------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 06 Mei 2025
Sejarah Kecurangan
dalam Perebutan Kekuasaan
Oleh: Hardianto Haris
(Dosen Universitas Pancasakti Makassar)
Sejarah tentang kecurangan dalam perebutan
kekuasaan penting untuk jadi kajian. Kecurangan dalam perebutan kekuasaan telah
menjadi pola historis dalam merebut kekuasan, sehingga sejarah kecurangan dalam
perebutan kekuasan dapat menjadi pengantar untuk memahami bagaimana kekuasaan
bukan semata hasil dari proses yang adil dan sah, tetapi kerap kali merupakan
produk dari intrik, manipulasi, dan strategi licik yang membungkus ambisi
politik.
Dari kerajaan kuno hingga era digital saat
ini, kecurangan terus bertransformasi dalam bentuk dan instrumen, namun
esensinya tetap upaya memenangkan kekuasaan dengan cara yang menyimpang dari
prinsip keadilan dan etika politik.
Dalam banyak kasus, sejarah kekuasaan
adalah sejarah pengkhianatan. Penggulingan raja oleh saudara kandung, kudeta
militer atas nama stabilitas, hingga rekayasa pemilu oleh penguasa otoriter
semuanya memperlihatkan bahwa kecurangan adalah bagian tak terpisahkan dari
dinamika kekuasaan.
Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga
dalam sejarah dunia, kita menemukan pola yang sama, kekuasaan yang diperoleh
dengan tipu daya cenderung dipertahankan dengan represi, dan hanya akan
digantikan oleh aktor lain dengan modus yang mirip.
Dengan menelusuri sejarah kecurangan dalam
perebutan kekuasaan, kita tidak hanya berupaya mencatat peristiwa, tetapi juga
membedah logika kekuasaan yang melatarbelakanginya.
Mengapa elite politik bersedia
mengkhianati prinsip demokrasi? Bagaimana sistem hukum, lembaga Pemilu, bahkan
agama, kadang digunakan untuk membenarkan kecurangan? Apakah kecurangan dalam
politik adalah anomali, atau justru bagian sistemik dari kontestasi kekuasaan?
Kajian historis ini juga penting untuk
membuka kesadaran kritis bahwa demokrasi bukanlah jaminan otomatis untuk
terciptanya keadilan, apalagi kejujuran. Demokrasi yang tidak dikawal dengan
integritas, pendidikan politik, dan institusi yang kuat, hanya akan menjadi
panggung baru bagi bentuk-bentuk kecurangan yang lebih halus namun tak kalah
berbahaya.
Oleh karena itu, memahami sejarah
kecurangan adalah langkah awal untuk membongkar akar masalah dan merumuskan
solusi jangka panjang karena kontestasi pilkadapun itu merupakan bagian dari
proses ataupun upaya perebutan kekuasaan jangka panjang.
Dalam berbagai peradaban, dari kekaisaran
kuno hingga negara modern, upaya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan
sering kali disertai dengan intrik, manipulasi, bahkan kekerasan.
Studi tentang praktik-praktik semacam ini
tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang dinamika kekuasaan, tetapi juga
menjadi pengingat akan pentingnya institusi dan nilai-nilai demokrasi.
Oleh karena itu, mempelajari sejarah
kecurangan politik dalam kontestasi Pilkada memberikan konteks yang relevan
untuk memahami tantangan kontemporer dalam demokrasi dan tata kelola
pemerintahan.
Banyak fakta historis dan kisah dunia
tentang kecurangan dalam perebutan kekuasaan yang penuh dengan intrik,
manipulasi bahkan sampai pada pembunuhan penguasa demi hasrat manusia untuk
berkuasa yang seringkali mengalahkan etika dan hukum.
Michael Foucault dalam bukunya “Discipline
and Punish” menganggap kekuasaan sebagai fenomena yang bias meresap yang sudah
tersimpul di dalamnya secara intrinsik bersifat jahat dan karenanya
bertentangan dengan kebebasan jenis apapun, kekuasaan bukanlah suatu yang
dimiliki tetapi sesuatu yang dijalankan.
Dalam konteks politik, Niccolo Machiavelli
memandang kekuasan sebagai sesuatu yang cenderung dilanggengkan oleh setiap
penguasa lewat berbagai cara, dan cara apapun yang digunakan tidak menjadi
persoalan asalkan kekuasaan tersebut pada kenyataanya dapat dipertahankan
ataupun direbutnya.
Macchiavelli menuliskan sepanjang sejarah
di dunia ini cara-cara kekerasan dan represi seperti teror, intimidasi,
penculikan, penyiksaan dan pembunuhan dalam mempertahankan dan merebut
kekuasaan kerap kali terjadi. Politik kekerasan banyak diterapkan oleh penguasa
negara untuk mempertahankan dominasi kekuasaan.
Anthony Giddens, dalam teorinya tentang
strukturasi, melihat kekuasaan tidak hanya sebagai dominasi satu pihak atas
pihak lain, tetapi sebagai kapasitas agen untuk “membuat perbedaan” dalam
struktur sosial. Kekuasaan bagi Giddens adalah sesuatu yang ada di semua
hubungan sosial dan terjalin dalam struktur sosial itu sendiri.
Perebutan kekuasaan menjadi sumber
konflik, dari zaman kerajaan kuno sampai era modern, perebutan wilayah, sumber
daya, dan pengaruh telah melahirkan peperangan, penjajahan, dan imperialisme.
Pada masa lalu, batas-batas wilayah
seperti yang kita kenal sekarang belum ada. Konsep teritorial baru berkembang
seiring waktu, membuat masyarakat kuno terus bertarung untuk memperluas
kekuasaan atau mempertahankan tanah mereka. Perang Dunia I dan II adalah puncak
dari konflik global yang diwarnai oleh ambisi kekuasaan tanpa batas.
Perilaku curang, baik dalam bentuk
pertaruhan, pengkhianatan, manipulasi, atau penyalahgunaan kekuasaan,
seringkali merusak integritas moral dan etika politik, serta menghasilkan
ketidakstabilan dan ketegangan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap
sejarah kecurangan dalam perebutan kekuasaan dapat memberikan wawasan yang
berharga tentang kompleksitas politik dan etika manusia.
Sejak zaman kuno hingga masa modern,
perebutan kekuasaan seringkali diperlakukan sebagai medan pertempuran moral dan
etika yang kompleks. Dalam sejarah manusia, terdapat banyak contoh dimana
kecurangan sebagai alat utama untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan.
Pada abad 1 SM – 5 SM, sejarah kecurangan
dalam memperebutkan kekuasaan telah terjadi di Kekaisaran Romawi, yang dimana
Kekaisaran Romawi pada mulanya memiliki sistem pemilihan pejabat (konsul dan
senator), tetapi seiring waktu, Pemilu seringkali dimanipulasi oleh para elite
politik dan militer.
Julius Caesar dan para penerusnya
menggunakan kekuatan militer serta melakukan praktek money politik untuk
memenangkan posisi tertinggi. Sejarah Romawi dan Yunani, dalam persaingan
kekuasaan sering kali diwarnai oleh pembunuhan politik, manipulasi pemilihan,
dan penyalahgunaan kekuasaan.
Menelisik sejarah perebutan kekuasaan di
Benua Eropa tak lepas pula dari tindakan tindakan kecurangan dengan cara
pengkhianatan, konspirasi dan manipulasi politik.
Seperti yang dikenal Wars Of The Roses
(1455 –1487) di Inggris telah terjadi perang saudara antara dua cabang keluarga
kerajaan Inggris, House of Lancaster dan House of York, yang berebut takhta
kekuasaan dengan jalan kecurangan.
Richard III diduga membunuh keponakannya,
Princes in the Tower, untuk merebut kekuasaan pada (1483). Dan pada tahun 1688
terjadi Kudeta Glorius Revolution.
Kudeta tak berdarah yang menggulingkan
Raja James II dan menggantikannya dengan William III dan Mary II dengan bentuk
kecurangan para bangsawan Inggris secara diam-diam mengundang William dari
Oranye untuk merebut takhta, mengkhianati Raja James II.
James II melarikan diri, sehingga dianggap “mengosongkan” takhta, sebuah dalih hukum untuk menggantinya tanpa perang. (bersambung)
.....
Tulisan Bagian 2:
Kecurangan dalam Perebutan Kekuasaan Kerajaan-kerajaan di Indonesia