Catatan Pertunjukan “Galigo - Nawanawanna Sawerigading”

Pertunjukan teater “Galigo Nawanawanna Sawerigading”, di Gedung MULO Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar, Sabtu, 05 Juli 2025. (ist)
 


-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 10 Juli 2025

 

Catatan Pertunjukan “Galigo - Nawanawanna Sawerigading” Teater Satu SMAN I Makassar:

 

Maggali-gali Sawerigading

 

Oleh: Yudhistira Sukatanya

(Penulis, Sutradara Teater)

 

Dalam gelap, sekelompok orang dari sisi kiri panggung bergerak pelan memasuki ruangan dan kemudian mengatur komposisi. Lalu lampu-lampu menyinarkan cahaya lemah, menghadirkan beberapa sosok dalam siluet.

Musik lamat-lamat mengalunkan, seiringi syair yang dilantunkan oleh seorang Passureq (pelantun teks-Bugis):

 

Tuling-ngi matu’ ana’ datuE rudu sikke’-ku

Dewata ttaro to sipurio sumange’ lolang

Dewata ttaro doko mellinrung

Dewata ttaro limongeng sobbu

 

Untaian kalimat demi kalimat, kuplet demi kuplet berbahasa arkais Bugis menjadi pembuka cerita, mengantar adegan awal pertunjukan drama dengan titel “Galigo Nawanawanna Sawerigading” (GNS), skenarionya ditulis Ilham Anwar, dramawan senior yang kian fokus mengelaborasi naskah-naskah Bugis kuno, utamanya La Galigo.

Sebagaimana diketahui naskah La Galigo merupakan salah satu karya sastra terpanjang di dunia. Sebuah epik mitos penciptaan kosmologi peradaban Luwu di Sulawesi Selatan. Naskah ini diperkirakan terdiri atas 6000 halaman folio, 300.000 bait. Kali ini Ilham menukil fragmen paling dramatik dari naskah kuno La Galigo, gugatan Sawerigading yang mendesak agar segera dipertemukan dengan kembar emasnya We Tenri Abeng.

Sore itu, Sabtu, 05 Juli 2025 di Gedung MULO Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan, Teater SATU SMAN I Makassar menjadi penampil pertama mementaskan GNS dalam rangkaian acara Festival “SEMPUGI“ dan Apresesiasi Seni Pertunjukan Berbasis Budaya Bugis.

Dengan gaya penyajian ala opera yang menggabungkan elemen drama dengan musik, vokal, nyanyian, gerak dan tari, GNS tampil di hadapan ratusan hadirin. Sebagian dialog silih berganti dinyanyikan oleh para pemeran dengan iringan musik yang ditata oleh Erwin Sulaeman, cukup apik, meski terbilang sayang karena sang komposer tidak total mengaransemen ritme, melodi dan harmoni Bugis bernuansa kuno.

Plot melodrama GNS relatif mengalir, mudah diikuti karena fokus pada konflik antara karakter yang rerata cukup dikenali oleh generasi kolonial. Meski demikian bagi para generasi Z hingga Alpha, mereka masih wajib lebih teliti “mereka-reka” karakter para tokoh seperti Sawerigading ( Abdullah Muwahhid), We Tenri Abeng ( Aiko Tuffia Dzakirah dan lainnya. Keberjarakan antara teks-teks arkais dengan teks kekinian menjadi hambatan dijembatan komunikasi yang sulit dititi untuk dimengerti.

Ruang imaji penonton coba dihela ikut masuk bergerilya dalam petualangan ungkapan teknik teaterikal yang digarap artistik. Meliuk disela tata artistik panggung yang dikemas minimalis -impresionis oleh Muhammad Afdal Fadli. Abdi Bashit, selaku Konsultan Pertunjukan dan A.Aco Zulsafri Asisten Pengarah Pertunjukan, dengan tekun menjaga kemasan pertunjukan GNS yang mengadopsi simbol-simbol dan ornamen budaya khas Bugis.

Keduanya juga menyiasati cara penyampaian ungkapan filosofis dari Sureq Galigo utamanya tentang pemmali ( pantangan ), sumpah yang menyandera anak sang Batara Guru ( M Alfian Ikhsan ) yang berujung kepahitan dan dimaknai sebagai takdir.

Teks yang dihadirkan dalam pertunjukan teater memang tidak selamanya dapat membantu atau memaksa penonton untuk mengerti arti dan maknanya, karenanya bahasa visual, gerak dan bunyi yang spesifik dan khas dapat menjadi hamparan tawaran untuk diapresiasi.

Bukankah penonton dapat menonton pertunjukan teater dengan ala menyaksikan film tanpa dialog dan teks. Meski menghadapi hambatan dalam penyampaian makna teks, pertunjukan teater GNS masih tetap dapat menghadirkan bahasa visual, gerak dan bunyi penanda suatu peristiwa untuk dinikmati, diapresiasi, dipahami.

 

Seberapa Bugis

 

Dalam sesi diskusi “Apresiasi Seni Pertunjukan Berbasis Budaya Bugis”, Bahar Merdhu, sutradara teater Petta Puang, menggeledah beberapa aspek pertunjukan, mengulas dan mempertanyakan beberapa hal dasar, seberapa Bugis-kah pertunjukan GNS.

Meski Teater SATU SMAN I Makassar adalah peraih penghargaan sebagai Grup Penyaji Terbaik I, Skenario Terbaik, Penata Musik Terbaik dan Penata Artistik Terbaik dan Pemeran Wanita Terbaik, tidak lalu lagi-lagi mampu tampil sempurna menghadirkan pertunjukan Berbasis Budaya Bugis.

Beberapa elemen pertunjukan mereka kali ini masih menjadi bolong tak terhindarkan. Ambil misal pada tata busana, 70 % tampilannya ala busana Makassar, atau setidaknya mengingatkan pada ilustrasi yang dibuat oleh anak Bugis Pahang, Malaysia.

Beruntung karena upaya Nurhayati Najamuddin selaku penata masih berhasil dalam pemilihan warna yang cukup mewakili warna khas Bugis, plus nuansa keemasan.

Dalam pemeranan rerata pemain nyaris meneriakkan dialog atau monolognya, akibatnya keanggunan tata cara berbicara keluarga bangsawan Bugis juga perangkatnya terdengar stereotipe, sulit menegaskan perbedaan suasana hati, pikiran dan perasaan khas Bugis.

Begitu pula teks-teks arkais yang sangat puitis cenderung kehilangan pesonanya, tak terselamatkan oleh irama Bugis yang dikenal manis, puitis. Meski demikian tetap terlihat ada upaya sungguh-sungguh para pemain untuk menghidupkan peran melalui teks, gerak tubuh, ritme dialog, emosi dan karakter.

Teks, gerak tubuh, emosi dan karakter adalah alat utama pertunjukan teater. Untuk menyampaikan pesan atau cerita dalam pertunjukan teater para aktor dapat menggunakan bahasa tubuh, gestur, dan gerakan mimiknya untuk mengungkapkan emosi, dan karakter yang diproyeksikan.

Elemen tersebut dapat menjadi semacam narasi meski tanpa menggunakan dialog verbal yang kompleks. Untuk menguasai dan memanfaatkan elemen ini, secara teknikal tentu membutuhkan proses latihan serius dan sungguh-sungguh.

Jika memperhatikan cara aktor GNS berjalan, berdiri dan berinteraksi dengan objek atau orang lain, gerakan mereka belum lagi mampu optimal menyampaikan informasi penting dalam tampilan karakter dan situasi Bugis yang diproyeksikan. Ini juga bagian yang masih perlu dilatih untuk penguatan karya selanjutnya.

Aktor GNS yang menyuarakan teks arkaisnya masih terdengar terbata-bata ketika berusaha menyampaikan pesan dari cerita dalam dialek Bugis, pantaslah jika kemudian mereka menggunakan cara pintas memilih mengandalkan bahasa visual, bahasa tubuh, ketika meniru tampilan khas Bugis.

Terlihat dan terasa benar, bahasa visual, bahasa tubuh yang diwujudkan pada pertunjukan sore hari itu masih bersifat universal dan klise, tapi upaya mereka telah diwujudkan seoptimal mungkin untuk tetap dapat dipahami oleh berbagai kalangan, tanpa batas hambatan bahasa verbal Bugis.

Tujuan utama menonton pertunjukan teater memang adalah untuk menikmati dan memahami cerita tapi tak perlu khawatir jika tidak dapat memahami cerita dari teks- setiap kata dan kalimat karena masih ada elemen lain yang bisa dinikmati. Seumpama syair lantunan passureq ini:

Tuling-ngi matuq ana’ datuE rudu sikekku,

Dengarlah wahai syairku, wahai anak raja

Dewata ttaro to sipurio sumangeq lolang,

Dewata-lah yang menanamkan cinta-kasih

Dewata ttaro doko mellinrung,

Dewata-lah yang menyembuhkan rasa sakit.

Dewata ttaro limongeng sobbu,

Dewata mengetahui yang tersembunyi.

 

Suatu ungkapan sastrawi yang eksotis

 

Kebangkitan Semangat Kultural

 

Dengan sedikit mengabaikan segala catatan elementer diatas, pertunjukan oleh generasi muda teater Sulawesi Selatan ini masih terbilang cukup mampu memesona, menggugah emosi dan imajinasi penonton melalui visualisasi yang kuat dengan dukungan tata cahaya, ekspresif dan impresif, hasil upaya Sukma Sillanan.

Sebagai grup penyandang prestasi Juara Pertama pada Festival Teater Berbahasa Daerah se Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Propinsi Sulawesi Selatan, maka Teater SATU SMAN I Makassar masih pantas menyandangkan harapan untuk masa depan, terwujudnya kebangkitan semangat kultural generasi muda melalui panggung teater.

Untuk pencapaian prestasi Teater SATU SMAN I Makassar masa kini, pantas pula pada mereka dijadikan sampel bahwa di Makassar masih ada anak-anak muda yang tidak larut pada arus budaya global, digital hingga akut terpapar toxid gadget, tapi dengan perkasa mereka juga memberi perhatian pada keunggulan budayanya. Kali ini budaya Bugis.

Waktu dan kesempatan tentu masih akan menjadi lintasan ujian dan tantangan yang harus mereka lalui demi pencapaian prestasi lebih baik di masa depan.

Salam Teater.

 

Tamamaung, 09 Juli 2025

 

.......

Pendukung Pertunjukan:

A. Nashwa Nayswaranas: Passure

Abdullah Muwahhid: Sawerigading

Aiko Tuffia Dzakirah: We Tenri Abeng/ We Cuddi

Muh. Alfian Ikhsan: Batara Guru dan La Sinilele /Pengawal

Thfiyah Nurul Izzah Yamani  : We Nyilliq Timo

Aldy Fairuz: Batara Lattu

Adinda Syifa Aurelya: We Datuk Sengngeng

Nur Aliyah Mustika Ratu: Sanro Langkanae/Penari

Muh. Zaky Gian Sarwika: La Apananrang/Pengawal Pananrang/

Fahrul Rehan: I La Galigo/Pengawal

Evander Osura Saldi: Pengawal Sawerigading

Aenani Tajriani: Istri Sawerigading / Penari

Bertilla Victoria PS: Istri Sawerigading / Penari

Faaizah Ahmad: Istri Sawerigading/Penari

Nurhikma Aulya: Istri Sawerigading/Penari

Ast. Pengarah Pertunjukan: A. Aco zulsafri

Penata Artistik : Muh. Afdal Fadli

Rias & Busana            : Nurhayati Najamuddin

Penata Cahaya : Sukma Sillanan

Multimedia: Jetsmax Studio

Penata Musik: Erwin Sulaiman

Pemusik: Kiky Gonzales & La Puput Sahabuddin

Skenario & pengarah pertunjukan: Ilham Anwar

Konsultan & Supervisi Pertunjukan: Abdi Bashit

Produser: Sulihin Mustafa

Pimpinan Produksi: Hasnawati

Kerabat kerja: A. Fasdillah, Mustari, Muhammad Basri, Basri Lahamuddin, Mardiana, Rizky Fasdillah, Salya Saswati, Nurlaelah, Adri Aswan, Nur Salim, Bachtiar, Lukman, Sudirman


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama