-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 02 Agustus 2025
Waspadai Operasi
Hitam New Komunis & Gerakan Islamofobia
Oleh: Achmad Ramli Karim
(Pemerhati Politik & Pendidikan)
Dimulai dari VOC yang membawa ratusan
budak untuk dipekerjakan dari Yaman Selatan ke Nusantara untuk mengatasi sayyid
yang berpihak pada Pangeran Diponegoro. Yamanian ini beranak-pinak sampai
sekarang di Nusantara.
Menanggapi isu yang berkembang melalui
media sosial (medsos), bahwa mereka (Ba'alawi) dari Yaman mendirikan PKI
kemudian memberontak tahun 1948 dan 1965. Selanjutnnya fase waktu repormasi
membentuk PAMSWAKARSA yang bermetamorfosa jadi FPI.
Sepertinya ada gerakan politik peralihan
isu, melalui penggiringan opini publik secara masif dan sistematis oleh
kelompok oligarki. Seakan-akan Habaib adalah sumber malapetaka berkembangnya
paham komunis di Nusantara, sebab Habaib berasal dari keturunan Yaman tempat
berkembangnya paham komunis (komunisme).
Lalu strategi penggiringan opini publik
disisipkan di dalamnya, bahwa FPI dibentuk oleh tokoh keturunan Yaman yang
berpaham komunis (HRS), sementara anak-anak keturunan PKI seperti yang
mengatakan “Aku Bangga Jadi anak PKI” bukan anggota FPI.
Tetapi mereka-mereka justru takut dengan
gerakan sosial dan dakwah FPI, karena bisa menghentikan atau mengakhiri
kekuasaan yang ada pada New Komunis sekarang. Dan itulah yang ditakuti oleh New
PKI pada FPI.
Jangan belokkan sejarah masa lalu hanya
untuk kepentingan kelompok politik, lalu menghasut publik yang tidak logis,
sebab sejarah perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di Indonesia
dimotori dan dimotivasi oleh para ulama.
Ini betul-betul pembentukan opini publik
sebagai strategi politik peralihan isu, dari strategi kudeta konstitusi new
komunis yang sedang berlangsung 10 tahun terakhir. Sebab Keluarga Ba' Alawi,
atau yang lebih dikenal sebagai para Habib, mulai masuk ke Indonesia secara
bertahap sejak abad ke-13 atau ke-14 hingga pertengahan abad ke-20. Mereka
datang dari Hadhramaut, Yaman, dan menyebar ke berbagai wilayah seperti Campa
(Vietnam), Malaysia, dan Indonesia.
Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI)
didirikan pada tanggal 23 Mei 1920. Organisasi ini merupakan kelanjutan dari
organisasi sebelumnya yang bernama Perserikatan Komunis Hindia Belanda yang
dipelopori oleh Henk Sneevliet dan Semaoen yang terbentuk pada tanggal 23 Mei
1920, dan sebelumnya lagi bernama Perhimpunan Demokrat Sosial Hindia pada
tanggal 9 Mei 1914.
Apa hubungannya DNA dengan pemberontakan
dan penghiantan kelompok PKI, karena sekarang juga banyak pejabat publik
menghianati bangsa dan negaranya bukan DNA dari Arab atau Yaman, melainkan DNA
Suku bangsa Indonesia.
Jika ada yang menganggap dirinya Habaib
ternyata tes DNA bukan garis keturunan Nabi Muhammad SAW, saya setuju tetapi
tidak ada hubungan darah dan hubungan klausal dengan pemberontakan PKI 1948,
dan G30S/PKI 1965.
Bahwa 10 tahun terakhir bukan hukum dan
demokrasi yang menjadi acuan kebijakan publik, melainkan kekuasaan oligarki di atas
hukum dan demokrasi, sehingga siapa yang mau ditenggelamkan akan
dikriminalisasi dan siapa teman politik harus diselamatkan.
Karena kesepakatan politik dalam koalisi
politik, jauh lebih kuat dan menggigit ketimbang hukum positif. Dan untuk
menyesuaikan kesepakatan politik, maka regulasi (aturan) harus disesuaikan
(kudeta konstitusi) lewat jalur politik. Inilah yang dimaksud “politik
transaksional”).
PKI Gagal Menancapkan Idiologi Komunis
Kegagalan PKI menguasai pemerintahan
Indonesia melalui G30S/PKI pada 1965, disebabkan oleh 3 faktor, yaitu; (1)
Kokohnya integritas dan rasa nasionalisme para ulama (Habib), sehingga mampu
mempersatukan umat islam dalam melawan PKI.
(2) Kuatnya pengaruh para ulama membakar
semangat juang dan patriotisme sehingga mampu mempersatukan para Mahasiswa,
masyakat umum, dan TNI, melalui kalimat takbir dan motivasi jihad tampa
pendekatan materi; (3) Dengan pendekatan materi dan kesejahteraan, PKI gagal
mengikat nurani dan mempersatuksn kaum proletar, sebagai massa pendukung dan
pendobrak.
Oleh sebab itu pengalaman sejarah, bisa
saja menjadi pembelajaran dalam menyusun strategi kebangkitan New Komunis yang
gejalanya sudah terbaca oleh publik. Mungkinkah isu Habaib tersebut, merupakan
operasi hitam kaum komunis bersama Islamophobia?
Amati serta analisislah berdasarkan data,
fakta, dan aksi kongkrit, karena sejarah bisa saja terulang kembali jika rakyat
lengah. Apalagi kaum Marxisme dan kapitalis sangat mengetahui masyarakat
nusantara dominan kaum proletar, yang rendah pendidikan, minim SDM, dan buta
politik, sehingga melalui pendekatan materi dan kesejahteraan baik Belanda
maupun PKI berhasil memecah belah persatuan bangsa melalui strategi segregasi,
yaitu pemisahan kelompok-kelompok sosial berdasarkan ras, agama, suku, dan
kelas sosial.
Kaum proletar adalah kelas sosial yang
terdiri atas para pekerja upahan yang menjual tenaga kerja mereka untuk
mendapatkan upah. Dalam konteks pemikiran Karl Marx, mereka adalah kelas
pekerja yang tidak memiliki alat produksi dan hanya memiliki tenaga kerja
sebagai komoditas yang dijual kepada kaum borjuis (pemilik modal).
PKI tidak berhasil menggolkan konsep
komunisme sebagai dasar negara Indonesia, yaitu; “Tri Sila” (NASAKOM) melainkan
“Pancasila” oleh para Perumus Dasar Negara (the founding fathers).
Kemudian generasi pelanjutnya (New
Komunis) mencoba lagi menggolkan konsep “Tri Sila” tersebut pada 2002, melalui
amandemen kedua UUD 1945 dan juga lagi-lagi gagal, karena tokoh-tokoh HMI
yang ada di berbagai Fraksi DPR saat
itu, sangat gigih menghalanginya.
Karena tokoh-tokoh HMI dan tokoh muslim
sangat kuat bersatu menjadi penghalangnya, maka pertarungan idiologi sekuler
terpaksa ditempuh melalui konsep BPIP. Dan kemungkinan atas dasar pertimbangan
tersebut, pada tanggal 28 Februari 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila.
Dimana konsep “Tri Sila” tercantum dalam
RUU BPIP yang sedang tertuda pengesahannya di Badan Legislasi DPR RI. Sama
seperti RUU Sisdiknas yang menghilangkan frasa Agama dan Madrasah, yang juga
tertunda pengesahannya.
RUU yang sangat strategis bagi mereka
ternyata tidak dicabut, melainkan ditunda pengesahanya, hal itu berarti jika
situasinya memungkinkan, baru dilanjutkan.
Ada dua kekuatan politik globalisasi yang
menjadi ancaman persatuan dan kesatuan bangsa (nasionalisme), demi
memperebutkan pangsa pasar dan sumber daya alam nusantara, yaitu; pertama :
pengaruh kapitalis barat (Zionis) yang berhaluan liberal sekuler.
Paham demokrasi yang menjujunjung tinggi
kebebasan individu serta mengukur kemajuan pembangunan dari sudut materi
(duniawi), namun anti-Islam (Islamofobia). Kedua: masuknya kekuatan politik
kapitalis utara (Cina Komunis) yang juga berhaluan sekuler (pemisahan agama
dengan negara), sebagai dampak dari peralihan kiblat ekonomi Indonrsia ke arah
utara (RRT) sepuluh tahun terakhir.
Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa dalam
era perdagangan bebas (globalisasi), kedua blok ekonomi dunia yang saling
bersaing tersebut berdampak pada sistem ekonomi dan politik di Indonesia.
Sedangkan hal yang menjadi landasan
analisis; seperti: (1) Kemungkinan bangkitnya new komunis yang pernah didukung
secara politik, oleh Partai Komunis China (PKC). (2) Kebangkitan New Komunis,
kemungkinan besar didukung oleh operasi hitam sionis melalui gerakan anti islam
(islamofobia). Karena Indonesia berpenduduk mayoritas muslim terbesar ketiga
dunia yang memiliki solidaritas tinggi terhadap sesamanya muslim di Palestina.
Secara geopolotik, kedua kekuatan blok
tersebut, tentu memiliki pengaruh besar dibidang ekonomi dan politik, apalagi
keduanya nenunjukkan gejala anti islam (Islamofobia). Itulah sebabnya PBB,
melalui Majelis Umum, telah menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari
Internasional untuk Memerangi Islamofobia.
Resolusi PBB tentang Islamofobia, atau
kebencian terhadap Islam, ditujukan untuk memerangi dan mencegah diskriminasi,
intoleransi, dan kekerasan terhadap Muslim serta nilai-nilai Islam.
PBB, melalui Majelis Umum, telah
menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi
Islamofobia, untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong publik untuk melakukan
tindakan melawan gerakan anti Islam ini.
Penetapan 15 Maret diperingati sebagai
Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia, sebagai upaya global untuk
meningkatkan kesadaran dan mendorong tindakan melawan Islamofobia. Resolusi ini
mengecam segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berbasis agama, termasuk yang
ditujukan kepada umat Islam.
Sadarkan masyarakat akan ancaman,
tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG), dari dalam dan dari luar. Karena kaum
penjajah sangat cerdas (melek politik), memiliki kualitas SDM serta menguasai
teknologi komunikasi dan jaringan. Dan tidak menutup kemungkinan adanya
dukungan politik dari kaum kapitalisme barat dan utara.
Makassar, 02 Agustus 2025

