Literasi Bukan Sekadar Membaca dan Menulis: Pesan Prof. Andi Sukri Syamsuri di Hari Pendidikan Nasional

Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga medium berpikir—bahasa menentukan bagaimana seseorang memahami dunia dan menyusun konsep-konsepnya. Maka, bahasa yang digunakan dengan bebas, jujur, dan kritis akan menjadi wahana penting bagi proses emansipasi intelektual yang ditekankan Ki Hajar Dewantoro. Prof Andi Sukri Syamsuri -

 

------

PEDOMAN KARYA

Kamis, 01 Mei 2025

 

Literasi Bukan Sekadar Membaca dan Menulis: Pesan Prof. Andi Sukri Syamsuri di Hari Pendidikan Nasional

 

Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 02 Mei 2025, kami meminta pandangan seorang dosen Guru Besar Bidang Ilmu Linguistik (Bahasa Indonesia) yang kini menjabat Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Prof Andi Sukri Syamsuri.

Prof Andis yang lahir di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan tahun 1971, menempuh pendidikan mulai dari sekolah dasar di SDN 29 Bontouse, Wajo, sekolah menengah pertama di SMPN Tanasitolo, sekolah menengah atas di SPG Negeri Sengkang Wajo.

Selanjutnya pendidikan diploma (D3) di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah Bugis IKIP Ujung Pandang, pendidikan sarjana (S1) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Unismuh Makassar, pendidikan magister (S2) Jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dan pendidikan doktoral (S3) Program Studi Linguistik (Bahasa Indonesia) di Unhas Makassar.

Sebelum menjabat Wakil Rektor I Unismuh Makassar, Prof Andis, sapaan akrab Prof Andi Sukri Syamsuri, pernah menduduki jabatan Dekan FKIP Unismuh Makassar dan Wakil Rektor II Unismuh Makassar.

Berikut petikan wawancara wartawan Pedoman Karya, Asnawin Aminuddin, dengan Prof Andi Sukri Syamsuri:

Tanya: Prof, sebagai seorang akademisi dan penulis, bagaimana Prof memaknai Hari Pendidikan Nasional dalam konteks perkembangan bahasa dan literasi di Indonesia?

Prof. Andis: Setiap tanggal 2 Mei, kita bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap Ki Hajar Dewantoro. Namun, peringatan  ini sejatinya lebih dari sekadar seremonial.

Ini adalah moment penting mengevaluasi arah dan capaian pendidikan kita, terutama dalam aspek yang menjadi fondasi utama pembangunan bangsa:bahasa dan literasi.

Bahasa Indonesia sebagai simbol identitas nasional, memainkan peran sentral dalam menyampaikan ilmu, nilai budaya, serta membentuk karakter genarasi muda. Namun, kemampuan literasi dasar masyarakat Indonesia masih memprihatinkan.

Menurut survei PISA tahun 2018, Indonesia menduduki peringakat 72 dari 77 negara dalam kemampuan membaca. Ini artinya sinyal yang diberikan kepada bangsa ini bahwa peningkatan literasi adalah pekerjaan besar sebagai kawah candradimuka anak negeri.

Di sisi lain, transformasi digital yang berlangsung cepat menghadirkan tantangan dan peluang sekaligus. Teknologi membuka akses  luas terhadap sumber belajar, tetapi juga menuntut inovasi dan kecerdasan  baru yang disebut literasi digital.

Data terbaru dari We are Social (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 200 juta penduduk Indonesia kini terhubung ke internet, sebagian besar melalui ponsel. Namun, akses tidak selalu berbanding lurus dengan pemahaman.

Maraknya Hoaks dan misinformasi menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya siap secara literatif untuk memilah informasi digital secara kritis. Maka dari itu, literasi di era ini tidak hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan memahami, menganalisis, dan bertindak berdasarkan informasi yang benar.

Hari Pendidikan Nasional Bangsa Indonesia di era digital perlu dimaknai sebagai himbauan dan komitmen untuk memperkuat budaya literasi dari berbagai dimensi dan lini: Sekolah, Keluarga, hingga Paguyuban.

Pendidikan bukan lagi tanggung jawab ekslusif lembaga formal, tetapi menjadi tanggung jawab kolektif. Bangsa dan masyarakat Indonesia perlu dibekali dengan kecakapan literasi menyeluruh agar dapat berpartisipasi secara aktif dan bijak dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan menanamkan kesadaran ini, kita bukan hanya menghormati spirit Ki Hajar Dewantoro, tetapi juga  menyiapkan generasi yang tangguh menuju Indonesia Emas dan menghadapi kompleksitas dan kekompetitoran zaman.

 

Tanya: Dalam pandangan Prof., seberapa besar peran bahasa Indonesia dalam membentuk karakter dan jati diri bangsa melalui dunia pendidikan?

Prof. Andis: Bahasa Indonesia memiliki peran vital dalam membentuk karakter dan identitas bangsa, terutama di era digital saat ini. Sebagai bahasa pengantar utama dalam pendidikan, bahasa Indonesia memungkinkan pemerataan pengetahuan di seluruh wilayah Indonesia.

Namun, kemajuan teknologi dan globalisasi telah membawa tantangan baru, seperti dominasi bahasa asing di platform digital dan pergeseran gaya bahasa generasi muda yang lebih informal dan sering tidak sesuai kaidah. Hal ini berisiko menurunkan kualitas literasi serta mengaburkan identitas kebahasaan nasional.

Lebih jauh, media sosial dan konten digital memengaruhi cara berbahasa masyarakat, terutama generasi muda. Penggunaan bahasa yang tidak baku dalam komunikasi daring, meski menunjukkan kreativitas, juga berpotensi melemahkan fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pembentukan karakter.

Oleh karena itu, dibutuhkan strategi pendidikan yang mampu mengintegrasikan pembelajaran bahasa Indonesia dengan literasi digital.

Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu berkolaborasi dalam memperkuat peran bahasa Indonesia melalui pelatihan, pengembangan konten edukatif, serta kampanye kesadaran bahasa untuk menjaga eksistensinya di tengah arus digitalisasi.

 

Tanya: Di tengah derasnya arus globalisasi dan penggunaan bahasa asing, bagaimana posisi dan tantangan bahasa Indonesia dalam pendidikan tinggi saat ini?

Prof. Andis: Di tengah derasnya arus globalisasi dan dominasi bahasa asing, terutama bahasa Inggris, dalam berbagai sektor kehidupan, posisi bahasa Indonesia dalam pendidikan tinggi menghadapi tantangan signifikan.

Sebagai bahasa nasional dan pengantar utama dalam sistem pendidikan Indonesia, bahasa Indonesia berperan penting dalam menjaga identitas budaya dan memfasilitasi proses transfer pengetahuan. Namun, fenomena penggunaan bahasa asing yang semakin meluas, baik dalam literatur ilmiah maupun komunikasi akademik, dapat mengancam eksistensi dan peran bahasa Indonesia dalam ranah akademik.

Dominasi bahasa asing dalam publikasi ilmiah dan materi ajar berisiko mengurangi penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks akademik, sehingga menghambat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan konteks lokal.

Sebagai contoh, dalam penelitian yang dilakukan oleh Septia Rizqi Nur Abni dkk. (2025), ditemukan bahwa dominasi bahasa Inggris dalam literatur akademik menimbulkan kekhawatiran terhadap penggunaan bahasa Indonesia, terutama di bidang pendidikan, teknologi, dan ekonomi. Adanya pergeseran preferensi penggunaan bahasa asing, khususnya di kalangan generasi muda, berpotensi mengikis identitas nasional yang melekat pada bahasa Indonesia.

Selain itu, perkembangan teknologi digital dan media sosial turut memengaruhi dinamika penggunaan bahasa Indonesia di kalangan generasi muda. Munculnya kosakata baru, singkatan, dan jargon yang tidak baku di platform digital dapat mengurangi kualitas literasi dan pemahaman bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Fenomena ini menuntut institusi pendidikan tinggi untuk beradaptasi dengan pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan literasi digital dan penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai kaidah.

Penting bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan kurikulum yang tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga memperkuat kompetensi bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi ilmiah dan budaya.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Idawati dkk. (2024), ditemukan bahwa kurangnya penggunaan bahasa Indonesia dalam dunia digital dan kurangnya sumber daya untuk mengembangkan bahasa Indonesia menjadi tantangan dalam mempertahankan relevansi bahasa Indonesia di era globalisasi.

Menghadapi tantangan ini, diperlukan strategi yang komprehensif untuk memperkuat peran bahasa Indonesia dalam pendidikan tinggi. Upaya tersebut meliputi pengembangan kebijakan bahasa yang mendukung penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi ilmiah, pelatihan bagi dosen dan mahasiswa dalam menulis dan berkomunikasi ilmiah menggunakan bahasa Indonesia, serta pemanfaatan teknologi informasi untuk menyebarluaskan karya ilmiah berbahasa Indonesia ke platform digital.

Dengan demikian, bahasa Indonesia dapat tetap menjadi medium utama dalam proses pendidikan tinggi, sekaligus menjaga keberagaman budaya dan identitas nasional di tengah arus globalisasi yang semakin kuat.

Sebagai contoh, dalam penelitian yang dilakukan oleh Mawaddah Warohmah Azhari dkk. (2024), ditemukan bahwa pembelajaran mata kuliah bahasa Indonesia yang berwawasan literasi di perguruan tinggi dapat membantu mahasiswa menghadapi tantangan di era globalisasi dengan meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

 

Tanya: Prof. dikenal sebagai sosok yang aktif menulis dan telah banyak menerbitkan buku. Apa peran budaya menulis dan membaca dalam membangun peradaban bangsa yang berpendidikan?

Prof. Andis: Sebagai penulis dan penerbit buku tapi belum terlalu banyak Pak, he..he.. Tahun ini ada salah satu buku saya “Pappaseng dalam Elompugi”, pesan dalam syair Bugis.

Saya menyaksikan langsung bagaimana budaya menulis dan membaca menjadi pilar utama dalam membangun peradaban bangsa yang berpendidikan. Membaca membuka cakrawala pengetahuan dan memperkaya wawasan, sementara menulis menjadi sarana untuk mendokumentasikan ide dan gagasan yang dapat diwariskan kepada generasi mendatang.

Kedua aktivitas ini tidak hanya penting dalam konteks akademik, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari proses pembelajaran seumur hidup.

Namun, tantangan besar masih dihadapi dalam membudayakan literasi di Indonesia.  Meskipun terdapat peningkatan dalam Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) yang mencapai skor 73,52 pada tahun 2024, melampaui target 71,4 dan hasil tahun sebelumnya yang berada di angka 69,42, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. 

Tingkat Gemar Membaca (TGM) nasional tahun 2024 tercatat mencapai 72,44, masuk dalam kategori sedang dan melampaui target 71,3, serta capaian tahun lalu sebesar 66,7. Namun, angka ini masih jauh dari harapan untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar gemar membaca dan menulis secara aktif. 

Untuk itu, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, untuk memperkuat budaya literasi.

Program-program seperti Gerakan Literasi Desa dan Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS) menjadi kunci untuk memperkuat literasi masyarakat. 

Selain itu, penting juga untuk mengintegrasikan literasi digital dalam kurikulum pendidikan, agar generasi muda tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menyaring dan menghasilkan informasi yang berkualitas. Dengan demikian, budaya menulis dan membaca dapat menjadi fondasi dalam membangun peradaban bangsa yang cerdas dan beradab.

 

Tanya: Bagaimana perguruan tinggi bisa menjadi ruang yang subur untuk menumbuhkan tradisi literasi, baik di kalangan dosen maupun mahasiswa?

Prof. Andis: Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam penguatan budaya literasi di kalangan sivitas akademika, baik dosen maupun mahasiswa. Literasi tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis secara teknis, tetapi juga mencakup kemampuan bernalar kritis, menganalisis informasi, dan menyampaikan ide secara sistematis.

Tantangan yang dihadapi saat ini ialah rendahnya minat baca mahasiswa, sebagaimana ditemukan dalam beberapa studi yang mengungkapkan dominannya preferensi terhadap konsumsi informasi cepat dan visual di platform digital.

Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Pendidikan Adzkia (2024), sebagian besar mahasiswa masih menunjukkan tingkat literasi yang minim, terutama dalam hal pemahaman bacaan mendalam dan kemampuan menulis argumentatif yang kuat.

Agar perguruan tinggi dapat menjadi pusat pertumbuhan literasi yang efektif, maka perlu dirancang pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan literasi ke dalam seluruh proses akademik. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengembangan kurikulum yang menekankan pada keterampilan berpikir kritis, menulis ilmiah, dan literasi digital.

Penguatan infrastruktur penunjang literasi, seperti penyediaan akses terhadap jurnal, perpustakaan digital, serta ruang diskusi akademik juga menjadi aspek penting.

Selain itu, penting bagi institusi pendidikan tinggi untuk memfasilitasi pembentukan komunitas literasi, seperti klub baca, forum bedah buku, serta program pelatihan literasi menulis yang berkelanjutan, sebagaimana diusulkan dalam berbagai model pengembangan literasi di kampus (Situs Budaya, 2024).

Dosen sebagai aktor utama dalam ekosistem perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk menjadi teladan dalam praktik literasi akademik. Dosen yang aktif mempublikasikan karya ilmiah, membaca literatur mutakhir, dan membimbing mahasiswa dalam penulisan ilmiah akan menciptakan atmosfer akademik yang produktif.

Sebagai contoh, salah satu universitas di Indonesia pada tahun 2024 telah mengimplementasikan program penguatan empat literasi utama—yakni literasi data, literasi manusia, literasi teknologi, dan literasi bahasa—sebagai bagian dari pengembangan profesional dosen.

Inisiatif ini menunjukkan bahwa transformasi literasi di perguruan tinggi memerlukan komitmen institusional dan kolaboratif untuk membentuk budaya akademik yang unggul dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

 

Tanya: Sebagai Wakil Rektor I, tentu Prof. banyak terlibat dalam pengembangan akademik dan kurikulum. Menurut Prof., nilai-nilai apa yang seharusnya menjadi roh dari pendidikan tinggi di Indonesia?

Prof. Andis: Menurut saya Pak Ustadz  terkait pertanyaanta bahwa pendidikan tinggi di Indonesia perlu lebih dari sekadar tempat transfer ilmu. Ia harus menjadi ruang pembentukan karakter dan nilai yang mengakar pada identitas kebangsaan dan kebutuhan zaman.

Kurikulum perguruan tinggi idealnya dirancang bukan hanya untuk menghasilkan lulusan yang kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki integritas moral, semangat kebangsaan, dan kepekaan sosial.

Untuk itu, nilai-nilai utama yang seharusnya menjadi roh dari pendidikan tinggi meliputi: Integritas, kejujuran ilmiah, etos kerja dan kemandirian, kritis-progresif, tanggung jawab sosial, serta kebangsaan dan keberagaman.

Salah satu inovasi yang dapat diterapkan adalah integrasi nilai-nilai transformatif dalam semua mata kuliah, baik umum maupun spesifik. Sebagai contoh, mahasiswa teknik dapat diajak merefleksikan dampak sosial dari teknologi yang mereka kembangkan; mahasiswa ekonomi ditantang menilai keadilan sosial dari sistem pasar; dan mahasiswa ilmu sosial diberi ruang untuk membongkar bias struktural dalam kehidupan masyarakat.

Ini dapat dikembangkan dalam kurikulum berbasis nilai (value-based curriculum) yang menyisipkan refleksi etis dan konteks lokal dalam modul pembelajaran, didukung oleh studi kasus yang relevan dan proyek berbasis komunitas.

Lebih jauh, nilai-nilai tersebut tidak cukup diajarkan secara teoritis, tetapi perlu dihidupkan dalam praktik kehidupan kampus. Misalnya, penerapan integritas akademik yang tegas terhadap plagiarisme, pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) di masyarakat, serta penguatan literasi kewargaan (civic literacy) melalui program program terbaru Kementerian Pendidikan Tinggi, Ristek, dan Sains RI.

Dengan menjadikan nilai sebagai poros utama pendidikan tinggi, perguruan tinggi Indonesia tidak hanya melahirkan sarjana yang pintar, tetapi juga berkarakter, adaptif, dan kontributif terhadap pembangunan bangsa dalam bingkai Religiutas yang mapan dan berkualitas.

 

Tanya: Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan yang merdeka dan memerdekakan. Dalam konteks bahasa, bagaimana Prof. melihat kebebasan berpikir dan berekspresi bisa dikembangkan melalui bahasa Indonesia?

Prof. Andis: Menurut saya, gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang memerdekakan menekankan pentingnya kebebasan dalam berpikir, bertindak, dan mengekspresikan diri.

Dalam konteks bahasa, khususnya bahasa Indonesia, kebebasan ini dapat terwujud ketika bahasa menjadi alat untuk merumuskan ide, menyampaikan gagasan, serta membentuk kesadaran dan identitas kebangsaan.

Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga medium berpikir—bahasa menentukan bagaimana seseorang memahami dunia dan menyusun konsep-konsepnya. Maka, bahasa yang digunakan dengan bebas, jujur, dan kritis akan menjadi wahana penting bagi proses emansipasi intelektual yang ditekankan Ki Hajar Dewantoro.

Dalam dunia perguruan tinggi, bahasa Indonesia memiliki peran strategis untuk menumbuhkan budaya akademik yang mandiri dan reflektif. Sayangnya, dominasi bahasa asing di ranah ilmiah sering kali membuat bahasa Indonesia tersingkir dalam diskursus akademik.

Padahal, seperti ditunjukkan oleh Badan Bahasa (2023), peningkatan kapasitas bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dapat diwujudkan melalui pengembangan terminologi ilmiah, publikasi jurnal berbahasa Indonesia yang berkualitas, dan penulisan karya ilmiah yang membumi. Dengan memberikan ruang bagi mahasiswa dan dosen untuk berpikir dan menulis dalam bahasa Indonesia, kita sesungguhnya sedang membangun kedaulatan intelektual.

Kebebasan berpikir dan berkreasi dalam bahasa Indonesia juga dapat difasilitasi melalui metode pembelajaran partisipatif, eksploratif, dan berbasis proyek.

Dalam konteks Kurikulum Merdeka, kebebasan ini dapat dikembangkan lewat penugasan menulis reflektif, debat terbuka, hingga produksi konten digital berbahasa Indonesia. Melalui pendekatan tersebut, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi sarana belajar, tetapi juga wahana kreasi dan ekspresi identitas budaya.

Pendidikan tinggi yang memerdekakan dalam semangat Ki Hajar Dewantara hanya akan tercapai jika bahasa Indonesia ditempatkan sebagai pusat dialektika pengetahuan dan jembatan kebudayaan.

 

Tanya: Terakhir, apa pesan Prof. untuk generasi muda, khususnya mahasiswa, dalam momentum Hari Pendidikan Nasional ini? Terutama dalam hal merawat bahasa, mencintai ilmu, dan membangun bangsa melalui literasi.

Prof. Andis: Tentu pesan buat generasi muda, khususnya mahasiswa, sebagai refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 ini, bahwa bahasa, ilmu, dan literasi sebagai salah  pilar dan kekuatan bangsa kita.

Momentum Hari Pendidikan Nasional, penting bagi generasi muda, terutama mahasiswa, untuk menempatkan bahasa Indonesia, kecintaan terhadap ilmu, dan semangat literasi sebagai landasan utama dalam proses pembangunan bangsa.

Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol persatuan dan representasi identitas nasional. Ketika mahasiswa mampu menggunakan bahasa Indonesia secara tepat dalam konteks ilmiah dan sosial, mereka turut memperkuat karakter kebangsaan di tengah dinamika global.

Kecintaan terhadap ilmu harus dimaknai sebagai bagian dari proses pembelajaran sepanjang hayat. Mahasiswa di perguruan tinggi idealnya tidak hanya menguasai teori, tetapi juga mampu berpikir kritis dan kreatif.

Dalam konteks ini, bahasa Indonesia berperan sebagai sarana penting untuk mengekspresikan pemikiran ilmiah, menyusun karya akademik, dan terlibat aktif dalam wacana intelektual. Dengan memperkuat kapasitas bahasa, mahasiswa dapat menjadi agen perubahan yang visioner dan reflektif.

Literasi, baik dalam bentuk membaca, menulis, maupun berpikir reflektif, adalah instrumen vital dalam membangun masyarakat yang maju dan berdaya saing. Perguruan tinggi seharusnya menjadi ekosistem yang subur bagi pertumbuhan budaya literasi.

Melalui penguatan literasi di lingkungan kampus, mahasiswa tidak hanya mengembangkan potensi akademik, tetapi juga memperkuat kontribusi mereka dalam menciptakan masa depan bangsa yang berkeadaban dan berkualitas.***

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama