-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 11 Juni 2025
Stigma Penyandang Disabilitas di Kota
Makassar Perspektif Maqâṣid Al-Syari’ah (2):
Penyandang
Disabilitas Masih Mendapatkan Perlakuan Penghinaan, Diskriminasi dan Pelabelan
Negatif
Oleh: Muktashim Billah
(Dosen Universitas Muhammadiyah Makassar)
Stigma terhadap penyandang disabilitas dapat dikategorikan dalam dua hal. Pertama, stigma eksplisit yang merupakan stigma yang dilakukan secara langsung dan dapat diterima.
Bentuk stigma ini
tidak jarang disampaikan secara langsung kepada yang terstigma ataupun upaya
menghindari orang-orang yang berada dalam status penyandang disabilitas seperti
kesediaan tinggal bersama mereka atau menghabiskan waktu bersama penyandang
disabilitas.
Pengukuran daripada stigma eksplisit bisa
dilakukan dari hal-hal sensitif terhadap penyandang disabilitas yang
dipengaruhi oleh social diserability yaitu respons yang bisa diterima secara
sosial.
Kedua, stigma implisit merupakan stigma
yang dilakukan secara tidak sadar karena adanya interaksi dengan penyandang
disabilitas, biasanya terwakili dalam bentuk sikap seperti jijik, menghindar
dan menghina.
Stigma sering muncul dari ketidaktahuan
dan juga kuatnya mitos-mitos masyarakat mengenai disabilitas yang dikaitkan
dengan peristiwa magis seperti disebabkan karena adanya kutukan.
Selain itu, stigma sosial terhadap
penyandang disabilitas juga terlihat dari anggapan terhadap normalisme atau
menganggap ada yang normal, sehingga penyandang disabilitas dinilai sebagai
golongan abnormal atau tidak normal.
Dampaknya, muncul stigma bahwa mereka
harus dikasihani, diberi bantuan dan dianggap sulit untuk mandiri. Stigma
sosial tersebut kemudian menjadi masalah serius karena pada akhirnya akan
berpengaruh kepada kesejahteraan dan keberdayaan dari Penyandang Disabilitas.
Bila dilihat, Sulawesi Selatan salah satu
daerah dengan penyandang disabilitas yang tinggi bahkan lebih tinggi dari
statistik nasional. Pada hasil survei kesehatan dasar, terungkap pada tahun
2018 tingkat disabilitas menyentuh angka berikut.
Pertama, penyandang disabilitas umur 5-17
tahun: 13.498 orang (5,29%) dan Makassar terbanyak yaitu 2.191 orang. Kedua, Penyandang
disabilitas umur 18-59 tahun: 26.553 orang (33,63%) dan Makassar terbanyak
yaitu 4.937 orang dengan detail 37,66% tidak memiliki kesulitan, 38,26%
memiliki kesulitan ringan, 20,40% kesulitan sedang dan 3,67% kesulitan
berarti/tidak mampu.
Ketiga, penyandang disabilitas lansia ≥ 60
tahun sebanyak 5.366 orang dengan jumlah terbanyak di Makassar yang 71,21%
telah mandiri.
Pada tahun 2023, menurut Ir. A. Darmawan
Bintang, MdevPlg, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki presentase penyandang
disabilitas tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain yaitu 2,78% dari total
populasi.
Menurut distribusi penyandang disabilitas
berdasarkan ragam disabilitas, Makassar adalah kabupaten / kota dengan jumlah
penyandang disabilitas terbesar, yaitu 30,373 jiwa, atau 12,286 persen dari
total populasi.
Pemaparan data di atas mengungkap bahwa
penyandang disabilitas terbanyak terjadi di kota Makassar yang merupakan
ibukota dari Provinsi Sulawesi Selatan, dan data yang disajikan di atas memberi
bukti bahwa mayoritas penyandang disabilitas sejatinya bisa diberdayakan, namun
perlu dibuktikan sejauh mana stigma membuat mereka tidak bisa berekspresi
dengan bebas yang menyebabkan mereka jatuh miskin.
Kementerian PPN / Bappenas menyatakan
bahwa dari seluruh penyandang disabilitas miskin, 9,97% berada di Sulawesi
Selatan.
Data yang dipaparkan memperjelas bahwa
terdapat masalah serius bagi penyandang disabilitas terutama dalam masalah
stigma, baik yang melekat pada diri mereka ataupun yang secara eksplisit
dialami.
Jika berpatok pada data inklusifitas yang
telah dipaparkan terlihat bahwa implementasi dari Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 kemungkinan besar belum berjalan seperti yang diamanatkan oleh
undang- undang.
Penyandang disabilitas di Kota Makassar
masih menemukan berbagai kesulitan dalam pemenuhan hak-hak hidup serta masih
mendapatkan perlakuan penghinaan, diskriminasi dan pelabelan negatif.
Kekerasan Seksual
Berdasarkan liputan dari Kompas.id,
penyandang disabilitas yang menyandang penyakit mental menjadi korban kekerasan
seksual dengan ajakan dari tersangka UW (19 tahun) dengan modus mengajaknya
jalan-jalan. Namun, korban mendapatkan perlakuan berupa perkosaan di tempat
yang sepi. Bahkan tersangka UW mengajak temannya untuk memperkosa penyandang distabilitas
dengan cara sodomi bergiliran.
Lutfiyah Handayani dari Women Crisis
Center menyampaikan bahwa penyandang disabilitas memiliki risiko kekerasan
seksual yang sangat tinggi, rentannya kasus tersebut tidak terlepas dari stigma
masyarakat bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang tidak akan bisa
melawan.
Selain itu, keterbatasan akses edukasi terkait kesehatan reproduksi juga menjadi penyebab utama, tentunya keterbatasan akses tidak terlepas adanya stigma ketidakselarasan bahwa penyandang disabilitas juga rentan terhadap pemerkosaan. Sehingga, berbagai solusi perlu ditempuh untuk mencari jalan keluar permasalahan tersebut, salah satunya melalui pendekatan agama. (bersambung)
-----
Tulisan bagian 3:
Stigma Terhadap Penyandang Disabilitas Harus Dipertegas Keharamannya
Tulisan bagian 1: