Merancang Forum Seni Internasional

Makassar Arts Forum 1999 (MAF-99) dan Makassar Dance Festival (MDF) 1997, serta beberapa peristiwa lainnya merupakan suatu rangkaian gagasan dan wujud yang saling berkesinambungan adalah proses ke arah tematik kesenian.


-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 18 Maret 2024

 

Merancang Forum Seni Internasional

 

Oleh: Halim HD

(Networker-Organizer Kebudayaan)

 

Jarang sekali sosok yang akan saya singgung ini memberikan tanggapan ketika saya coba kontak dia melalui WA. Tapi, nampaknya berita pelantikan DKSS (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan) baru-baru ini menggugah dirinya bahkan respons berita pelantikan itu ditanggapi dengan lumayan antusias dan kritis.

Antusiasme Firman Jamil (FJ), perupa instalasi kelas internasional yang sejak dua puluh tahun terakhir ini memasuki dunia senirupa antarbangsa memberikan tanggapan, bahwa sudah saatnya Makassar kembali menapakkan dirinya ke dalam jejaring antarbangsa berkaitan dengan kesenian dalam wujud suatu forum.

Lalu FJ yang tak cukup dikenal di dalam negeri sebagai perupa namun memiliki jejaring internasional ini menyatakan bahwa suatu forum kesenian internasional sangat kita butuhkan supaya kita bisa menciptakan interaksi, dialog dan mengukur diri kita, sejauh manakah karya kesenian dalam berbagai jenis disiplinnya bisa dikaji melalui komparasi wujud karya dan sekaligus perbincangan kritis dalam perspektif sejarah dan kajian ilmiah.

Saya tak cukup punya ingatan data yang lengkap tentang kapan terakhir suatu forum kesenian berskala internasional diselenggarakan di Makassar. Saya dengar dan sekali saya pernah hadir pada acara sastera, Makassar International Writer Festival, tapi tampaknya festival ini tak cukup punya gaung di antara persaingan peristiwa sastera yang telah mendahuluinya, seperti di Ubud-Bali, Riau, Sumatera Barat, Yogyakarta dan beberapa festival sastera lainnya yang saling susul menyusul.

Dunia sastera memang salah satu poin kesenian yang lumayan banyak mengisi peristiwa di Tanah Air, seperti juga senirupa moderen-kontemporer yang menjadi pelatuk terpenting di dalam pengembangan kebudayaan dalam konteks industri kreatif, yang dimotori oleh pelaku senirupa di Yogyakarta, Ubud, Denpasar, Bandung, Jakarta.

Di Makassar telah juga dicoba diselenggarakan Biennale Makassar (BM), tapi nampaknya terseok-seok dalam tematik justru karena ketiadaan organisasi payung yang sungguh-sungguh dikelola secara profesional oleh mereka yang memahami dunia senirupa dalam perspektif dan konteks lokal yang bersifat historis. Titik kelemahan organisasi sangat kuat, disamping ketergantungan dana.

Salah satu segi tematik kesejarahan Biennale Makassar membawa konsekuensi logis tentang perlunya sosok kompeten dalam praktek kesenirupaan. Pada sisi lainnya, Biennale Makassar yang juga secara tematik mengalami kejumbuhan tema antara kerangka sosial kesenian yang bersifat kemasyarakatan dengan apa sesungguhnya suatu kerja tradisi yang ada di dalam masyarakat. Bagaikan LSM-NGO’s, Biennale Makassar memasuki praktek sejenis KKN mahasiswa yang turun ke lapangan, dan sekadar ada acara dan sebuah laporan disusun.

Kembali kepada sodoran gagasan FJ yang soliter dalam kerja kesenian, dan berharap Makassar membuka kembali sejarah jejaringnya dan menguak kondisi yang telah memasuki kejumudan lebih satu dekade terakhir ini, nampaknya perlu kita renungkan dan butuh suatu tanggapan dialogis, diskusi dan sejumlah pertemuan untuk mengasah pemikiran.

Kita tahu, setelah Makassar Arts Forum 1999 (MAF-99) dan didahului oleh Makassar Dance Festival (MDF) 1997, dan beberapa peristiwa lainnya yang merupakan suatu rangkaian gagasan dan wujud yang saling berkesinambungan merupakan proses ke arah tematik kesenian.

Hal inilah sesungguhnya yang menciptakan arus dan gelombang dan menjadi gema kebudayaan. Setelah itu beberapa sosok aktivis LSM-NGO’s berupaya membangkitkan MAF, namun gagal untuk merumuskan pemikiran secara konkret. Kegagalan itu terletak pada simplifikasi cara berpikir yang menganggap bahwa kesenian bisa diselenggarakan jika ada lembaga yang menaunginya.

Berulang kali pertemuan diselenggarakan dan macet oleh ketiadaan pemahaman tentang kerja kesenian yang bersifat personal dan sosial yang tak pernah bisa dirumuskan oleh sekadar adanya lembaga dan instruksi.

Secara kritis Firman Jamil meragukan kelembagaan yang dipusatkan kepada sosok kampus. Kesenian membutuhkan sosok independen yang memiliki komitmen dan daya eksploratif di dalam proses kerja.

Kritik Firman Jamil mungkin ada benarnya, tapi saya punya kritik juga kepada FJ, bahwa masalah ke-independen-an bisa ada pada sosok mana saja, sejauh hal itu bisa kita uji di lapangan. Di antara sodoran gagasan Firman Jamil dan kritiknya, sekali lagi, kita butuh dialog, diskusi dan pertemuan yang intens untuk merumuskan dan merancang kerangka kerja kesenian.

Dalam konteks ini barangkli ada baiknya jika DKSS menjadi fasilitator dan menjembatani relasi antar-seniman dan pelaku kebudayaan ke arah silaturrahim kultural yang berkesinambungaan dan secara periodik. Dalam silaturahim kultural inilah para seniman dan pelaku kebudayaan bisa melontarkan gagasan dan konsep masing-masing.

Namun ada baiknya, jika kita belajar dari lintasan sejarah yang masih kita ingat, seperti yang saya sampaikan di bagian atas, bahwa silaturrahim kultural itu tak hanya sampai pada diskusi tapi juga ada praktek yang ikut mendahului dan bisa menjadi pemicu untuk diskusi dan dialog berikutnya.

Seperti sebelum MAF-99 yang didahului oleh peristiwa Senirupa Koran, MDF-97 dan puluhan acara-acara yang tersebar yang memicu dorongan gagasan lain untuk disatukan dalam rangkuman konsep peristiwa.

Satu catatan lain yang penting harus kita perbincangan disini bahwa tak akan ada forum internasional yang menggemakan Makassar dan Sulsel, jika kita tak lebih dulu untuk berusaha melacak potensi khasanah senibudaya lokal dalam kaitannya dengan usaha kita menjadikan khasanah itu sebagai referensi dan sekaligus basis material penciptaan dan penyajian khasanah yang yang bersifat konservasi.

Hal ini penting agar kita tak sekedar menyelenggarakan acara yang bersifat turistik, yang belakangan ini punya kecenderungan kuat di dalam peristiwa kesenian. Dari sini pula DKSS melalui Badan Riset-Kurasi-Advokasi serta komite-komite keseniannya untuk meriset dan mengumpulkan data potensial yang bisa diaktualkan ke dalam proses uji coba.

Uji coba inilah yang perlu kita selenggarakan bukan hanya penting dalam aspek artistik-estetika saja tapi juga uji coba berkaitan dengan tata kelola kesenian, aspek manajerial, pengorganisasian secara keseluruhan. Melalui uji coba itulah, sambil mengolah data lokal kita juga menghimpun data kesenian dari luar Sulsel. Disinilah tugas riset dan kurasi bisa berjalan.

Kasus MAF-99, Senirupa Koran-98 dan MDF-97 menjadi memiliki gema peristiwa bukan hanya karena media massa menyampaikan kepada publik di Sulsel dan di Indonesia. Tapi suatu peristiwa kuat kaitannya dengan bagaimana memilih momentum, memilih waktu yang tepat untuk menciptakan gema peristiwa.

Tematik desentralisasi pada MAF-99, tematik Reformasi pada Senirupa Koran-98 dan jejaring koreografer muda Indonesia pada MDF-97 menjadi bahan perbincangan masyarakat kesenian di Indonesia. Dengan kata lain, ada kaitan kuat antara suatu tematik dengan momentum serta rumusan kurasi yang ikut mengiringi dan membingkai suatu karya.

Memperbincangkan kesenian dalam proses dialogis dan diskusi tak harus dengan tata cara formal. DKSS bisa merancang suatu forum perbincangan, forum dialog yang santai dan bisa diselenggarakan tanpa beban birokratis.

Yang dibutuhkan adalah, siapakah kiranya dari DKSS yang bisa secara intensif dan konsisten untuk menjadi fasilitator dan sekaligus penghimpun lontaran gagasan. Tim kerja kecil yang solid dan memahami problematika kesenian yang actual dan juga bersifat penjajakan dalam konteks bahwa di dalam kesenian ada elemen “spekulatif” yang sangat dibutuhkan, yang justru bisa memicu proses kreatif dan menjadi karya kontemporer atau pengembangan khasanah tradisi.***


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama