![]() |
Metafora “orang buta apabila sudah melihat, maka yang pertama dibuang adalah tongkatnya” menjadi sindiran yang sangat getir dalam politik elektoral. |
-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 07 Mei 2025
Tongkat Pejabat Publik yang Terbuang
(Refleksi atas Etika Politik Electoral)
Oleh: Usman Lonta
Pasca-pelantikan kepala daerah serentak beberapa bulan lalu, ada frasa yang sering lewat di beranda sosial media. Frasa tersebut berbunyi "Orang buta jika sudah melihat yang pertama dibuang adalah tongkatnya.”
Kurang tahu persis apa makna frasa tersebut. Tapi dugaan yang paling masuk akal adalah kecemasan warga terhadap etika politik bagi para pejabat publik setelah mereka memangku jabatan. Warga net mengungkapkan secara satire dengan menggunakan metafora.
Tongkat pejabat publik adalah rakyat, yang menjadi penopang legitimasi kekuasaan dan letitimasi moral. Secara metaforis, “orang buta” melambangkan seseorang yang sebelumnya hidup dalam ketidaktahuan, keterbatasan, atau bergantung pada bantuan orang lain atau alat bantu, dalam hal ini “tongkat”.
Ketika ia “sudah melihat”, itu berarti ia telah mendapatkan pencerahan, pengetahuan, atau kemampuan baru untuk berjalan sendiri. Namun, “yang pertama dibuang adalah tongkatnya” menunjukkan bahwa sering kali, setelah seseorang merasa telah berubah menjadi lebih baik atau lebih kuat, ia justru melupakan, meninggalkan, atau meremehkan hal-hal yang dulu sangat berjasa membantunya.
Jadi, makna metafora ini adalah manusia sering lupa saat berhasil, mereka cenderung meninggalkan orang yang pernah berjasa, melupakan nilai, atau sarana yang dulu menopang mereka di masa sulit. Hal ini bisa jadi kritik terhadap sikap tidak tahu diri, tidak tahu balas budi, atau lupa asal-usul setelah meraih keberhasilan.
Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah tongkat. Mereka yang berada di bawah, yang bersuara di balik kertas suara, adalah tumpuan bagi seorang calon pemimpin untuk melangkah menuju tampuk kekuasaan. Ketika seorang calon kepala daerah atau wakil rakyat sedang “buta”—belum berkuasa, belum punya akses, belum dikenal luas—ia bersandar penuh pada rakyat, mengetuk pintu rumah warga, mencium tangan ibu-ibu pasar, berfoto bersama tukang becak, atau duduk lesehan di mushallah pinggir jalan.
Namun, metafora “orang buta apabila sudah melihat, maka yang pertama dibuang adalah tongkatnya” menjadi sindiran yang sangat getir dalam politik elektoral.
Setelah terpilih, ketika “melihat”—yakni telah mendapatkan jabatan, fasilitas, dan kekuasaan—rakyat sebagai “tongkat” itu kerap ditinggalkan. Kebutuhan dan suara mereka tak lagi didengar, bahkan dianggap beban yang mengganggu agenda kekuasaan.
Pejabat publik yang demikian telah jatuh pada pengkhianatan moral. Ia melupakan bahwa kekuasaannya bukan berasal dari kehebatan pribadinya, melainkan dari legitimasi rakyat. Kondisi Ini adalah bentuk amnesia politik, di mana pemimpin melupakan asal-usul kekuatannya, lupa jalan berdebu yang dulu ia lalui bersama rakyat kecil.
Dalam perspektif filsafat kekuasaan, kekuasaan yang tidak berakar pada ingatan kolektif dan rasa syukur pada rakyat akan kehilangan legitimasi etis. Sementara dalam kerangka sosiologi demokrasi, ini menunjukkan kegagalan transformatif dalam relasi antara pemilih dan yang dipilih—di mana rakyat hanya dijadikan alat sekali pakai dalam lima tahunan yang disebut demokrasi prosedural.
Tongkat sejatinya tidak dibuang, Seorang pemimpin sejati akan tetap menyimpannya, bukan karena ia masih butuh dipapah, tapi karena ia tahu siapa yang pernah menuntunnya di masa gelap. Dalam kekuasaan, itu berarti menjaga nurani, mendengar suara rakyat, dan menjadikan masa kampanye bukan sekadar sandiwara, melainkan janji yang hidup.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, kekuasaan dan rakyat tidak boleh tercerabut. Etika kekuasaan menuntut pejabat publik untuk terus terhubung dengan realitas sosial, menjadikan suara rakyat sebagai kompas kebijakan, dan tetap rendah hati di tengah hiruk pikuk jabatan.
Kita butuh lebih banyak pemimpin yang tidak membuang tongkatnya—yang tahu dari mana ia berasal, dan untuk siapa ia memimpin.
Demokrasi yang sehat lahir dari pemimpin yang tidak membuang tongkatnya, tetapi terus bersandar pada suara-suara yang dahulu menuntunnya menuju tampuk kekuasaan. Wallahu a’lam bishshawab
Sungguminasa, 07 Mei 2025