-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 01 Agustus 2025
Buya Hamka dan
Bajak Karya Akademisian
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Bila ditelusuri di pasaran Google atau
melalui IA tentang esensi dari pemaknaan kata 'bajak', maka akan dimunculkan,
yakni sebagai berikut.
Bajak adalah alat pertanian yang
digunakan untuk mengolah tanah, khususnya untuk membalik dan melonggarkan tanah
sebelum menanam benih. Alat ini biasanya ditarik oleh hewan seperti sapi
atau kerbau, atau sekarang juga bisa menggunakan traktor. Selain itu, “bajak”
juga bisa merujuk pada tindakan merampas atau membajak sesuatu, seperti dalam
konteks bajak laut.
Bajak laut merupakan sekelompok orang yang
berlayar dengan kapal untuk mengelilingi laut lepas guna merampok kapal-kapal
lain. Mereka melakukan pembajakan dengan bengis tanpa ampun dan pemiliknya akan
dibunuh bila hartanya tak mau diserahkan.
Kelakuan pembajakan bukan hanya ada yang
diidentikkan dengan bajak laut semata, tetapi kini di dunia anomali akademisi
pun terimbas hal demikian, sekalipun dalam wujud berkarya untuk meraih predikat
an sich doang. Mungkun jejak demikian, telah lama sehingga Buya
Hamka (1966) berpesan agar tidak membajak karya orang lain.
Sekalipun, beliau hanya tamat kelas empat
SD, namun hasil karyanya berjiwa lebih dari 100 buku dan tentu melampui
predikat cumlaude akademisan, sehingga dianugerahi predikat tertinggi (Doktor
dan Profesor) oleh beberapa universitas berkelas. Bahkan bukan hanya satu universitas
yang memberinya gelar tersebut, di antaranya, Universitas Al-Azhar di Kairo,
Mesir, dan Universitas Nasional Malaysia. Selain itu, beliau juga menerima
gelar Guru Besar Kehormatan dari Universitas Moestopo Jakarta.
Buya Hamka dan Pembajakan
Buya Hamka dikenal sebagai seorang penulis
yang produktif. Beliau akan prihatin jika karyanya, atau karya orang lain,
diambil begitu saja tanpa izin. Beliau akan mendorong adanya perlindungan karya
tulis agar penulis merasa dihargai dan termotivasi untuk terus berkarya.
Meskipun pada masa Buya Hamka belum ada
istilah 'copy-paste' yang populer seperti sekarang, namun konsep hak cipta dan
perlindungan karya intelektual sudah ada. Beliau tentu akan mendukung upaya
perlindungan karya tulis dari pembajakan.
Perilaku pembajakan juga diidentikkan
dengan logika kebejatan diformalin dari binaan yang binal, tanpa menghiraukan
lagi esensi moralis akademisi yang berjiwa sahaja mesti dikedepankan.
Mereka hanya mengedepankan nilai material
semata dengan formalin apologists dunguan dengan segala cara untuk membajak
karya orang lain, tanpa jujur mengutip dijadikan sumber literatur keasliannya.
Diksi pembajakan atau plagiarisme berasal
dari bahasa latin plagiarius dan boleh diidentikkan dengan penculik / pencuri
secara licik, kelakuan demikian yang sungguh sangat buruk dan memalukan. Tetapi
biarkan saja akan mengalir dan juga mesti ketahuan kebohongan dalam berkarya
apapun.
“... Janganlah kamu mengira bahwa berita
bohong itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka
akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barang siapa di antara
mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia
mendapat azab yang besar (pula).”
Sekalipun, esensi ayat di atas, turun
yakni ketika Aisyah difitnah dengan bejat oleh Abdullah bin Ubay (sang
munafiqun) yang hidup pada zaman Rasulullah SAW. Ia menyebar fitnah di kalangan
umat Islam tentang istri Rasulullah SAW, yakni Aisyah ra.
Banyangkan, tapak jejak tentang Aisyah ra,
istri Nabi Muhammad Saw, adalah hidup sekitar 613/614 Masehi/M, dan
diperkirakan ketika difitnahin oleh para munafiqun, ia berumurnya 19 Tahun.
Berarti ayat tersebut, diturunkan kepada Rasulullah Saw tahun 595 M, manakala
angka tahun 614 - 19.
Sekalipun, tapak jejak ayat diturunkan
bukan sebagai karya manusia bertelapak kakian, namun mesti diyakini sebagai
bukti nyata jejak sejarah yang berjiwa lillahi terabadikan secara tulen menjadi
hamba Tuhan.
Karya Itu Berjiwa
Apapun dinamakan karya cipta adalah sebuah
perwujudan dari perenungan yang mendalam, dari seorang pencipta karya, baik
berupa seni budaya maupun buku serta karya ilmiah lainnya. Namun, dalam narasi
ini saya hanya menukilkan goresan karya buku dan berkaitan dengan domain ilmiah
lainnya, baik dari hasil karya sendiri yang bersifat alami, maupun yang
dibuatin oleh orang lain.
Kehadirannya_Buku atau jenis yang lainnya
bukan sekadar karyaan dari tumpukan google Copy pastean tetapi menjadi harkat
diri penulis itu sendiri, terutama tentang kevalidan data tanpa plagianisme.
Jadi, silakan berkarya tetapi jangan juga
mencuri_minimal santun mengutip sebagai bukti tapak jejak literature_menjadi
pertanda radius kecerdasan secara jantan dapat dipertanggung-jawabkan dunia
akhirat mencerahkan logika karya berjiwa yang akan terabadikan sebagai sejarah
yang tidak bernafas penuh kehampaan.
Kehampaan Jiwa Karya
Kalau mau dihargai di dalam berkarya
sehingga menjadi ilmuwan, maka jangan terlalu berani memalingkan karya orang
lain tanpa dihargai dengan dikutip keasliannya menjadi sumber literaturnya.
Dan juga seyogyanya literatur akan
bercermin yang menjadi kepatutan titelan mesti akan dikenang memang patut
dijempolin.
Manakala, tidak demikian, sungguh
menyedihkan, apalah arti sebuah titelan bah bandrong selangitan, tetapi
sungguh menyayat batin dan selalu dirundung duka tak akan padam.
Bahkan, hasil kutipannya jadi kliping yang
pantas jadi sampahan, biar jadi kerupuk pun terasa hampa justru hambar tak
berasa apa apapun !
Dan apapun durasi mental dari perilaku
pembajakan yang diidentikan dengan logika kebejatan yang bersifat ignorance
atau kedunguan tanpa makna. Hal demikian, memang patut dihindari.
Logika demikian, justru akan
dikenang sebagai bajak karya saja, demi titelan akademisi an sich doang. Bahkan
mungkin karakter ignorance pun akan melekat dan terabadikan untuk dikenang
hanya menjadi ampas ceboan saja.
Kesan demikian, sehingga Buya Hamka pun
berpesan jangan melakukan pembajakan karya orang lain atau sehingga tidak
diidentikkan dengan bajak laut di dalam arena berakademisian yang berwasalam
penuh kehampaan. Wallahu a’lam.***

