dari kebijakan yang diperlukan.

Sebenarnya konsep Omnibus Law tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang berpedoman pada Pancasila sebagai sumber hukum materiil maupun formiil. Konsep Omnibus Law atau juga dikenal dengan Omnibus bill sendiri, umumnya digunakan di negara yang menganut sistem " Common Low " atau sistem kapitalisme seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi.

Sejak beberapa kali penggantian dari RUU Cipta Kerja menjadi UU (Inkonstitusional) lalu menjadi PERPU kemudian disahkan kembali menjadi UU, sepertinya fungsi DPR (legislatif) hanya sebagai alat pengesahan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Karena UU Cipta Kerja tidak banyak berubah secara signifikan, substansinya masih sama.

Jika di jabarkan, UU Cipta Kerja ini terdiri atas 11 klaster pembahasan dengan beberapa poin di dalamnya, yaitu: penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenaga kerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan rizet dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, investasi dan proyek pemerintahan, kawasan ekonomi.

Dari 11 klaster seperti disebut di atas, terdapat beberapa klaster yang dapat menjadi celah untuk memperkuat ekspansi dagang kapitalis (pemilik modal) dan mempermudah pelayanan (izin) bisnis oligarki dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Termasuk penguasaan lahan dalam jangka waktu panjang (konsesi) dengan alasan kawasan bisnis.

Istilah Omnibus Law disebut oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pertamanya setelah dilantik menjadi Presiden untuk kedua kalinya pada Oktober 2019 silam.

Jokowi menyebutkan bahwa pemerintah juga meyakini Omnibus Law akan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia sehingga bisa memperkuat perekonomian nasional.

Alasan pemerintah membuat Omnibus Law lantaran sudah terlalu banyak regulasi yang dibuat. Tak jarang satu regulasi dengan regulasi lainnya saling tumpang tindih dan menghambat akses pelayanan publik, serta kemudahan berusaha, sehingga membuat program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai.

Kalau kita cermati mulai dari ide gagasan awal sampai proses pembahasannya yang banyak menimbulkan kontroversi dan penolakan publik, sangat tampak dipaksakan untuk segera di sahlan oleh DPR. Sehingga dapat diduga kalau ada kepentingan bisnis kelompok yang membutuhkan perlindungan hukum (legal standing).

Percepatan pengesahan UU Cipta Kerja yang terkesan keburu-buru dan dipaksakan, dapat menimbulkan kecurigaan publik jika ada kepentingan kelompok tertentu (oligarki) yang sangat mendesak.

Adakah kepentingan bisnis dan ekspansi dagang negara kapitalis (pemodal) yang bersifat kolonialisme? Hanya waktu yang akan menjawabnya.***

 

……..

Penulis: Drs. Achmad Ramli Karim SH MH, Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Anggota AP3Knl Sul-Sel, Alumni PMP/PKn Angkatan 81 IKIP UP, Alumni FH 92 UMI Makassar.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama