![]() |
| ANTOLOGI PUISI. Sejumlah penyair tampil sebagai pembaca puisi dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku Puisi Bersama Swara-swara Anak Pulau secara daring, Kamis, 19 Juni 2025. |
.....
PEDOMAN KARYA
Jumat, 27 Juni 2025
Antologi Puisi "Swara-swara Anak Pulau", Sebuah Pembicaraan Semiotik
Oleh: Mahrus Andis
(Kurator)
Tampil sebagai pembicara di zoom meeting bertema "Mimpi dan Realita Anak Pulau", Kamis, 19 Juni 2025, saya menyitir kembali sebuah aforisme yang tekstualnya berbunyi: Semua orang bisa berpuisi, tapi tidak semua orang mampu menuliskan puisinya dengan baik.
Aforisme ini berangkat dari pemahaman bahwa puisi adalah seni bahasa yang terikat oleh konvensi isyarat (signalling system) bernama semiotika. Artinya, menulis puisi berkaitan erat dengan keterampilan mengolah kata menjadi diksi-diksi semiosis yang mengandung nilai perenungan batin (misteri).
Dalam kajian semiotika Michail Riffaterre, puisi ditelisik dari dua dimensi, yaitu dimensi bahasa (first order semiotics) dan konvensi sastra (second order semiotics).
Puisi yang berdimensi bahasa atau linguistik cenderung bersifat denotatif, polos dan umumnya prosaistis, sementara puisi yang berdimensi sastra atau literer bersifat konotatif, estetis dan filosofis.
Puisi-puisi yang terhimpun di dalam buku Antologi "Swara-swara Anak Pulau", secara umum digarap melalui konvensi linguistik atau semiotika-bahasa di level pertama (first order semiotics). Contoh puisi semacam ini dapat kita baca pada karya Abang Patdeli (penyair asal Malaysia) yang berjudul: "Pulau adalah Kebanggaan Kita".
Abang Fatdeli menulis di awal puisinya sebagai berikut:
"....
Hakikatnya, maju mundur
sesuatu bangsa itu
bukan kerana keturunannya,
dan bukan kerana dia anak
kota, anak desa atau anak
pulau terpencil
tetapi, kerana dia amanah
dan gigih berusaha
membina kehidupan yang
lebih berharga".
Membaca puisi ini sangat terasa bahwa penggunaan bahasa lebih bersifat lugas, sintaksis-prosais dan belum terkontemplasi ke dalam konvensi semantis atau semiotika bahasa di level kedua (second order semiotics)
Bandingkan dengan puisi LK Ara yang terkesan kreatif mengolah intensitas linguistiknya menjadi larik-larik metaforis dan misterius. Kita dapat membaca hal ini pada bait terakhir puisinya yg berjudul "Doa dari Ujung Pulau", sebagai berikut;
"...
Mimpi anak pulau
bukan mimpi kecil.
Ia adalah perahu,
yang layarnya ditulis
dengan ilmu, iman, dan
keberanian.
Dan kini, layar itu
ada di tanganmu ".
LK Ara menggunakan gaya metafora, yang membandingkan mimpi anak pulau sebagai perahu berlayar, sarat dengan ilmu dan amal kebaikan.
Agak berbeda dari puisi Eka Budianta, berjudul: "Anak Pulau Mana Aku ?" terasa ada kerumitan penyair mengolah semiotikanya ke bahasa level kedua (scond order semiotics). Namun demikian, penyair berhasil menutupi kerumitan literer itu dengan menghadirkan bahasa figuratif (figurative language) dalam bentuk satire.
Di sini Eka Budianta mengejek orangyang membanggakan diri sering keliling dunia, tapi tidak mencintai pulau kampung halamannya sendiri. Eka menulis sebagai berikut:
"...
Meski menetap di Amerika,
Australia, Afrika dan Eropa
Ternyata bahasa batinku
tetap Jawa
Inggris, Indonesia, Arab dan
Jepang hanya logat
Hahaha - hahaha - hahaha
Jiwaku, batinku tetap asli
Jawa pulau kelahiranku
..."
Dari analisis semiotika-semantis (tata makna) di atas dapatlah dipahami bahwa daya ungkap puisi-puisi di buku antologi ini, umumnya, cenderung lemah dan masih menuntut intensitas kontemplasi di ruang sadar.
Meskipun demikian, beberapa di antara penyair yang sebelumnya sudah aktif dalam kegiatan Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), tampaknya mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan, terutama dari segi olah bahasa. Karenanya, mereka telah berhasil menuliskan puisinya dengan baik.
Sebagai penutup, saya kutipkan salah satu puisi yang saya nilai cukup memiliki keutuhan bentuk dan isi di dalam antologi "Swara-Swara Anak Pulau" ini. Puisi tersebut ditulis oleh Endut Ahadiat sebagai berikut;
HARAPAN ANAK PULAU KEPADA INDONESIA
Dari seberang laut yang tenang,
kami memanggil, wahai Ibu Pertiwi,
dari kampung kecil di ujung peta,
anak-anakmu menatap langit tinggi.
Kami lahir di peluk ombak, dibesarkan angin dan nyanyian karang,
tapi hati kami tak pernah jauh dari merah putih yang kami sayang.
Indonesia, dengarlah suara kami,
suara kecil dari balik sunyi,
kami ingin sekolah yang tak roboh,
kami ingin buku, bukan janji yang kosong.
Kami ingin guru yang datang tiap pagi, jalan setapak yang tak licin dan sepi,
kami ingin tahu dunia luas, bukan hanya cerita lewat radio tua.
Kami ingin listrik yang tak padam,
sinyal yang tak hanya datang saat hujan reda,
kami ingin menjadi bagian dari negeri,
bukan sekadar penonton dari jauh sana.
Wahai Indonesia, peluklah kami erat, anak-anak pulau, penjaga batas lautmu,
kami punya mimpi, kami punya semangat, hanya butuh tanganmu untuk kami bertumbuh.
Biar kami jadi pelita di Timur,
penjaga cahaya dari barat ke utara,
karena kami pun Indonesia,
dari pulau kecil hingga ke cakrawala.
5/4/2025
Sekian, terima kasih dan salam inspirasi.
