------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 25 Mei 2025
Gugur Bunga Bukan
Maut Hitam
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Mungkin diksi topik ini. terkesan agak
menohok guna menggelitik di dalam menguliti durasi kematian, baik ditakdirin
maupun atas kerdurjanaan dari duraai perbuatan sendiri yang mesti dituai.
Diksi “Gugur Bunga” berawal dari
judul lagu karya Ismail Marzuki, bermakna yang sangat mendalam, yaitu
tentang penghormatan dan pengingatan terhadap para pahlawan yang gugur
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lagu ini menyiratkan rasa sedih
dan kehilangan, namun juga semangat nasionalisme dan cinta Tanah Air.
Lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki,
diciptakan pada awal kemerdekaan, diperkirakan tahun 1945 hingga penyerahan
kedaulatan pada akhir 1949. Adapun, lirik lagu Gugur Bunga lengkap, saya kopipaste
saja di pasar Google yang bertebaran, yakni:
“Betapa hatiku takkan pilu // Telah gugur
pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih // Hamba
ditinggal sendiri
Siapakah kini pelipur lara // Nan setia
dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati // Pembela
bangsa sejati
Telah gugur pahlawanku // Tunai sudah
janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu // Tanah Air jaya
sakti
Gugur bungaku di taman bakti // Di
haribaan pertiwi
Harum semerbak menambahkan sari //
Tanah Air jaya sakti"
Lirik lagu Gugur Bunga ini, pernah
dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru karena dianggap memiliki nuansa
politik yang negatif. Pada masa itu, pemerintahan Orde Baru memiliki
kebijakan yang sangat ketat terhadap ekspresi seni dan budaya yang dianggap
dapat mengganggu stabilitas.
Namun, larangan beredar tersebut, tidak
berlangsung lama, dan lagu tersebut kembali populer serta menjadi simbol
penghormatan kepada para pahlawan. Bahkan ketika meninggal, Ibu Tien Soeharto,
isteri pemimpin Orde Baru pun dinyanyikan terus di stasion radio dan TV
berhingga suaminya mantan Presiden pun demikian juga.
Dan lirik lagu gugur bunga tersebut,
tentu berbeda dengan esensi kematian yang berakibat dari wabah maut hitam yang
bergerombolan, dan hampir tidak dilirikan juga dengan melodinya.
Maut Hitam Bergerombolan
Tepatnya tanggal 30 September 2024, di Pedoman
Karya, dan Gema Jakarta, serta dalam buku saya “Mamonisme;
Doridungga hingga BJ Habibie dalam Diksi bernada Cinta”, juga menggores
tentang Bercermin dalam Maut Hitam. Dan untuk menghangatkan kembali, saya
nukilkan kembali cuplikannya, termasuk maut hitam Covid bernomoran.
Jejak Virus Corona / Covid 19, terkesan
ditimpakan pada dunia tahun 2020, yang bermula di Kota Wuhan, Provinsi Hubei,
Tiongkok. Awalnya terindikasi hanya 3 orang yang tewas di Wuhan. Mereka
diindikasikan tersebut, setelah menderita pneumonia yang disebabkan virus
tersebut tepatnya terjadi pada 01 Februari 2020.
Kemudian merambat hingga ke seluruh dunia,
dan sungguh menghebohkan. Di sisi lain juga, menghasilkan bisnis vaksinasi yang
sungguh fantastis, termasuk di Indonesia yang dipelopori oleh pemerintahnya.
Berhingga berakhir 2021 yang dirangkum
oleh World Health Organization (WHO) mengumumkan angka resmi jumlah korban
pandemi Covid-19 selama kurun 2020-2021. Berdasarkan data lembaga ini, ada
sekitar 14,9 juta orang, atau dalam kisaran lebih luas yakni 13,3-16,6 juta
orang, meninggal akibat pandemi Covid-19.
Namun, kesan dikorbankan oleh wabah Covid
29, belum seberapa dibanding dengan wabah Pes menjadi maut hitam di Eropa pada
abad ke-14, berjumlah 50 juta orang.
Berdasarkan data ringkasan dari seluruh
web dan Pustaka Pengetahuan melalui Google_AI (29/9/2024), dimaksudkan dengan
Wabah Pes adalah infeksi yang sebagian besar menyebar ke manusia melalui kutu
yang terinfeksi yang berpindah melalui tikus. Disebut sebagai Wabah Hitam.
Maut Hitam adalah pandemi wabah pes yang
terjadi di Eropa dari tahun 1346 hingga 1353. Wabah ini merupakan salah satu
pandemi paling mematikan dalam sejarah manusia. Sebanyak 50 juta orang
meninggal. Mungkin 50% dari populasi Eropa saat itu. Namun, esensi dari maut
hitam, kematian ini tidak dinyatakan mati bergerombolan.
Mati Gerombolan
Mati karena maut hitam atau akibat dari
bencana apapun , memang tidak layak dibilangin selama jalan gerombol durjana.
Sekalipun mereka juga biadab kebajingan
yang kebejatan di dalam kesuperkeiblisan luar biasa berhingga binasa.
Bagi muslim yang beriman lillahi ta’ala
secara tulen cukup berucap sebagaimana hadits Rasulullah Saw yang dinukilkan
HR. Muslim: 5121 yang artinya:
“Hai Abu Jahal bin Hisyam, hai Umaiyah bin
Khalaf, hai Utbah bin Rabi'ah, hai Syaibah bin Rabi'ah, bukankah kalian telah
menemukan kebenaran janji tuhan tuhan kalian, sesungguhnya aku telah menemukan
kebenaran janji Rabb-ku yang dijanjikan padaku ...”
Manakala, mungkin bila boleh diandaikan
kandungan hadits di atas, dengan konteks perdukunan kesyirikan beserta para
penggemarnya.
Hai para pelaku kesyirikan bukankah kalian
telah menemukan kebenaran janji para dukun kalian yang menjadi tuhanmu,
sesungguhnya aku telah menemukan kebenaran janji Rabbku yang dijanjikan padaku.
Sekalipun kesan hadits tersebut tetap
beresensi sama, namun biarkan saja, ia bermakna sesuai kadarnya sendiri, tanpa
dicampuri dengan penodaan dari diksi kebejatan oleh para munafikun tulen.
Mereka yang suka jadi pelakon kesyirikan
dengan tulen dan juga nan selalu mengingkari ayat-ayat Tuhan, sekalipun mereka
sering mengorasikan dan ditadarusinnya.
Biarkan hadits dan ayat ayat Tuhan
mengalir dengan apa adanya saja.
Biarkan Saja
Biarkan si dungu berdiskusi sesuai kadar
didengarnya, jangan paksakan secara akademis pula!
Biarkan pengais aksesoris menghias diri
bertopengan, jangan paksakan tampil tertampak apa adanya!
Biarkan saja para pendewa dunia bersandiwara,
jangan paksakan berakrobat ideologis keakhiratan berfirdausin !
Biarkan saja para pemuja Harut dan Marut
berwara-wiri berkhianat, jangan paksakan siuman di dalam berdagelan
kesilumananan sihirnya.
“Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini
bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah
baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (Q.S. al- Baqarah : 102)
Biarkan saja para penyihir bertebaran dan
terkaparan, jangan paksakan ketenangan di dalam merasakan pedihnya bara api
membara tanpa ampunan!
Kini. di dunia telah dirasakannya dan
biarkan saja hingga terkuburin sampai berkiamatan bermaut hitam tanpa
diiringi dengan lirik lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki, bertaman
kalam,__Wallahualam.
