Penyandang Disabilitas Masih Mendapatkan Perlakuan Penghinaan, Diskriminasi dan Pelabelan Negatif

 

STIGMA SOSIAL terhadap penyandang disabilitas juga terlihat dari anggapan terhadap normalisme atau menganggap ada yang normal, sehingga penyandang disabilitas dinilai sebagai golongan abnormal atau tidak normal. (Foto tangkapan layar dari video akun FB Reki Maisyah Printing: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)


-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 11 Juni 2025

 

Stigma Penyandang Disabilitas di Kota Makassar Perspektif Maqâṣid Al-Syari’ah (2):

 

Penyandang Disabilitas Masih Mendapatkan Perlakuan Penghinaan, Diskriminasi dan Pelabelan Negatif

 

Oleh: Muktashim Billah

(Dosen Universitas Muhammadiyah Makassar)

 

Stigma terhadap penyandang disabilitas dapat dikategorikan dalam dua hal. Pertama, stigma eksplisit yang merupakan stigma yang dilakukan secara langsung dan dapat diterima. 

Bentuk stigma ini tidak jarang disampaikan secara langsung kepada yang terstigma ataupun upaya menghindari orang-orang yang berada dalam status penyandang disabilitas seperti kesediaan tinggal bersama mereka atau menghabiskan waktu bersama penyandang disabilitas.

Pengukuran daripada stigma eksplisit bisa dilakukan dari hal-hal sensitif terhadap penyandang disabilitas yang dipengaruhi oleh social diserability yaitu respons yang bisa diterima secara sosial.

Kedua, stigma implisit merupakan stigma yang dilakukan secara tidak sadar karena adanya interaksi dengan penyandang disabilitas, biasanya terwakili dalam bentuk sikap seperti jijik, menghindar dan menghina.

Stigma sering muncul dari ketidaktahuan dan juga kuatnya mitos-mitos masyarakat mengenai disabilitas yang dikaitkan dengan peristiwa magis seperti disebabkan karena adanya kutukan.

Selain itu, stigma sosial terhadap penyandang disabilitas juga terlihat dari anggapan terhadap normalisme atau menganggap ada yang normal, sehingga penyandang disabilitas dinilai sebagai golongan abnormal atau tidak normal.

Dampaknya, muncul stigma bahwa mereka harus dikasihani, diberi bantuan dan dianggap sulit untuk mandiri. Stigma sosial tersebut kemudian menjadi masalah serius karena pada akhirnya akan berpengaruh kepada kesejahteraan dan keberdayaan dari Penyandang Disabilitas.

Bila dilihat, Sulawesi Selatan salah satu daerah dengan penyandang disabilitas yang tinggi bahkan lebih tinggi dari statistik nasional. Pada hasil survei kesehatan dasar, terungkap pada tahun 2018 tingkat disabilitas menyentuh angka berikut.

Pertama, penyandang disabilitas umur 5-17 tahun: 13.498 orang (5,29%) dan Makassar terbanyak yaitu 2.191 orang. Kedua, Penyandang disabilitas umur 18-59 tahun: 26.553 orang (33,63%) dan Makassar terbanyak yaitu 4.937 orang dengan detail 37,66% tidak memiliki kesulitan, 38,26% memiliki kesulitan ringan, 20,40% kesulitan sedang dan 3,67% kesulitan berarti/tidak mampu.

Ketiga, penyandang disabilitas lansia ≥ 60 tahun sebanyak 5.366 orang dengan jumlah terbanyak di Makassar yang 71,21% telah mandiri.

Pada tahun 2023, menurut Ir. A. Darmawan Bintang, MdevPlg, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki presentase penyandang disabilitas tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain yaitu 2,78% dari total populasi.

Menurut distribusi penyandang disabilitas berdasarkan ragam disabilitas, Makassar adalah kabupaten / kota dengan jumlah penyandang disabilitas terbesar, yaitu 30,373 jiwa, atau 12,286 persen dari total populasi.

Pemaparan data di atas mengungkap bahwa penyandang disabilitas terbanyak terjadi di kota Makassar yang merupakan ibukota dari Provinsi Sulawesi Selatan, dan data yang disajikan di atas memberi bukti bahwa mayoritas penyandang disabilitas sejatinya bisa diberdayakan, namun perlu dibuktikan sejauh mana stigma membuat mereka tidak bisa berekspresi dengan bebas yang menyebabkan mereka jatuh miskin.

Kementerian PPN / Bappenas menyatakan bahwa dari seluruh penyandang disabilitas miskin, 9,97% berada di Sulawesi Selatan.

Data yang dipaparkan memperjelas bahwa terdapat masalah serius bagi penyandang disabilitas terutama dalam masalah stigma, baik yang melekat pada diri mereka ataupun yang secara eksplisit dialami.

Jika berpatok pada data inklusifitas yang telah dipaparkan terlihat bahwa implementasi dari Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 kemungkinan besar belum berjalan seperti yang diamanatkan oleh undang- undang.

Penyandang disabilitas di Kota Makassar masih menemukan berbagai kesulitan dalam pemenuhan hak-hak hidup serta masih mendapatkan perlakuan penghinaan, diskriminasi dan pelabelan negatif.

 

Kekerasan Seksual

 

Berdasarkan liputan dari Kompas.id, penyandang disabilitas yang menyandang penyakit mental menjadi korban kekerasan seksual dengan ajakan dari tersangka UW (19 tahun) dengan modus mengajaknya jalan-jalan. Namun, korban mendapatkan perlakuan berupa perkosaan di tempat yang sepi. Bahkan tersangka UW mengajak temannya untuk memperkosa penyandang distabilitas dengan cara sodomi bergiliran.

Lutfiyah Handayani dari Women Crisis Center menyampaikan bahwa penyandang disabilitas memiliki risiko kekerasan seksual yang sangat tinggi, rentannya kasus tersebut tidak terlepas dari stigma masyarakat bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang tidak akan bisa melawan.

Selain itu, keterbatasan akses edukasi terkait kesehatan reproduksi juga menjadi penyebab utama, tentunya keterbatasan akses tidak terlepas adanya stigma ketidakselarasan bahwa penyandang disabilitas juga rentan terhadap pemerkosaan. Sehingga, berbagai solusi perlu ditempuh untuk mencari jalan keluar permasalahan tersebut, salah satunya melalui pendekatan agama. (bersambung)


-----

Tulisan bagian 3:

Stigma Terhadap Penyandang Disabilitas Harus Dipertegas Keharamannya


Tulisan bagian 1:

Penyandang Disabilitas di Indonesia Belum Mendapatkan Berbagai Layanan Yang Layak

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama