Cara Kerja AI Ada Kemiripan dengan Struktur Al-Qur’an

“Cara kerja AI itu kalau kita pahami dari struktur Al-Qur’an, sebenarnya ada kemiripan.” - Abdul Mu’ti -


----

Senin, 04 Agustus 2025

 

Cara Kerja AI Ada Kemiripan dengan Struktur Al-Qur’an

 

Materi Mendikdasmen pada Musywil III Tarjih Muhammadiyah di Unismuh Makassar

 

MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof. Abdul Mu’ti, menyampaikan pandangan unik dan reflektif tentang kecerdasan buatan (AI) dalam Seminar Nasional Musyawarah Wilayah (Musywil) III Tarjih Muhammadiyah yang berlangsung di Balai Sidang Muktamar Muhammadiyah ke-47, Kampus Unismuh Makassar.

Dalam paparannya, Abdul Mu’ti yang juga Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengaitkan cara kerja AI dengan struktur dan makna ayat-ayat Al-Qur’an.

“Cara kerja AI itu kalau kita pahami dari struktur Al-Qur’an, sebenarnya ada kemiripan,” ujar Abdul Mu’ti yang dalam seminar tersebut membawakan materi: “AI dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia.”

Ia menjelaskan bahwa tema-tema dalam Al-Qur’an tidak disusun secara sistematis seperti dalam karya ilmiah. Konsep seperti taqwa, misalnya, tidak dibahas secara utuh dalam satu surah, tetapi tersebar di berbagai bagian Al-Qur’an.

Mu’ti merujuk pada karya Fazlur Rahman, “Major Themes of the Qur’an”, yang menyatakan bahwa Al-Qur’an memiliki sistem hubungan internal antar-ayat dan menjelaskan dirinya sendiri.

“Al-Qur’an itu self-explanatory. Kalau kita kaji secara tematik (tafsir maudhui), maka satu konsep seperti taqwa akan kita temukan tersebar dalam bentuk jaringan ayat yang saling mendukung. Ini mirip dengan sistem kerja AI yang membentuk propositional network,” ungkapnya.

Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa kata taqwa dan derivasinya muncul lebih dari 250 kali dalam Al-Qur’an. Ia sendiri telah menulis buku berjudul “Menjadi Manusia Bertaqwa”, yang telah dicetak ulang dua kali—dan habis dibagikan secara gratis.

Dengan gaya jenaka, ia menambahkan, “Kenapa habis? Karena dibagi-bagi gratis.”

Abdul Mu’ti memperingatkan bahaya pendekatan atomistik dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu memahami satu ayat tanpa mengaitkannya dengan ayat lain. Ia menyebut ini sebagai kesalahan yang banyak terjadi ketika seseorang hanya mengambil satu ayat untuk menyampaikan pesan, tanpa melihat konteks dan keterkaitan antar-ayat.

“Inilah bahayanya kalau orang berpegang pada satu ayat saja, lalu dijadikan dalil tunggal. Apalagi kalau hanya untuk membenarkan pendapat sendiri,” katanya.

Ia menambahkan, hal ini diperparah ketika da’i atau ustadz hanya mengutip ayat tertentu yang seolah mendukung opininya, tanpa menyeluruh pada makna yang ingin disampaikan Al-Qur’an.

 

AI Tidak Lebih dari Alat

 

Masuk ke pokok bahasan tentang AI, Mu’ti menjelaskan bahwa AI sebenarnya hanyalah sistem yang dibangun untuk menangkap, menyimpan, dan mengolah informasi berdasarkan input manusia.

“Prinsipnya sederhana. AI itu mengumpulkan data, diolah, disimpan, lalu kita panggil saat dibutuhkan. Karena itu, kita tak perlu takut dengan AI kalau kita bisa mengisinya dengan data yang benar,” kata Mu’ti.

 

Tiga Tantangan Penggunaan AI

 

Namun, ia juga mengingatkan tiga tantangan utama dari penggunaan AI. Pertama, Kebenaran Informasi Tidak Terjamin. Apa yang disampaikan AI belum tentu benar. Misalnya, jika seseorang mencari informasi tentang Abdul Mu’ti, bisa saja yang muncul adalah sosok berbeda.

“AI menyimpan semua informasi yang masuk, tanpa memverifikasi kebenarannya,” kata Mu’ti.

Kedua, Siapa Saja Bisa Bicara, Termasuk yang Tidak Ahli. Ia menyebut fenomena kematian kepakaran, di mana semua orang merasa mampu dan bebas menyampaikan pendapat, bahkan yang bukan bidangnya.

“Orang bisa saja membaca manual cara menerbangkan pesawat, tapi kalau tidak ada manual cara mendaratkan, ya pesawat itu tidak akan turun,” ujar Mu’ti sambil tersenyum.

Ketiga, Kurangnya Kontribusi dari Ahli. Banyak informasi keagamaan di dunia maya diisi oleh mereka yang bukan otoritas agama.

“Hadits Nabi mengatakan, di akhir zaman, banyak orang bodoh yang diminta fatwa, lalu dia memberi fatwa dan menyesatkan,” kata Mu’ti.

Karena itu, ia mendorong para ulama, muballigh, dan warga Muhammadiyah untuk aktif mengisi ruang digital dengan konten ke-Islam-an yang sahih dan mendidik.

“Kalau tidak kita yang mengisi, maka akan diisi oleh yang bukan ahlinya,” tegas Mu’ti.

 

AI Butuh Input Bahasa Lokal

 

Mu’ti juga membagikan pengalamannya mencoba AI seperti ChatGPT. Ia pernah meminta AI membuatkan naskah pidato wisuda dalam bahasa Jawa dan Bugis.

“Dia jawab, ‘Maaf, saya tidak bisa.’ Karena tidak ada yang mengunggah dalam bahasa itu. Nah, ini ‘PR’ kita semua,” katanya sambil tertawa.

Ia menegaskan bahwa umat Islam harus menjadi bukan hanya pengguna (user), tapi juga produsen (producer) informasi digital.

“Guru-guru bisa kalah dari muridnya yang punya AI di HP. Ceramah guru bisa direkam, ditranskrip otomatis, selesai. Maka kita harus kuasai teknologi, bukan jadi budaknya,” tandas Mu’ti.

 

Manusia Tetap di Atas Teknologi

 

Mengakhiri ceramahnya, Abdul Mu’ti mengingatkan bahwa teknologi tidak bisa menggantikan kehadiran fisik dan nilai-nilai kemanusiaan.

“Waktu Covid, semua berubah jadi virtual, termasuk takziah, tapi Zoom tidak bisa mengantar jenazah ke kuburan. Metaverse tidak bisa tawaf di Ka’bah, hanya bisa muteri layar. Itu haji bingung namanya,” ujarnya disambut tawa peserta.

Ia menegaskan bahwa manusia tetap harus lebih cerdas daripada AI agar mampu memandu umat dan menjaga arah informasi.

“Jangan sampai umat belajar sesuatu yang keliru karena kita diam. Upload terus fatwa-fatwa tarjih, dakwah, konten positif. Kalau tidak, yang menguasai informasi adalah mereka yang tidak bertanggung jawab,” kata Mu’ti.

Di akhir materinya, sambil melirik ajudannya yang sudah memberi isyarat waktu, ia menutup ceramah dengan seruan dakwah digital.

“Wahai para ulama tarjih, para mubalig, para netizen Muhammadiyah, aktiflah di media! Gunakan AI sebagai alat dakwah, bukan sebaliknya. Nasrun minallah wa fathun qarib. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” tutup Mu’ti.

Seminar Nasional Musyawarah Wilayah (Musywil) III Tarjih Muhammadiyah turut dihadiri oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Irwan Akib, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel Prof. Ambo Asse, Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah Sulsel Dr. Mahmudah, Rektor Unismuh Makassar Dr. Abdul Rakhim Nanda, serta seribuan undangan, dosen, dan karyawan Unismuh Makassar. (asnawin)

(asnawin)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama