Badaruddin Amir dan Buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia”

 



PEDOMAN KARYA

Sabtu, 19 April 2025

 

Badaruddin Amir dan Buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia”

 

Oleh: Rusdin Tompo

(Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Sulawesi Selatan)

 

Saya teramat jarang berinteraksi dengan Badaruddin Amir, yang telah mendedikasikan hidupnya pada jagat kepenulisan dan gerakan literasi. Sekalipun saya tahu, selain sebagai guru, dia merupakan penulis yang tekun.

Dia menulis di koran, Majalah Dunia Pendidikan, blog, dan berbagai platform digital. Karyanya berupa esai, puisi, cerpen, dan artikel kebudayaan menjadi bukti baktinya.

Dari sanalah saya sedikit mengenalnya. Belum lagi aktivitas lapangannya sebagai pustakawan dan penggerak komunitas sastra.

Komunikasi saya dengan Badaruddin Amir yang intensif hanya terjadi ketika beliau menghubungi saya melalui media sosial, terkait rencana penerbitan buku direktori penyair Indonesia. Kami berteman di Facebook (FB).

Pak Badar, melalui inbox Facebook (sekarang messenger), menyampaikan rencana pembuatan buku direktori penyair. Lelaki kelahiran Barru, 4 Mei 1962 itu, lalu meminta saya membuat bionarasi singkat.

Beliau, kala itu, dipercaya sebagai salah seorang kurator untuk Sulawesi Selatan. Kurator lain adalah Goenawan Monoharto, penulis, fotografer, dan pemain teater.

Jadi, Pak Badar ini kurator (Barru) dan Pak Goen kurator (Makassar) yang melakukan identifikasi dan pemetaan nama-nama penyair yang akan diusulkan.

*

Saya bertemu Badaruddin Amir pertama kali secara langsung ketika beliau menghadiri acara diskusi buku kumpulan puisi karya Muhammad Amir Jaya, di Makkareso, Jalan Bau Mangga III, tahun 2016. Makkareso (Makassar Creative Society) merupakan komunitas yang saya dirikan bersama Dr Syahriar Tato dan Rahmat Soni Daeng Romo.

Sebagai tuan rumah, tentu kami berupaya menyambut semua tetamu dengan ramah. Di Makkareso, yang merupakan kediaman Pak Syahriar Tato itu, kami sempat bertegur sapa.

Sekilas, tangkapan mata saya bisa merekam dengan baik ciri dirinya: rambut uban pada bagian pucuknya dan berkacamata, sebagai tanda kegemaran membaca. Bukan cuma faktor “U” (usia).

Saya, dalam diskusi yang dikerjasamakan dengan Balai Senator DPD RI itu, bertugas sebagai moderator. Jadi saya fokus dan sedikit sibuk karena mesti memastikan acara berlangsung lancar.

Balai Senator ini adalah sebutan untuk lembaga dari Bapak Dr H Ajiep Padindang, yang menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, Periode 2014-2019.

Ajiep Padindang yang punya komitmen memajukan kesenian dan kebudayaan, nanti terpilih kembali sebagai senator asal Sulawesi Selatan di Senayan untuk periode kedua (2019-2024).

Bisa jadi, dari kegiatan di Makkareso itu Badaruddin Amir mereken saya. Apalagi dia bisa melihat semua aktivitas saya di beranda FB. Demikian simpulan pikiran saya yang ke-GR-an he..he..he..

Era Makkareso, harus diakui menjadi titik awal saya masuk dalam lingkaran kesenian. Meski seni selalu jadi bagian dari metode saya dalam membangun kesadaran kritis bersama anak-anak di dunia NGO. Namun brand saya sebagai pemerhati isu anak lebih menonjol dibanding kegiatan seni, khususnya sastra.

Bagaimana tidak. Di Makkareso, kami bikin acara baca puisi kemudian mempostingnya di Facebook. Tentu saja, baca puisi dengan hidangan kopi dan pisang goreng. Sesekali dengan menu bakso dan jalangkote. Nyaris sore tidak dibiarkan lewat begitu saja tanpa acara baca puisi.

Salah satu acara pembacaan puisi itu kami beri nama “Sajak-Sajak Merdeka”, guna memperingati HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2016. Kami juga tour ke STKIP YAPTI, Jeneponto, menggelar “Jappa-Jokka Makkareso” dengan mengadakan pembacaan puisi di halaman kampus, di bawah rimbun rumpun bambu.

Semangat Makkareso menghidupkan kegiatan sastra, membuat kami mengadakan macam-macam acara. Peluncuran dan diskusi buku penyair M. Amir Jaya, bahkan dua kali diadakan. Selain yang sudah saya ceritakan tadi, ada pula diskusi buku kumpulan cerpennya.

Pada tanggal 26 September 2016, lagi-lagi kami keluar markas, menggelar diskusi novel La Galigo karya Idwar Anwar di Graha Pena, atas dukungan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi Selatan.

DPK Provinsi Sulawesi Selatan juga menjadi mitra kami saat mengadakan Peringatan “1 Tahun Kepergian Rahman Arge”. Untuk mengenang aktor dan penulis kawakan ini, Makkareso mengadakan lomba baca puisi, esai, dan sketsa wajah Rahman Arge.

Bendera Makkareso juga saya bawa ketika mengelola program acara “Pappasangta” di RRI Pro4 Makassar. Acara baca puisi setiap malam Jumat ini, membuat perkenalan dan jejaring saya dengan penulis, penyair, sastrawan, dan pegiat literasi kian luas.

Momen ini semakin menarik saya pada ekosistem gerakan literasi. Apalagi, saya sudah putuskan untuk concern sebagai penulis profesional.

Pertemuan kedua saya dengan Badaruddin Amir terjadi saat kegiatan Hari Puisi Indonesia (HPI) di Teater Arena Gedung Kesenian Societeit de Harmonie Jalan Riburane, Makassar. Dia hadir saat peluncuran buku “Kata-Kata yang Tak Menua” (Garis Khatulistiwa, Juli 2017).

Terdapat 74 nama penyair Sulawesi Selatan dalam buku yang digagas oleh Benteng Penyair Makassar dan Sastra Kepulauan ini. Kurator buku ini terdiri atas Asia Ramli Prapanca, Mahrus Andis, Nawir Sultan, dan Goenawan Monoharto.

*

Ketika saya diajak membuat bionarasi untuk buku direktori penyair Indonesia, buku kumpulan puisi saya baru dua, yakni “Tuhan Tak Sedang Iseng” (Rayhan Intermedia, 2014) dan “Sehimpun Puisi Mantra Cinta” (Liblitera, 2016).

Sungguh, tak pernah membayangkan nama saya akan tercetak dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia” (ASPI), yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia, September 2017. Nama saya berada di antara lebih 40an penyair asal Sulawesi Selatan.

Buku yang disusun secara alfabetis itu, menempatkan nama saya berada di halaman 533. Perlu diketahui, terdapat lebih 650 penyair yang tertera namanya di buku ASPI ini.

Nama-nama besar penyair Indonesia bisa dilihat di daftar isi. Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Arifin C Noer, Armijn Pane, Chairil Anwar, Djenar Maesa Ayu, D Zawawi Imron, Eka Budianta, Joko Pinurbo, Jose Rizal Manua, Goenawan Mohamad, Isbedy Stiawan ZS, JE Tatengkeng, Nirwan Ahmad Arsuka, Nirwan Dewanto, Remy Sylado, Sinansari ecip, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Toety Heraty Nurhadi, dan Yudhistira ANM Massardi.

Dari Sulawesi Selatan, terdapat deretan nama antara lain, Aspar Paturusi, Asdar Muis RMS, Anil Hukma, Asia Ramli Prapanca, Aslan Abidin, Aan Mansyur, Bahar Merdhu, Ho En Dji, Husni Djamaluddin, Mahrus Andis, M. Anis Kaba, Mariati Atkah, Muhary Wahyu Nurba, Nawir Sultan, Udhin Palisuri, dan Yudhistira Sukatanya.

Editor buku ini adalah Maman S Mahayana, akademisi dan kritikus sastra, sedangkan kuratornya terdiri dari beberapa penyair kawakan Tanah Air. Mereka adalah Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Rida K Liamsi, Ahmadun Y Herfanda, dan Hasan Aspahani.

Dalam pengantar buku ini dikatakan bahwa Yayasan Hari Puisi merasa perlu menerbitkan buku ASPI dengan tujuan--terutama--memberi apresiasi kepada para penyair kita, baik yang baru muncul dan tumbuh berkembang, maupun yang sudah almarhum.

Tujuan lainnya adalah sebagai usaha pendataan, seberapa banyak bangsa Indonesia melahirkan penyair, berapa banyak pula buku puisi yang sudah terbit, bagaimana pula pemetaan penyair kita di berbagai kota di Indonesia, dan seterusnya dan seterusnya (halaman vii-viii).

Nama saya tetap tercantum pada edisi revisi buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia”, yang terbit bulan Desember 2018. Kata “tetap” saya tulis lantaran dalam buku cetakan kedua ini, ada sejumlah nama tak lagi terlihat, dan ada nama-nama baru yang masuk.***

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama