Goenawan Monoharto 40 Tahun Berkarya dan Berteater

“Tulisan pertama saya muncul di Pedoman Rakyat, yang masih tersimpan baik dalam bentuk kliping,” ungkap Goenawan Monoharto.

 

-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 02 Agustus 2025

 

Goenawan Monoharto 40 Tahun Berkarya dan Berteater

 

Oleh: Rusdin Tompo

(Ketua SATUPENA Sulawesi Selatan)

 

Kabar gembira datang dari Goenawan Monoharto. Pada tahun 2025 ini, Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI menetapkan dirinya sebagai salah seorang penerima penghargaan sastrawan yang sudah berkarya lebih 40 tahun.

“Tulisan pertama saya muncul di Pedoman Rakyat, yang masih tersimpan baik dalam bentuk kliping,” ungkap Goenawan Monoharto, saat ngobrol dengannya di kantor penerbit de La Macca, Kamis, 31 Juli 2025.

Pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 21 Maret 1957, ini mengakui, pentingnya pengarsipan dan pendokumentasian sehingga informasi terkait aktivitasnya bisa dilacak kembali. Pernyataannya ini bisa dilihat pada ketelatenannya menyimpan buku-buku lawas terkait sejarah, fotografi, dan seni budaya, terutama sastra dan teater.

Terkadang, apa yang dilakukannya terlihat sepele, tetapi sesungguhnya penting. Dia, misalnya, hobi menyelipkan foto, nota buku, atau guntingan koran di antara lembaran-lembaran buku koleksinya. Bahkan dia masih menyimpan sejumlah iklan pembatalan acara pernikahan warga keturunan Tionghoa, menyusul kerusuhan rasial di Makassar, tahun 1997.

Brosur-brosur pertunjukan teater yang dibuat sederhana, tetapi menggambarkan era keemasan teater di Makassar, dia juga punya. Belum lagi booklet lomba dan pameran fotografi, semuanya tersusun baik.

Goenawan Monoharto bercerita, dia sudah suka menulis sejak masih remaja. Usai SMA, dia mengikuti sekolah wartawan di Makassar, tahun 1977. Kemudian, mengikuti pelatihan teater selama dua tahun anggaran, yang diselenggarahkan di bidang kesenian, Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Sulawesi Selatan.

Sejak 2021 hingga sekarang, dia menerbitkan Majalah MACCA, yang berfokus pada literasi, pendidikan, dan seni budaya.

Selepas mengikuti pelatihan teater, bersama Kadir Ansari, Rasyid Ruppa, Ajiep Padindang, dan Muliati, dia membentuk grup teater yang diberi nama Teater Studio Makassar. Teater ini sudah belasan kali menggelar pentas dari Makassar sampai ke Jakarta. Grup Teater Studio Makassar terbaru pentas sebelum wabah Covid 19 menyerang bumi.

Beberapa kali pentas di Graha Bakti Budaya, TIM Jakarta. Bermula pada tahun 1982, ketika tampil dalam drama “Samindara” bersama Teater Makassar, dengan sutradara Aspar Paturusi.

Pada tahun 1985, tampil dalam “Perahu Nuh 2”, bersama Teater Makassar, dengan sutradara Aspar Paturusi. Kemudian pada tahun 1995, tampil dalam pertunjukan “Karaeng Pattingalloang” bersama Teater Makassar, yang dipentaskan di Solo, dengan sutradara Jacob Marala.

Goenawan kembali tampil dalam pertunjukan “Perahu Nuh 2”, tapi kali ini bersama mahasiswa IKJ, dan pentas di Graha Bakti Budaya TIM Jakarta, dengan sutradara Aspar Paturusi.

Pada tahun 2018, tampil dalam pementasan “Lagoa Wanted” di Graha Bakti Budaya TIM Jakarta.

Pementasan berikut yang pernah diikuti, yakni “Tomanurung Baine”, produksi LAPAKKSS, dengan sutradara Yudhistira Sukatanya di Kutai, Kalimantan Timur, pada tahun 2025.

Di bidang sastra, Goenawan Monoharto aktif menulis puisi, cerita pendek dan kritik teater. Awalnya, dia belum berminat menerbitkan buku. Apalagi, kala itu, masih banyak kendala yang dihadapi untuk bisa menerbitkan buku.

Dia berasumsi bahwa menerbitkan buku itu susah dan mahal. Sebab dia belum mengetahui teknologinya. Kalaupun ada buku yang dia terbitkan, sifatnya hanya stensilan.

Faktor inilah yang menjadi semacam ‘dendam’ mendalam bagi seorang Goenawan Monoharto.

“Suatu ketika, saya akan menerbitkan sendiri puisi-puisi dan cerita-cerita saya,” tekad Goen, begitu sapaan akrabnya.

Setelah belajar membuat buku, akhirnya dia bisa mewujudkan impiannya, yakni punya usaha penerbitan di tahun 2000—tak lama setelah Reformasi. Dia pun semakin keranjingan menulis puisi, dan menerbitkannya sendiri. Terbalaslah dendam itu.

Bagaimana tidak. Dia punya otoritas bukan saja terhadap karya-karyanya tapi juga pada usaha penerbitannya. Dia kini bahkan dipercaya sebagai Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Sulawesi Selatan.

Tahun 2017, dia diberi mandat sebagai kurator dan kotributor untuk kota Makassar terkait penerbitan buku “Apa & Siapa Penyair Indonesia” (ASPI).

Editor buku terbitan Yayasan Hari Puisi Indonesia, tahun 2017, ini adalah Maman S. Mahayana, yang dikenal sebagai akademisi, sastrawan, dan kritikus sastra. Nama Goenawan Monoharto termuat di halaman 215-216 pada jejeran lebih 650 penyair Indonesia yang ada di buku itu.

Sekarang ini, menurut penuturannya, dia sedang mengerjakan tiga buku, masing-masing “1980: Masa Emas Teater di Sulawesi Selatan”, novel “Dora Penturi”, berkisah tentang seorang gadis Ambon yang menjadi kekasih mata-mata Belanda pada masa penjajahan Jepang di Makassar, dan sebuah buku puisi tunggal yang dipersiapkan terbit tahun 2025 ini.

Di luar dunia sastra, Goenawan Monoharto juga bergiat sebagai pengurus dalam beberapa organisasi, terkait dengan seni budaya, antara lain aktif di DKSS (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan), DKM (Dewan Kesenian Makassar), BKKNI (Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia), dan LAPAKKSS (Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan).

Selain itu, dia juga menjadi seniman fotografi sejak 1984. Sejumlah pameran instalasi fotografi sudah dilakoni, hingga usainya wabah Covid 19.***


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama