Cermin Goresan Berjiwa

Setiap individu yang disebut kiai atau ustadz juga sastrawan dan yang lainnya, berarti telah mendapatkan kepercayaan besar dari masyarakat atau publik untuk berperan secara terang-terangan dalam ruang kehidupan bersosial. - Maman A. Majid Binfas - 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 06 Mei 2025

 

Cermin Goresan Berjiwa

 

Oleh: Maman A. Majid Binfas

(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)

 

Ahad siang, lebih kurang pukul 11:17, dan kemudian satu jam setelah dijapri oleh Ustadz Asnawi Aminuddin, baru saya buka whatsapp yang berinbok, yakni:

[4/5 10:18] Asnawin Aminuddin: “Artikelnya agak pendek dan terasa lempang, bukan gaya seorang Maman A. Majid Binfas, he..he..he...”

Lebih lanjut, beliau berkomentar melalu Japrinya; “Saya coba menyelami dan membuat beberapa tambahan kalimat dan paragraf.”

Lalu, saya kontak langsung mengatakan memang bukan goresan saya, hanya meneruskan tulisan bung Najamuddin Petta Solong.

Terimakasih, Ustadz Asnawin atas / telah mengenal molekul akan karakter dari model gaya diksi dalam merakit goresan saya.

Adapun, topik tulisan bung Najamuddin Petta Solong yang dimaksud, yakni: “Kebiadaban Israel: Minta Tolong, Tapi Tetap Menyerang” (Pedoman Karya, Mei 04, 2025). Bahkan tulisan ini, karena yang dikirim oleh penulisnya tanpa menulis namanya, dan saya teruskan apa adanya dengan memberi keterangan sebagaimana blok profil sebelumnya.

Kesan serupa yang pernah terjadi, yakni tepatnya tanggal 02 September 2022, sekalipun berbeda konteksnya. Namun, berkaitan dengan kepolosan dan kejujuran Ustadz Asnawin Aminuddin. Dan mungkin eloknya, saya hangatkan kembali mengenai goresan yang bertopik “Gelar pun Ditunggangi”, yakni sbb:

***

“Posisi kiai atau ustadz adalah mandat sosial yang diberikan kepada seseorang yang dianggap layak dan bisa diteladani. Termasuk, pemberian predikat budayawan, sastrawan, agamawan, dan lainnya, yang menjadi tokoh ikon publik.

Keputusan dalam memberikan status tersebut, berada di tengah masyarakat dan dianggap mampu serta mumpuni menjadi seorang pemimpin di tengah masyarakat.

Setiap individu yang disebut kiai atau ustadz juga sastrawan dan yang lainnya, berarti telah mendapatkan kepercayaan besar dari masyarakat atau publik untuk berperan secara terang-terangan dalam ruang kehidupan bersosial.

Peran sosial tersebut, otomatis membuat kiai atau budayawan menjadi sosok sentral di tengah masyarakat atau publik dan menjadi ikonnya. Tidak terkecuali, kepada siapapun menjadi pemimpin atau ilmuwan yang dianggap pantas digelarin demikian.

Sama halnya, budayawan dan sastrawan/penyair itu lahir dari pemberian publik juga oleh kalangan intelektual yang memahami kadar kemampuannya kepada yang dinilainya pantas dan mumpuni.

Bukan penilaian berpredikat tersebut di atas, itu hadir dari penilaian oleh diri sendiri, jujur saya secara pribadi saja, merasa canggung diberi oleh teman dengan gelar budayawan dll.

Bahkan budayawan berkelas di Eropa, telah menulis predikat mengenai diri saya, dan saya justru yang masih merasa asongan dalam menggoreskan sesuatu. Misalnya, budayawan Australia, di antaranya Geoff Fox (2020) menulis tentang saya, yakni sbb:

“Reflecting upon American passion for freedom and the role America played in 1944 and 1945 in ending Japanese colonialism in Indonesia, Jakarta poet Maman A Majd Binfas sent me the above Indonesian words.”

Kemudian, setiap saya mengirim goresan narasi atau opini di media publik, baik bersifat online maupun offline, selalu tanpa menyebut predikat dan bertitelan. Namun, setelah diterbitkan justru muncul tambahan diberikan oleh tim redaksi media tersebut. Di antaranya, saat saya mengirim tulisan di Pedoman Karya (Agustus, 2022) tentang “Kapolri Momongin Peluru Cinta” dan saya tanpa mengikutsertakan predikat gelar dan bahkan foto, serta nama saya pun tidak dicantumkan. Tetapi, setelah diterbitlan muncul predikat nama dan foto tanpa saya duga, dan hal itu menjadi hak prerogatif media bersangkutan.

Kemudian, muncul penilaian, baik pujian atau mungkin juga boleh jadi cemoohan dari pembaca, dan hal yang wajar. Misalnya, ada komentar dari alumni pascasarjana tertanggal 15/8 06:34, Ahsin Jakarta: Keren..... pak Maman Akademisi budayawan sastrawan...

Kemudian, saya komentar lebih kurang begini: “Itu yang menulisin predikat demikian tentang saya, adalah redaksi pedoman karya pak Ahsin, termasuk yang mendesain fotonya mereka ambil di medsos

Saya, hanya mengirim narasinya aje__ dan saya tetap berstatus penulis asongan”

Lalu, Ahsin: Top, Penulis proposional pak, maaf, bp selalu merendah__

Kemudian saya menjawab: Sebenarnya, saya sangat malu dgn predikat begitu bung Ahsin, boleh lihat di buku-buku yang saya tulis dan jurnal pun, tidak pernah menulis titel dan predikat apapun, terkecuali orang atau pembaca yang menilai/memberinya.

Dan komentar tersebut, kemudian saya teruskan kepada Pemimpin Redaksi Pedoman Karya, Asnawin Aminuddin, dan beliau menjawab: “alhamdulillah... apresiasi itu.”

Saya balas coment: “waduh, apresiasi atau nyeleneh urusan penilaian pembacanya.”

Tetapi, saya kaget juga dengan predikat yang diberikan oleh jurnalis senior yang telah memahami karakter dan penjiwaan akan wujud karya diidentikkan dengan penulisnya. Dan itu langka, juga tidak mudah kalau tidak didasari lintang pukang pengalaman dan kecerdasan tinggi yang terukur__ini mungkin tidak menggurui sang jurnalis senior yang bernama Asnawin Aminuddin... mesti diakui dan tanpa bisa diingkari oleh siapanpun mengenai hal ini. Sekalipun, antar kota, kita tetap bertautan saling menyapa tanpa titelan di dalam berkarya.

 

Karya Berjiwa Bukan Titelan

 

Dalam sub topik ini, akan nukilan kembali tentang goresan saya, baik di dalam pengantar buku maupun artikel lepas lainnya.

Hampir semua pakar dalam berkarya apapun, adalah hasil ekspresi pribadi untuk diungkapkan secara logika guna didesain menjadi pengetahuan. Esensi ekspresi karya tersebut, bisa berakar dari denyutan bisikan emosional terdalam maupun simbol-simbol dirupakan dari rasa terilhamkan, sehingga berjiwa yang diaktualisasikan secara nyata.

Aktualisasi diri dilogikakan sehingga terbentuk atau berwujud karya sebagai upaya untuk mendesain eksistensi pikiran pribadi melalui ungkapan atau gerakan sehingga berbentuk ciptaan__

Apapun, dinamakan karya cipta adalah sebuah perwujudan dari perenungan yang mendalam, dari seorang pencipta karya, baik berupa seni budaya maupun buku serta karya ilmiah lainnya. Namun, di dalam narasi ini saya hanya menukilkan goresan untuk dihangatkan kembali karya berkaitan dengan domain ilmiah alamiah.

Kehadirannya, baik berupa buku atau artikel apapun bukan sekadar goresan dari tumpukan google Copy pastean, tetapi menjadi harkat diri penulis itu sendiri. Terutama, tentang cermin kevalidan data tanpa plagianisme an sich yang menodainya.

Jadi, kehadiran sebuah karya itu mesti berjiwa bukan karena titelan yang dikedepankan, tetapi berjiwa yang dijiwai menjadi cermin jati diri penulis itu sendiri!

Wallahu alam.

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama