Polarisasi Respons Terhadap Putusan MK Soal Pemilu

Jimly Asshiddiqi (kiri) menyebut Putusan MK sebagai momentum untuk membuat kajian komprehensif, menata ulang sistem kePemiluan untuk dituangkan dalam satu kitab UU Pemilu. Rifqinizamy (kanan) menilai jika putusan MK ini dijalankan dalam bentuk revisi UU Pemilu, maka berpotensi melanggar norma konstitusi.

 

-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 17 Juli 2025

 

Putusan MK No. 135 Tahun 2024 tentang Pemilu Nasional dan Lokal (2):

 

Polarisasi Respons Terhadap Putusan MK Soal Pemilu

 

Oleh: Syarifuddin Jurdi

(Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar)

 

Pertemuan DPR dengan sejumlah ahli dan pakar untuk memperoleh masukan terhadap putusan MK No. 135 Tahun 2024 sebagai bagian dari reaksi DPR terhadap putusan MK yang memisahkan Pemilu nasional dan Pemilu lokal.

Untuk Pemilu nasional diselenggarakan pada tahun 2029 yang mencakup pemilihan DPR, DPD dan presiden-wakil presiden, sementara Pemilu lokal diselenggarakan paling cepat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan DPR dan DPD atau pelantikan presiden-wakil presiden.

Putusan MK membawa konsekuensi bagi penataan ulang penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Namun demikian, putusan baru MK ini memperoleh reaksi yang keras dari partai politik dan sebagian politisi. 

Respons yang paling penting kritis muncul dari kalangan politisi dan Anggota DPR yang secara khusus membidangi masalah politik pemerintahan dan hukum. Sebagian dari mereka menilai bahwa Putusan MK tersebut sulit dijalankan secara teknis di lapangan dengan berbagai alasan.

Malahan ada yang lebih kritis menyebut Putusan MK itu merupakan putusan yang melampaui kewenangannya, karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Misalnya, Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, dengan tegas menentang Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Rifqinizamy menilai jika putusan MK ini dijalankan dalam bentuk revisi UU Pemilu, maka berpotensi melanggar norma konstitusi. Khususnya Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Menurutnya, “Jika kita mengikuti putusan MK dengan jeda antara Pemilu Nasional dan Lokal minimal dua tahun hingga dua setengah tahun, maka siklus Pemilu tidak lagi lima tahun sekali, melainkan bisa menjadi tujuh hingga tujuh setengah tahun. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi.” (https://www.hukumonline.com, 10/7/2025).

Para penggiat Pemilu, ahli hukum dan mereka yang mendorong perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu memandang putusan MK ini sebagai suatu jalan baru bagi bangunan demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Pakar hukum tatanegara seperti Jimly Asshiddiqi menyebut bahwa Putusan MK sebagai momentum untuk membuat kajian komprehensif, menata ulang sistem kePemiluan untuk dituangkan dalam satu kitab UU Pemilu.

Dengan menggunakan metode omnibus teknik yakni membuat UU Pemilu sekaligus menambah pasal dari UU Partai Politik, UU Ormas, dan UU Penyiaran.

Jimly menyebut bahwa Ormas harus netral, tidak boleh ikut partai politik. Penyiaran juga diatur agar netral, karena ada kesan media yang pemiliknya adalah politisi, kadang-kadang menunjukkan keberpihakan yang jelas. Mereka yang bergiat dalam urusan Pemilu merespons positif terhadap Putusan MK tersebut, karena putusan itu menjadi pintu untuk memperkuat sistem Pemilu yang lebih adil.

Perludem dan jejaringnya menganggap apa yang diputuskan oleh MK menjadi suatu terobosan untuk kemajuan demokrasi Indonesia. Mengenai bagaimana dengan status keanggotaan DPRD yang melampaui masa lima tahun apabila Pemilu lokal diselenggarakan dua atau dua setengah tahun setelah Pemilu nasional, untuk mengatur hal itu dapat dirumuskan oleh pembuat UU (pemerintah dan DPR).

Sementara pada sisi lain, Anggota DPR RI dilema dalam menyikapi putusan itu. Sebagian Anggota DPR yang memberi respons merasa putusan MK harus dijalankan karena bersifat final and binding, tetapi kalau dijalankan berpotensi melanggar konstitusi, khususnya pasal 22E.

Partai politik ikut memberikan respons terhadap putusan MK tersebut, misalnya Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem menilai bahwa Putusan MK mengenai pemisahan Pemilu nasional dengan Pemilu lokal mulai tahun 2029 dapat mengakibatkan krisis konstitusional. Lebih dari hanya sekedar krisis konstitusi, Partai Nasdem menyebut dapat menyebabkan terjadinya kebuntuan atau deadlock konstitusional.

Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem Lestari Moerdijat menyebut berpotensi menyebabkan pelanggaran konstitusi jika dilaksanakan, ia menyebut “Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock konstitusional. Sebab, apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi.”

Point yang menjadi perhatian partai Nasdem berpijak pada UUD 1945 Pasal 22E yang secara tegas menyebut bahwa Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Konstitusi itu juga menyatakan bahwa Pemilu diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pandangan seperti ini menjadi umum di kalangan politisi, sebagian ahli hukum ikut memberikan pembenaran bahwa masa jabatan anggota DPRD yang dimundurkan proses Pemilunya hingga dua tahun enam bulan berpotensi melanggar konstitusi.

Sejumlah pihak mulai memikirkan bagaimana jalan keluar untuk mengatasinya, di antaranya dapat dilakukan dengan mempercepat Pemilu lokal mendahului Pemilu nasional, sebagai masa transisi dapat dirumuskan dasar hukumnya pada masa peralihan agar tidak melanggar konstitusi.

Sikap yang hampir sama disampaikan oleh pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menyebut putusan MK tersebut sebagai bentuk ketidakkonsistenan, bahkan MK dianggap melakukan langkah yang lebih jauh dengan mengambil porsi dan peran pembuat UUD, PKS melalui Ketua Badan Legislasinya menilai MK seolah-olah mengambil alih peran pembentuk UUD, padahal ranah itu bukan kewenangannya. Ini menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan kita.

Lebih tegas PKS menyebut Putusan ini seharusnya masuk dalam ranah manajemen Pemilu, bukan konstitusionalitas. Ketidakkonsistenan ini semakin memperlemah posisi hukum MK, apalagi dalam putusan sebelumnya No. 55/PUU-XX/2022, Pilkada disamakan dengan Pemilu.

Kritik partai politik terhadap putusan MK merupakan keniscayaan ketika ada klausul putusan itu secara nyata berbeda dengan norma konstitusi. Apa yang menjadi kegelisahan itu berhubungan dengan posisi jabatan anggota DPRD, kalau diperpanjang tidak sesuai dengan konstitusi, karena konstitusi menyebut bahwa anggota DPRD adalah hasil Pemilu yang harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali, ini ada dalam Pasal 22E.

Opsi ini tentu tidak sejalan dengan sejumlah Pasal, misalnya pada Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, ini jelas menegaskan bahwa anggota DPRD dipilih melalui pemilihan umum, sementara pada Pasal 22E ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan.

Masyarakat sipil menyambut baik putusan itu sebagai upaya untuk melakukan perbaikan proses Pemilu. Di antara aspek yang perlu memperoleh perhatian dalam UU Pemilu mendatang yaitu soal beban kerja penyelenggara Pemilu yang bertumpu pada satu waktu dan waktu yang lain sangat longgar bahkan tidak ada aktivitas yang secara langsung berhubungan dengan tugasnya.

Kekosongan waktu yang relatif panjang bagi penyelenggara Pemilu itu dapat dimaksimalkan apabila Pemilunya dilakukan terpisah antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal.

Aspek penting lain yang harus diperhatikan juga adalah kelembagaan partai partai politik yang masuk dalam lingkaran pragmatisme. Proses rekruitmen kandidat tidak berjalan dengan baik, baik untuk posisi eksekutif maupun untuk posisi legislatif.

Aspek yang tidak kalah pentingnya adalah pemilih yang menggunakan hak pilihnya, mereka sebagai pemilih memerlukan waktu yang cukup untuk menilai kinerja partai politik, kinerja kandidat dan visi-misinya.

Dimensi yang terabaikan dalam dua kali Pemilu serentak terakhir adalah isu-isu lokal tidak memperoleh ruang yang cukup, tenggelam dengan isu politik nasional, khususnya perdebatan kandidat presiden dan wakil presiden.

Melalui Pemilu lokal, isu pembangunan daerah dapat dimaksimalkan, rakyat daerah bisa mencerna program kandidat untuk memperbaiki kehidupan politik lokal.

Wallahu a’lam bi shawab


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama