----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 28 Agustus 2025
OPINI:
DPR, Watchdog akan Ketololan
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Dalam literatur istilah “watchdog” yang
mulai digunakan sekitar tahun 1600-an dalam tulisan-tulisan. Kemudian, dalam
kamus Bahasa Inggris diksi “Watchdog” adalah kata benda yang dibentuk dari
penggabungan “watch”/mengawasi dan “dog”/anjing.
Kemudian, dalam dunia politik digunakan “watchdog”
untuk mengacu pada peran pengawasan kritis yang diemban, baik oleh jurnalis,
organisasi sipil maupun kelompok masyarakat untuk memantau dan mengkritik
tindakan penguasa serta menginformasikan publik. Tidak lain, tujuannya untuk
memastikan transparansi, akuntabilitas, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Metafora diksi ini berasal dari peran
anjing penjaga yang menjaga dan “menggonggong” ketika ada ancaman. Dalam
konteks politik bisa digunakan untuk mengungkap korupsi, pelanggaran etika,
atau kesalahan oleh pejabat publik dan lembaga.
Jadi, esensi dari diksi Watchdog atau
anjing penjaga bisa merujuk pada dua hal berbeda: anjing penjaga adalah anjing
yang bertugas mengawasi dan melindungi properti atau orang dari penyusup,
sedangkan “watchdog” (secara kiasan) adalah lembaga atau individu yang
mengawasi badan lain, seperti perusahaan atau pemerintah. Tentu, tugasnya
adalah untuk memastikan tindakan mereka tidak melanggar hukum atau tidak etis
demi kepentingan publik.
Keetisan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
yakni melaksanakan amanah utama yang sesuai UUD 45, di antaranya, sebagai
pembentuk undang-undang, pelaksana pengawasan terhadap pemerintah, dan fungsi
anggaran.
Namun, kini ketiga peran ini tidak
berjalan optimal, muncul persepsi bahwa DPR tidak lagi efektif sebagai Watchdog
di dalam mewakili rakyat tetapi hanya demi “dog watch” dirinya doang
digonggonginya. Sebagaimana gonggongan 'dog watch' atas Ketololan Ahmad
Sahroni, dengan kalimat 'orang tolol sedunia' kepada pendemo pembubaran
DPR RI.
Kemudian, dibantahnya dengan melolong
kebeletan dalam ketololannya, sebagaimana dimuat oleh Suaradotcom yang
diviralkan di berbagai media sosial.
Bantahan Tolol Ahmad Sahroni
Tanpa diuraikan tentang esensi dari kata “tolol”
menunjukkan tingkat kebodohan yang tinggi, bahkan lebih dari sekadar “tidak
pintar”. Kata tolol atau ketololan bersifat pejoratif dan menunjukkan
ketidakmampuan seseorang untuk bertindak secara rasional, yang dapat berujung
pada tindakan yang merugikan. Termasuk, bila diucapkan secara langsung kepada
pihak yang bersangkutan, maka akan berkesan sungguh sangat memalukan, baik
ketika berhadapan atau kemudian bila disampaikan.
Kemudian, narasi bantahan Ahmad Sahroni
atas kalimat melolongnya dengan kebeletan dalam ketololannya, sebagaimana
dimuat oleh Suaradotcom via facebook 27/8/2025. Saya akan mengutip apa adanya,
kemudian terakhir akan disisipkan reaksi dari esensi diksi Watchdog oleh Rocky
Gerung Official. Adapun, narasi lolongan bantahan dimaksud, sbb.
“Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad
Sahroni, telah mengeluarkan klarifikasi tegas terkait pernyataannya yang sempat
menjadi kontroversi. Ia membantah telah menyebut seluruh masyarakat Indonesia ‘mental
tolol sedunia’. Menurut Sahroni, pernyataan tersebut disalahpahami dan
dipelintir; sebenarnya, yang ia maksud adalah oknum-oknum tertentu yang
menyerukan pembubaran DPR, bukan masyarakat luas yang menyampaikan kritik.
Dalam penjelasannya, Sahroni mengungkapkan
rasa frustrasinya karena ucapannya “digoreng” seolah membidik seluruh rakyat.
Ia, memperjelas bahwa kata-kata pedas itu ditujukan khusus kepada mereka yang
mendesak pembubaran lembaga legislatif sebuah gagasan yang menurutnya adalah
kekeliruan fatal karena menyamakan diri dengan bagian dari negara yang tidak
bisa ditarik begitu saja.
Ia menegaskan bahwa tidak pernah ada
niatan untuk melabeli masyarakat secara umum sebagai tolol. Kini, dengan penuh
tegas, Sahroni membantah tuduhan-tuduhan itu dan menyatakan bahwa pernyataannya
hanya bermaksud menyoroti tindakan ekstrem dari segelintir orang saja.
Bantahan atas Ketololan Ahmad Sahroni ini
bukan lagi bah ‘Watch Dog’ atau anjing penjaga dalam filsafat politik. Bahkan
yang "... terjadi sebaliknya si anjing penggonggong ini menggonggongi
rakyat dengan menganggap rakyat itu tolol, rakyat itu kurang cerdas, rakyat itu
tidak terdidik, itu artinya dia menggonggongi tuannya kan konyol"
(YouTube di kanal Rocky Gerung Official, Rabu 27/8/2025.
Bias kekonyolan atas ketololan dari gaung
melolong Ahmad Sahroni sehingga publik pun wajar bumerang untuk menghajar balik
dengan beragam diksi dasar sialan "Watchdog" hanya menggonggong demi
tulang doang. Mungkin akan lebih baik, bila telah jadi anggota yudikatif
dan atau legislatif hendaknya memilih diksi yang tidak berdampak kesialan
kepada diri dan keluarganya.
Kesialan Jadi Manusia Tulen
Sungguh elok dan menawan bila menyadari
diri akan sirkulasi isi otak sebagai manusia biasa memang agak lamban sehingga
terjadi kelembaban. Apatah lagi, memang disadari bagaikan sirkulasi ampas
ceboan, dan jangan pula ditambalin dengan memutarin sehingga menjadi bokongan
berkubang jambanan.
Maka, semakin benderanglah tampak akan
ketulenan di dalam merawat kedunguan menjadi king kalikongan. Sungguh alangkah
sialnya menjadi manusia yang telah dianugerahi Tuhan dengan kemuliaan. Tetapi,
justru memilih jalan aspalan berlebihan berhingga melampui kadar ke_asfala
safilin-an yang penuh kehinaan dengan nyata jadi pilihan.
Dan sungguh telah nyata di dalam
QS. At-Tin ayat 5 titahkan yang berarti; "Kemudian, kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya".
Tidak terbantahkan tentang esensi dari
ayat tersebut, memang menjelaskan mengenai kadar manusia yang bisa jatuh
ke derajat paling rendah, apabila, ia menyimpang dari fitrahnya dan tidak
beriman serta beramal saleh secara tulen.
Manakala, tidak tulen meyakini pesan ayat
dimaksudkan, tentu akibatnya juga akan berdampak timpang menjadi buah ketololan
yang dituai, baik di dunia maupun berakhiratan.
DPR dan Istana Tampak Timpang
Dunia tetap berputar dengan apa adanya dan
bersirkulasi takdir jadi pengabdiannya kepada Sang Abadi
Kalau penghuni merasa bimbang seakan bumi
tak berkeadilan, itu hanya ilusian pikiran tanpa logis berikhtiar untuk
menggapai harapan
Mungkin tidak terlalu senasip dengan yang
kirab di dalam detik detik mulia untuk berdemo damai guna menuntut keadilan
utama diperankan, namun diguyur semprotan kepedihan air mata berlinang.
Sementara di sisi lain, ada menitihkan air
mata dengan rasa haru bercampur bahagia karena dianugerahi bintang mahaputera
utama di Istana berbinang.
Mungkin, boleh saja kita berbeda untuk
menilainya dan itu hal yang wajar, di dalam detik demo hanya untuk menitihkan
air mata yang begitu tampak timpang !
Jadi, alangkah eloknya DPR agar tetap
mempertajam peran sebagai Watchdog dan menghindari logika gaya diksi ketololan,
sehingga dihormati tanpa berkesan kadar kesialan benaran._Wallahualam.
