Kecurangan dalam Perebutan Kekuasaan Kerajaan-kerajaan di Indonesia

HAYAM WURUK. Setelah wafatnya Hayam Wuruk (1389) muncul perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana (menantu) dan Bhre Wirabhumi (anak dari selir). Perselisihan ini meledak menjadi Perang Paregreg (1404–1406), yang melemahkan Majapahit secara politik dan militer. (int)


-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 09 Mei 2025

 

Sejarah Kecurangan dalam Perebutan Kekuasaan (2):

 

Kecurangan dalam Perebutan Kekuasaan Kerajaan-kerajaan di Indonesia

 

Oleh: Hardianto Haris

(Dosen Universitas Pancasakti Makasasr)

 

Perebutan kekuasaan yang penuh dengan kecurangan terjadi pula pada abad ke-15 di Perancis. Louix XI yang dikenal sebagai Raja Laba-Laba karena kelicikannya dalam permainan politik, bersekutu dengan Swiss dengan membujuk untuk menyerang Charles The Bold dari Burgundi.

Setelah Charles tewas di medan Perang Louis XI mencaplok wilayahnya dan memperluas kekuasaan kerajaan Prancis. Begitupun yang dilakukan Napoleon Bonaparte dalam merebut kekuasaan di Prancis.

Napoleon melakukan kudeta 18 Brumaire (1799) yang tak lepas dari tindakan-tindakan kecurangan dengan cara memanfaatkan kekacauan politik dan ketidakstabilan ekonomi, melakukan propaganda dan tekanan militer untuk membungkam para oposisi.

Sejarah perebutan kekuasaan di Benua Eropa telah dipenuhi dengan intrik, pengkhianatan, dan strategi licik. Beberapa pemimpin menggunakan kudeta, konspirasi, dan manipulasi hukum untuk mencapai ambisinya merebut kekuasaan.

Kecurangan dalam merebut kekuasaan tak hanya banyak terjadi di Benua Eropa, akan tetapi beberapa negara di Benua Asia pun memiliki sejarah kelam dalam perebutan kekuasan dengan cara yang curang seperti perebutan kekuasaan Mongol pasca-kematian Genghis Khan (1227).

Kekaisaran Mongol mengalami berbagai konflik internal dan kecurangan dalam perebutan kekuasaan, meskipun sistem suksesi sudah ditetapkan oleh Genghis Khan sendiri dengan cara mewariskan kekuasaan kepada putranya Ogedei Khan, yang secara resmi diangkat sebagai Khan Agung.

Namun, meski penunjukan ini sah, rivalitas antar-keturunan dan keluarga mulai muncul. Banyak bangsawan dan pangeran merasa memiliki hak yang sama atas kekuasaan karena sistem Mongol yang berbasis pada status klan dan kontribusi militer.

Begitupun dituliskan dalam sejarah Islam di Timur Tengah (750 M) pada awal sistim kekhalifaan. Perebutan kekuasaan pun tak terlepas dari tindakan kecurangan, keluarga Umayyah vs Abbassiyah, yang dimana Abbassiyah merebut kekuasaan dari Bani Umayyah dengan jalan konspirasi dan infiltrasi politik.

Khalifah terakhir Umayyah, Marwan II dibunuh. Seluruh keluarga Umayyah dibantai kecuali satu Abd Al-Rahman yang kabur ke Spanyol dan mendirikan kekuasaan sendiri.

Bangsa Indonesia sendiri memiliki sejarah perebutan kekuasaan yang sangat panjang dan kompleks, karena wilayah Indonesia modern terdiri dari ratusan kerajaan besar dan kecil yang memiliki dinamika politik sendiri.

Mulai dari era kerajaan kuno, masa kolonial, hingga Indonesia merdeka, konflik perebutan kekuasaan selalu menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa. Perebutan kekuasaan yang sarat dengan kecurangan dan kekerasan terjadi pada zaman Kerajaan Majapahit yang dikenal kudeta politik dan intrik di dalam istana kerajaan.

Setelah wafatnya Hayam Wuruk (1389) muncul perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana (menantu) dan Bhre Wirabhumi (anak dari selir). Perselisihan ini meledak menjadi Perang Paregreg (1404–1406), yang melemahkan Majapahit secara politik dan militer.

Begitupun pada kesultanan Demak, yang memiliki sejarah intrik berdarah di masa transisi. Setelah Pati Unus gugur dalam ekspedisi ke Malaka, terjadi kecurangan dalam perebutan kekuasaan di internal Kesultanan Demak.

Trenggana (adik Sultan pertama) diduga merebut kekuasaan dengan cara membunuh saingannya Raden Kikin yang dibunuh pada saat sedang berwudhu, yang menunjukkan perencanaan matang dan pengkhianatan.

Trenggana kemudian menjadi sultan ketiga dan membawa Demak ke puncak kejayaannya, namun dengan noda darah di awal pemerintahannya.

Sejarah perebutan kekuasaan tidak hanya dilakukan lewat perang, akan tetapi banyak terjadi politik istana, pengkhianatan, manipulasi spiritual dan diplomasi licik. Pola ini menunjukkan bahwa di berbagai budaya, ambisi manusia atas kekuasan sering melahirkan skenario dramatis dan kelam dalam sejarah.

Seperti yang terjadi pada masa era Orde Baru (1966-1998) dimana Soeharto naik ke puncak kekuasaan (1968) dengan menggunakan posisi di militer untuk meminggirkan Ir. Soekarno dari kekuasaan dengan cara legitimasi diperkuat dengan dukungan militer dan melakukan penekanan pada lawan lawan politik, dan dengan terjadinya perebutan posisi dalam kabinet ABRI, dan Golkar yang berlangsung secara halus tetapi penuh dengan intrik, menekan lawan politik dan membungkam kebebasan pers.

Alhasil Soeharto berkuasa selama 31 tahun dan dikenal sebagai penguasa dengan masa jabatan terlama dalam sejarah Indonesia. Soeharto dijuluki sebagai penguasa Orde Baru, dengan gaya pemerintahan yang sangat sentralistik dan militeristik.

Yang pada akhirnya Soeharto runtuh sebagai penguasa di tahun (1998) karena tekanan aksi demonstrasi para mahasiswa akibat dampak dari krisis ekonomi. (bersambung)


.....

Tulisan Bagian 3:

Perebutan Kekuasaan Tidak Selalu Lewat Kekerasan

Tulisan Bagian 1:

Sejarah Kecurangan dalam Perebutan Kekuasaan

  

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama