-----------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 10 Juni 2025
Stigma Penyandang Disabilitas di Kota
Makassar Perspektif Maqâṣid Al-Syari’ah (1):
Penyandang
Disabilitas di Indonesia Belum Mendapatkan Berbagai Layanan Yang Layak
Oleh: Muktashim Billah
(Dosen Universitas Muhammadiyah Makassar)
Indonesia menjamin setiap masyarakatnya
mendapatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang
ditegaskan dalam preambul Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hal ini juga ditegaskan di beberapa Pasal
UUD 1945, seperti dalam Pasal 28F bahwa: “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya…” dan pada Pasal 28H bahwa: “Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat.”
Dengan demikian, kehadiran negara
Indonesia adalah bertujuan memberikan hak kepada seluruh rakyatnya untuk
mendapatkan hak-hak keadilan sosial tanpa memandang bentuk fisik, ras, suku dan
agamanya.
Demi mencapai keadilan sosial yang
menyeluruh, maka Pemerintah Indonesia berupaya maksimal untuk memastikan setiap
warga negaranya mendapatkan hak-hak asasi para warganya. Sebab realitas sosial
yang terlihat bahwa perbedaan tidak terbatas hanya pada agama, suku, ras dan
antar golongan, namun lebih luas dari itu juga terdapat perbedaan keterbatasan
fisik seperti para penyandang disabilitas.
Pemerintah dalam usahanya untuk menjamin
keberlangsungan kehidupan yang layak bagi penyandang disabilitas terutama
pemenuhan hak-haknya, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2016, tentang Penyandang Disabilitas yang mempertegas
bahwa tidak ada perbedaan antara masyarakat pada umumnya dengan penyandang
disabilitas.
Pemuatan hak-hak para penyandang
disabilitas kemudian diselaraskan dengan dijaminnya hak-haknya agar tetap
mendapatkan keadilan tanpa membedakan keterbatasan fisik.
Penyandang disabilitas adalah warga negara
Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan manusia normal lainnya. Mereka
memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan, kesejahteraan dan akses
publik serta hal-hal lain yang didapatkan oleh seluruh warga negara Indonesia.
Warga negara Indonesia diberikan
kesempatan yang sama untuk berbakti kepada negaranya dan mendapatkan hak-haknya
sebagai warga negara termasuk kepada jenis penyandang disabilitas yang beraneka
ragam.
Penyandang disabilitas merupakan turunan
istilah dari pemaknaan “Persons
with Disabilities” yang merupakan adaptasi istilah yang ditetapkan dalam
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights for Persons
with Disabilities – CRPD).
CRPD merupakan landasan baru dalam
memandang dan mengenal prinsip-prinsip dalam perlindungan, penghormatan juga
pemenuhan hak bagi setiap penyandang disabilitas di Indonesia hingga saat ini.
Terdapat beberapa istilah yang diberikan seperti disabilitas, berkebutuhan
khusus atau penyandang disabilitas.
Penyebutan bagi mereka juga terkadang
dilakukan secara spesifik berdasarkan disabilitas yang dialami dan diawali
dengan kata “tuna” dan diikuti dengan kata yang sesuai dengan disabilitas yang
dialami seperti tuli, bisu dan buta, namun kalimat penyandang disabilitas
diyakini sebagai kalimat yang lebih halus yang mana secara sosiologis akan
memberi penghormatan kepada penderitanya dan membuat mereka merasa nyaman
seiring dengan dikembangkannya istilah-istilah baru untuk memperbaiki
perspektif berdasarkan CRPD.
Jumlah disabilitas berdasarkan survei BPS
di atas memperlihatkan bahwa penyandang disabilitas terdiri dari 8 (delapan)
kelompok yaitu karena keterbatasan melihat, berjalan, ingatan, mendengar,
komunikasi, tangan / jari, mengurus diri sendiri, dan gangguan emosi.
Jumlah yang paling banyak adalah tidak
bisa melihat (buta, red) sebanyak 65,68%, lalu berjalan sebanyak 52,46%, dan
diikuti oleh penyebab-penyebab lainnya.
Bila mengamati data tersebut, sejatinya
mereka masih bisa diakomodasi untuk mengakses pendidikan, diberdayakan dalam
berbagai sektor pekerjaan hingga dianggap setara dalam status sosial. Namun,
realitas dan fakta yang ada bahwa dari segi pendidikan, pekerjaan dan akses
publik masih ditemukan banyak permasalahan.
Bila melihat berdasarkan kuantitas jumlah
disabilitas di Indonesia, maka terlihat jumlahnya terus bertambah. Berdasarkan
total penduduk Indonesia, dari 276 juta orang, menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2022, jumlah penyandang disabilitas mencapai 36.264.286
juta orang.
Data Kementerian Perencanaan &
Pembangunan Nasional Republik Indonesia mengungkap bahwa salah satu indikator
dalam mengukur perkembangan disabilitas secara global dilihat dari indeks
inklusifitas yang merupakan ukuran holistik dalam pembangunan yang bersifat
inklusif untuk berfokus pada kesetaraan gender, agama, ras / etnis dan
disabilitas baik pada ranah kekerasan di luar kelompok, tingkat penahanan,
perwakilan politik, kebijakan imigrasi, pengungsi dan ketimpangan pendapatan.
Sayangnya dalam statistik data disampaikan
bahwa tingkat inklusifitas Indonesia masih berada di peringkat 125 dengan nilai
26,5%. Angka tersebut lebih rendah dari negara-negara maju dan juga berada di
bawah negara-negara ASEAN.
Fakta tersebut dapat dipahami bahwa
penyandang disabilitas di Indonesia belum mendapatkan berbagai layanan yang layak, terlebih jumlahnya
yang tidak sedikit yaitu 36,2 juta orang dan akan terus bertambah.
Hal tersebut akan berimplikasi pada
munculnya permasalahan-permasalahan sosial di tengah-tengah masyarakat. Salah
satu permasalahan yang paling banyak timbul adalah stigma negatif kepada para
penyandang disabilitas.
Maka dari itu dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa hak penyandang disabilitas adalah terbebas
dari stigma, lalu dalam Pasal 7 dipertegas bahwa: “Hak bebas dari stigma untuk
Penyandang Disabilitas meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan
pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya.”
Menurut penelitian Cahyani Widyastutik,
stigma sosial yang diterima oleh penyandang disabilitas dikategorikan sebagai
sikap tidak diterimanya mereka dalam kelompok masyarakat karena dianggap
melawan norma yang ada.
Hal tersebutlah yang memicu pengucilan terhadap penyandang disabilitas. Stigma tersebut terlihat dalam berbagai bentuk bullying, hinaan, diskriminasi hingga ejekan. Stigma tersebut pada akhirnya berdampak pada sikap merendahkan penyandang disabilitas serta dianggap sebagai beban atau aib keluarga. (bersambung)
----
Tulisan bagian 2: