PEDOMAN KARYA
Lomba Perahu “Pacu
Jalur” Kuantan Singingi Riau
Pacu jalur
https://id.wikipedia.org/wiki/Pacu_jalur
Pacu jalur (juga dieja sebagai Pachu
jalugh, atau Patjoe djaloer) adalah perlombaan tradisional dayung perahu atau
sampan atau kano terbuat dari kayu gelondongan utuh yg dibentuk menjadi perahu
khas Rantau Kuantan yang berasal dari kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau
Indonesia. Pacu Jalur diadakan setiap tahun di sungai Batang Kuantan di bawah
rangkaian acara Festival Pacu Jalur, yang mana merupakan festival tahunan
terbesar bagi masyarakat setempat (terutama di ibukota kabupaten Teluk Kuantan)
selama ratusan tahun.[1]
Sejak tahun 2014, tradisi, pengetahuan,
adat budaya, kesadaran biosentrisme dan praktik Pacu Jalur secara resmi diakui
dan ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia sebagai bagian integral dari Warisan Budaya Nasional
Takbenda dari Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau Indonesia.[2] Sebagai
upaya untuk melestarikan warisan budaya tersebut, pemerintah Indonesia
mendukung Festival Pacu Jalur yang diadakan setiap tahun di Kuantan Singingi
dan mempromosikan pentingnya festival tersebut kepada masyarakat luas baik
nasional maupun internasional, tim pemenang Pacu Jalur juga akan berkesempatan
terpilih menjadi atlet nasional Indonesia untuk mewakili Indonesia di ajang
balap perahu internasional (apabila mumpuni).
Pada tahun 2022, gambaran Pacu Jalur
(dibuat oleh seorang seniman etnis Sunda asal Bandung, bernama Wastana Haikal)
terpilih sebagai Google Doodle, yang mana merupakan alterasi khusus untuk logo
Google di beranda Google yang dimaksudkan untuk memperingati Hari Kemerdekaan
Indonesia yang dirayakan pada tanggal 17 Agustus.[3]
Nomenklatur
Secara etimologinya, istilah pacu jalur
berasal dari bahasa Minangkabau Timur;[4] pacu secara harafiah berarti
"lomba", sedangkan kata jalur berarti "perahu" atau
"sampan".[5] Secara sederhana, Pacu Jalur secara sederhana dapat
diterjemahkan sebagai "balapan perahu" atau "balapan kano".
Tergantung dari perbedaan dialek dalam
bahasa Minangkabau,[4] Pacu Jalur dapat dieja secara beragam, seperti Pacu
Jalua (Minangkabau Baku), Pacu Jalugh atau Pachu Jalugh, atau bahkan Patjoe
Djaloer. Menurut naskah-naskah kolonial yang ditulis dalam bahasa Belanda,
tradisi budaya tersebut lebih dikenal dengan julukannya, seperti Kanorace op de
Inderagiri (terj. har. 'balapan kano Indragiri').
Sejarah
Sedikit yang diketahui mengenai tanggal
pasti dimulainya tradisi budaya ini, namun referensi tertulis paling awal untuk
Pacu Jalur secara khusus disebutkan pada abad ke-17 dalam naskah lokal. Namun
pada masa sebelumnya, yaitu pada abad ke-7, perlu disebutkan bahwa sejumlah
besar utusan pendayung Minangkabau mencapai hilir sungai Batang Hari (bagian
dari wilayah provinsi Jambi saat ini) dari hulunya di Dataran Tinggi
Minangkabau (bagian dari wilayah provinsi Sumatera Barat yang modern) dengan
menggunakan perahu, peristiwa khusus ini dijelaskan dalam Prasasti Kedukan
Bukit yang ditemukan di Palembang.
Teks prasasti:
"... maŕlapas dari Mināṅa tāmvan
mamāva yaṁ vala dua lakşa daṅan ko śa duaratus cāra di sāmvau ..."
Terjemahan:
"... berangkat dari Minangkabau
membawa dua puluh ribu bala bantuan dengan dua ratus upeti di atas sampan
..."
— informasi yang diambil dari Prasasti
Kedukan Bukit, berasal dari tahun 600an Masehi
Menurut sumber lisan masyarakat setempat,
Jalur pada mulanya merupakan sarana transportasi menyusuri sungai Batang
Kuantan dari Hulu Kuantan hingga ke Cerenti di bagian hilir sungai Kuantan.
Karena transportasi darat belum berkembang pada masa itu, jalur tersebut
sebenarnya digunakan sebagai sarana transportasi penting bagi penduduk desa,
terutama digunakan sebagai sarana pengangkutan hasil bumi, seperti buah-buahan
lokal dan tebu.
Pada masa perkembangannya, perahu
transportasi berbentuk memanjang ini sengaja dihias dengan unsur budaya
setempat yang bisa berupa kepala ular dan buaya. Seiring berjalannya waktu,
fungsinya bergeser dari sekedar alat angkut orang menjadi tongkang kerajaan
yang megah. Jalur air yang biasa digunakan sebagai jalur transportasi atau
pertukaran barang berangsur-angsur berubah menjadi identitas sosiokultural
masyarakat Minangkabau di Kuantan untuk menyelenggarakan festival. Apalagi,
menurut catatan sejarah yang tertulis, jalur tersebut juga menjadi jalur para
bangsawan untuk menyambut tamu-tamu terhormat para raja (dan kemudian sultan)
yang hendak berkunjung ke kawasan Rantau Kuantan.
Pada masa penjajahan Belanda, pacu jalur
digunakan sebagai pemeriah untuk memperingati hari lahir Wilhelmina (Ratu
Belanda) yang jatuh pada tanggal 31 Agustus setiap tahunnya, dan festival ini
biasanya berlangsung hingga tanggal 1 atau 2 September. Perayaan Pacu Jalur
dipertandingkan selama 2–3 hari, tergantung jumlah lintasan yang diikuti.
Dahulu, sebelum kedatangan penjajah Belanda, Pacu Jalur sudah diselenggarakan
oleh penduduk setempat untuk memperingati hari-hari besar umat Islam, seperti
Maulud Nabi, Idul Fitri, atau bahkan untuk merayakan Tahun Baru Islam.
Selanjutnya setelah kemerdekaan Indonesia, festival ini semakin berkembang dan
juga digunkan untuk merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Lebih lanjut, untuk melestarikan tradisi
budaya tersebut, pemerintah Indonesia memasukkan Festival Pacu Jalur dalam
acara kalender wisata nasional tahunan Indonesia, yang biasanya diadakan
sekitar tanggal 23 hingga 26 Agustus setiap tahunnya.
Proses pembuatan jalur
Jalur adalah sejenis perahu yang dibuat
dari batang kayu utuh, tanpa dibelah-belah, dipotong-potong atau
disambung-sambung. Ciri-cirinya adalah kukuh-kuat, ramping, artistik, sehingga
pada waktu berpacu tidak dikhawatirkan pecah, jalannya laju dan sedap dipandang.
Pembuatan jalur melalui proses yang cukup panjang, yaitu:[6]
Untuk menyusun rencana kerja pertama-tama
diselenggarakan musyawarah atau rapek kampung yang dihadiri oleh berbagai unsur
seperti pemuka adat, cendekiawan, kaum ibu dan pemuda, dipimpin oleh seorang
pemuka desa, biasanya pemuka adat. Bila disepakati untuk membuat jalur, lalu
ditentukan langkah lebih lanjut.
Memilih kayu. Kayu yang dicari itu harus
memenuhi persyaratan kualitas (jenis), ukuran dan lain-lain, terutama bobot
magis atau spiritualnya. Jenis kayu yang dipilih adalah kayu banio, kulim
kuyiang atau yang lain, harus lurus panjangnya sekitar 25-30 meter, garis
te-ngah 1-2 meter dan mempunyai mambang (sejenis makhluk halus). Harus
dipertimbangkan agar setelah menjadi jalur dapat mendukung anak pacu 40-80
orang. Dalam acara pemilihan kayu ini peranan pawang sangat penting. Sesudah
pilihan ditentukan dibuatlah upacara semah agar kayu itu tidak
"hilang" secara gaib.
Menebang kayu. Kayu yang sudah disemah
oleh pawang lain ditobang dengan alat kapak dan beliung. Dahan dan ranting
dipisahkan.
Memotong ujung. Kayu yang sudah bersih
diabung (dipotong) ujungnya menurut ukuran tertentu sesuai dengan panjang jalur
yang akan dibuat kemudian kulit kayu dikupas, diukur dibagi atas bagian haluan,
telinga, lambung, dan kemudian dengan alat benang.
Pendadan atau meratakan bagian depan
(dada) yakni bagian atas kayu yang memanjang dari pangkal sampai ke ujung.
Mencaruk, atau mengeruk, melubangi bagian
dalam kayu yang panjang itu dengan ketebalan yang seimbang.
Menggiling atau memperhalus bagian samping
atas sehingga terbentuk bagian bibir perahu sekaligus mulai membentuk bagian
luar bagian atas.
Manggaliak atau membalikkan dan
menelungkupkan, yang tadinya terletak diatas ganti berada di bawah sehingga
bagian luar dapat dikenakan, dirampingkan dengan leluasa. Pekerjaan ini
memerlukan perhitungan cermat sebab harus selalu menjaga keseimbangan kete¬balan
semua bagian jalur. Cara mengukurnya antara lain dengan membuat lubang-lubang
kakok atau bor yang kemudian ditutup lagi dengan semacam pasak.
Manggaliak atau menelentangkan lagi.
Membentuk haluan dan kemudi.
Menghela atau menarik jalur yang sudah
setengah jadi itu ke kam¬pung disertai upacara maelo jalur. Disini
kegotongroyongan sangat besar artinya.
Menghaluskan, mengukir terus dinaikkan ke
atas ram Account pian lalu diasapi.
Penurunan jalur ke sungai, selesailah
proses pembuatan perahu yang ditutup dengan upacara pula.
Perlombaan
Perlombaan Pacu Jalur Taluk Kuantan
memakai penilaian sistem gugur. Sehingga peserta yang kalah tidak boleh turut
bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu kembali untuk
mendapatkan pemenang utama. Selain itu juga menggunakan sistem setengah
kompetisi. Di mana setiap regu akan bermain beberapa kali, dan regu yang selalu
menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya. Perlombaan meriah ini
dimulai dengan tanda yang cukup unik, yaitu dengan membunyikan meriam sebanyak
tiga kali. Meriam ini digunakan karena bila memakai peluit, suara peluit tidak
akan terdengar oleh peserta lomba. Karena luasnya arena pacu dan riuh penonton
yang menyaksikan perlombaan.[7]
Pada dentuman pertama jalur-jalur yang
telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start dengan anggota setiap
regu telah berada di dalam jalur. Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam
posisi siap (berjaga-jaga) untuk mengayuh dayung. Setelah wasit membunyikan
meriam untuk yang ketiga kalinya, maka setiap regu akan bergegas mendayung
melalui jalur lintasan yang telah ditentukan. Sebagai catatan, ukuran dan
kapasitas jalur serta jumlah peserta pacu dalam lomba ini tidak dipersoalkan,
karena ada anggapan bahwa penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak
ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan
kekuatan kesaktian sang pawang dalam "mengendalikan" jalur.[8]
Acara
Kegiatan Pacu Jalur merupakan pesta rakyat
yang dapat dikatakan sangat meriah. Menurut kepercayaan masyarakat setempat,
Pacu Jalur merupakan puncak dari seluruh kegiatan, segala upaya, dan segala
keringat yang mereka keluarkan untuk mencari penghidupan selama setahun.
Masyarakat Kuantan Singingi dan sekitamya tumpah ruah menyaksikan acara yang
ditunggu-tunggu ini.[9]
Selain sebagai acara olahraga yang banyak
menarik perhatian masyarakat, festival Pacu Jalur juga mempunyai daya tarik
magis tersendiri. Festival Pacu Jalur dalam wujudnya memang merupakan hasil
budaya dan karya seni khas yang merupakan perpaduan antara unsur olahraga, seni
dan olah batin. Namun, masyarakat sekitar sangat percaya bahwa yang banyak
menentukan kemenangan dalam perlombaan ini adalah olah batin dari pawang perahu
atau dukun perahu. Keyakinan magis ini dapat dilihat dari keseluruhan acara ini,
yakni dari persiapan pemilihan kayu, pembuatan perahu, penarikan perahu, hingga
acara perlombaan dimulai, yang selalu diiringi oleh ritual-ritual magis. Pacu
Jalur dengan demikian merupakan adu tunjuk kekuatan spiritual antar dukun
jalur. Selain perlombaan, dalam pesta rakyat ini juga terdapat rangkaian
tontonan lainnya, di antaranya Pekan Raya, Pertunjukan Sanggar Tari, pementasan
lagu daerah, Randai Kuantan Singingi dan daemenn ptasan kesenian tradisional
lainnya dari kabupaten atau kota di Riau.[9]