------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 02 Mei 2025
Catatan Pinggir dari Warkop:
Wartawan Itu
Peneliti dan Penjaga Nalar Publik
Oleh: Andi Pasamangi Wawo
(Ketua Dewan Penasehat PWI Sulsel)
Alhamdulillah, di era digitalisasi saat
ini, media daring bermunculan sangat pesat, bak cendawan tumbuh di musim
penghujan. Kemajuan teknologi ini otomatis melahirkan ribuan pewarta otodidak
baru yang bernaung di berbagai platform media sosial.
Menariknya, banyak dari mereka langsung
mengklaim diri sebagai wartawan. Fenomena ini tentu mengundang pro dan kontra
di tengah masyarakat—baik terhadap penampilan, sikap, maupun produk jurnalistik
yang mereka hasilkan.
Kelompok yang pro merasa diuntungkan
karena bisa memperoleh informasi dengan cepat, tanpa terlalu peduli pada
penggunaan bahasa jurnalistik Indonesia yang ideal: singkat, padat, dan mudah
dimengerti. (Lihat buku merah karya Rosihan Anwar, red.)
Sementara kelompok yang kontra menilai
masih banyak pewarta dan medianya yang keteteran—baik dalam menyusun narasi
redaksi, pemilihan kosakata Bahasa Indonesia yang baik dan benar, maupun dalam
wawasan jurnalistik mereka terhadap isu yang diberitakan.
Itulah hasil pengamatan saya selama ini,
baik melalui obrolan dengan sejumlah pemangku kebijakan maupun dalam diskusi
santai bersama beberapa karib di warkop-warkop yang saya kunjungi belakangan
ini.
Sebagai wartawan yang dianggap cukup
berpengalaman oleh teman-teman, pertanyaan dan pernyataan seputar hal ini
sering saya dengar. Saya pun tak tahu pasti, apakah itu didorong oleh rasa
peduli atau sekadar keingintahuan tentang proses menjadi wartawan dan hakikat
profesi kewartawanan itu sendiri.
Terus terang, saya justru senang. Sebab,
profesi wartawan kini semakin dilirik, diperhatikan, dan diamati oleh
masyarakat—jauh berbeda dibandingkan dua era yang pernah saya lalui sebelumnya:
saat menjadi penyiar radio dan saat bekerja di media konvensional, baik cetak
maupun elektronik.
Biasanya, saya menjawab singkat sambil
berkias, “Semua yang baru, biasanya, berlebihan dalam kekurangannya.”
Saya beri contoh. Ketika kita melihat gaya
hidup orang kaya baru, orang yang baru punya barang mewah, atau mereka yang
baru mulai bekerja dan berprofesi di tempat baru—penampilannya kerap
berlebihan. Bahkan, orang yang baru tamat pendidikan atau baru belajar bela
diri pun kadang terlihat terlalu percaya diri. Tapi bagi saya, itu wajar.
Namanya juga sedang dalam proses.
Yang aneh, lanjut saya kepada teman
ngobrol, adalah ketika seseorang tak mampu beradaptasi dengan hal-hal baru
dalam hidupnya. Apalagi kalau langsung overacting, seolah paling paham soal
profesi barunya.
“Lebih parah lagi,” celetuk saya sambil
tersenyum di salah satu warkop pinggiran kota Makassar, “kalau sudah mau
seenaknya sendiri, tak mau belajar, dan enggan mengikuti aturan main yang
berlaku.”
Karena itulah, saya selalu menyampaikan
kepada teman-teman yang bertanya bahwa setiap kali diberi kesempatan berbicara
dalam pelatihan wartawan—baik kepada calon anggota maupun peserta ujian
kenaikan tingkat di PWI Provinsi Sulsel—saya selalu menitip pesan:
“Fondasi utama seorang jurnalis adalah
memahami artikulasi kata wartawan dalam Bahasa Indonesia, dan itu harus dimulai
dari situ.”
Lalu saya jelaskan lebih lanjut kepada
teman yang serius mendengarkan. Wartawan wajib memahami sejarah pers nasional,
hukum pers, serta praktik jurnalisme yang etis dan profesional.
Selain itu, mereka juga harus sadar bahwa
wartawan sejatinya adalah sosok yang cerdas dan memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi (curiosity, meminjam istilah almarhum tokoh pers, Rahman Arge).
Mengapa? Karena wartawan itu sejatinya
adalah peneliti, pencari fakta, dan penjaga nalar publik.
“Jika mereka memahami hal ini,” lanjut
saya, “maka wawasan seorang yang mengaku sebagai wartawan akan semakin teruji
dan terasah dalam menjalankan tugasnya—mencari, memperoleh, mengolah,
memverifikasi, dan menulis informasi yang akurat, lalu menyebarkannya ke publik
melalui media yang sah dan sesuai dengan ketentuan Dewan Pers.”
Begitulah, saya menutup obrolan santai di
warkop itu sambil menyeruput kopi pahit tanpa gula. Pahit, toh? Itu saja. ***