-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 19 Agustus 2025
Bincang Buku “Balutan Asmara La Ruhe” (1):
Lika-liku Laki-laki
yang Tak Laku-laku
Oleh: Asnawin Aminuddin
Forum Sastrawan Indonesia Timur (Fosait) kembali
menggelar bedah buku. Kali ini buku yang dibedah yaitu buku kumpulan surat cinta
Andi Ruhban dan acaranya diberi nama: “Bincang Buku Balutan Asmara La Ruhe”, di
Rumah De La Macca Jalan Borong Raya 75A, Makassar, Jumat, 15 Agustus 2025.
Tiga pembicara tampil sebagai pembincang
yaitu Rusdin Tompo (Koordinator Satupena Sulawesi Selatan), Goenawan Monoharto
(sastrawan, seniman dan penerbit) dan Yudhistira Sukatanya (sutradara teater
dan budayawan), serta dipandu oleh Ishakim (seniman).
Hadir sejumlah seniman, penyair, budayawan
dan wartawan antara lain Mahrus Andis (kritikus sastra), Muhammad Amir Jaya
(Presiden Fosait), Anwar Nasyaruddin, Syahril Rani Patakaki, Anil Hukmah,
Asnawin Aminuddin, Bahar “Petta Puang” Merdhu, Arwan Awing, Syarif Liwang, dan
Rahman Rumaday.
Buku kumpulan surat “Balutan Asmara La
Ruhe” yang terdiri dari 40 surat cinta dan setebal 116 halaman ini diterbitkan
oleh Penerbita De La Macca, dengan tata letak oleh Anwar Nasyaruddin serta
penghimpun dan desain sampul oleh Rahman Rumaday.
Andi Ruhban mengatakan, Guratan Cinta La
Ruhe merupakan salah satu bagian dan trilogi buku kumpulan surat cinta yang
telah tersimpan menjadi arsip selama 30 tahun ini.
Bahkan saking lamanya, Rahman Rumaday
selaku pengumpul naskah butuh membeli kaca pembesar (lup) untuk dapat melihat
secara jelas setiap huruf yang tertulis di atas kertas yang sudah menguning
termakan usia.
Goenawan Monoharto selaku penerbit mengatakan
butuh waktu dua tahun hingga buku ini dapat diterbitkan, karena sulitnya
menulis ulang naskah-naskah yang telah tersimpan selama 30 tahun.
Andi Ruhban mengaku sendiri masih banyak
balasan surat yang tak terselamatkan karena digerogoti usia.
“Naskah surat cinta yang saya kirim selalu
tersimpan rapi karena jika saya menulis surat cinta, saya melapisi dengan
karbon sehingga setiap surat yang saya kirim, ada arsip yang tersimpan,” ungkap
La Ruhe, sapaan akrab Andi Ruhban.
Arsip Pribadi Jadi Dokumen Publik
Rusdin Tompo selaku pembincang mengatakan ibarat
koki, penulis buku harus mempertimbangkan mau diapakan buku yang akan
diterbitkan. Juga perlu konsistensi penulisan, misalnya penulisan Toddopuli,
harus konsisten apakah ditulis dengan satu kata “Toddopuli” atau dua kata “Toddo
Puli”. Begitu pun dengan nama orang dan yang lainnya.
“Tanda baca juga harus tepat,” kata Rusdin
membuka perbincangan.
Buku kumpulan surat “Balutan Asmara La
Ruhe”, katanya, sebenarnya buku arsip pribadi yang sifatnya privasi, lalu
dibuka jadi dokumen publik.
“Ini juga perlu ada etikanya,” kata
Rusdin.
Secara bercanda ia mengatakan buku “Balutan
Asmara La Ruhe” adalah buku yang menggambarkan lika-liku laki-laki yang tak
laku-laku pada periode tertentu.
“Semacam cinta platonis, orang mendadak
jadi penyair ketika jatuh cinta,” ujar Rusdin sambil tersenyum, seraya menambahkan
bahwa buku tersebut menyingkap ‘sedikit sejarah komunikasi’ anak manusia yang
menggunakan surat, ada perangkonya atau pakai surat tapi melalui mak comblang.
Masih dalam nada canda, Rusdin menyebut
buku seperti inilah yang menghabiskan jatah ISBN Indonesia.
Tentang isi buku tersebut, ia menyebut
isinya adalah kumpulan surat cinta yang ditulis Andi Ruhban pada periode
tertentu dalam hidupnya kepada sejumlah perempuan yang di dalamnya ada ungkapan
perasaan, cinta, hasrat, dan kesepian. Juga ada cerita tentang diri, kondisi
dan situasi dari si penulis surat.
“Andi Ruhban menulis banyak surat cinta dan
nama-nama perempuan yang dikirimi dan namanya ditulis secara jelas dalam
suratnya, juga tempat dan tanggal penulisannya,” kata Rusdin seraya menyebut sejumlah
nama perempuan dalam surat cinta Andi Ruhban, tetapi Andi Ruhban meminta kepada
wartawan agar nama-nama tersebut tidak ditulis di dalam pemberitaan atau di
dalam reportase.
“Kalau mau ditulis, inisialnya saja,”
pintanya, tetapi Yudhistira Sukatanya langsung memotong dan sambil tersenyum mengatakan,
“Nama-namanya harus ditulis secara jelas.”
Di akhir pembahasannya, Rusdin Tompo
mengaku tertarik dengan buku ini karena selalu ada catatan kaki atau NB pada
setiap surat cinta yang ditulis Andi Ruhban.
“Andi Ruhban selalu menuls catatan di bagian bawah tulisannya, bahkan ketika tidak ada catatan pun dia menulis ‘kali ini tidak ada catatan’. Untuk apa ditulis begitu kalau memang tidak ada ji catatannya?” kata Rusdin sambil tertawa dan juga membuat pembincang lain serta peserta bincang buku ikut tertawa. (bersambung)
......
Tulisan bagian 2:
