-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 29 Agustus 2025
OPINI:
Literasi Kita:
Antara Proyek Seremonial dan Transformasi Kultural
Oleh: Usman Lonta
Literasi merupakan fondasi pembangunan
manusia. Negara-negara dengan indeks literasi tinggi biasanya memiliki indeks
pembangunan manusia yang lebih baik, ekonomi lebih kompetitif, dan masyarakat
lebih partisipatif dalam demokrasi. Namun, realitas Indonesia masih
memprihatinkan.
Berdasarkan hasil “Programme for
International Student Assessment (PISA) 2022”, Indonesia menempati peringkat
ke-70 dari 80 negara dalam literasi membaca, dengan skor 359 poin—turun dari
371 pada 2018.
Ironisnya, meskipun peringkat meningkat
beberapa posisi, hal itu bukan karena kemampuan kita melonjak, melainkan karena
negara lain mengalami penurunan lebih besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan:
mengapa berbagai program literasi pemerintah belum menghasilkan perubahan
signifikan? Apakah sekadar menjadi proyek tahunan tanpa dampak substantif?
Sejak 2016, pemerintah meluncurkan Gerakan
Literasi Nasional (GLN) yang mencakup literasi baca-tulis, numerasi, sains,
digital, finansial, hingga kewargaan. Di sekolah, ada Gerakan Literasi Sekolah
(GLS) dengan kebiasaan membaca 15 menit sebelum pelajaran.
Selain itu, program distribusi buku
bermutu digencarkan. Misalnya, Merdeka Belajar Episode 23 (2022)
mendistribusikan lebih dari 15 juta buku ke PAUD dan SD di daerah tertinggal.
Perpustakaan Nasional juga menargetkan
10.000 perpustakaan desa / Taman Baca Masyarakat (TBM) sebagai pusat literasi
masyarakat. Kurikulum Merdeka menempatkan literasi sebagai kompetensi inti,
sementara ujian nasional diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk
mengukur literasi membaca dan numerasi.
Melihat program yang sangat masif,
sebagaimana pelaksanaan program literasi tersebut di atas, implementasinya
sering menghadapi kendala serius, di antaranya (1) Orientasi output, bukan
outcome. Keberhasilan program lebih banyak diukur dari jumlah buku yang dicetak
atau perpustakaan yang dibangun, bukan dari apakah anak-anak betul-betul
membaca, memahami, dan menikmati bacaan.
(2) Budaya membaca belum tumbuh. Program
seperti membaca 15 menit sebelum pelajaran sering menjadi rutinitas
administratif. Anak membaca karena diwajibkan, bukan karena minat. Hal ini
memperkuat kesan “gugur kewajiban” tanpa penginternalisasian nilai literasi.
(3) Kesenjangan akses dan kualitas. Buku
bermutu memang didistribusikan, tetapi tidak jarang berhenti di gudang sekolah
atau tidak relevan dengan konteks lokal. Sementara itu, perpustakaan desa kerap
minim pengelola dan jarang buka.
(4) Keterbatasan kapasitas guru. Banyak
guru masih mengajar dengan pola hafalan, sehingga literasi kritis sulit tumbuh.
Tanpa guru yang melek literasi, buku dan fasilitas hanyalah benda mati.
Naiknya peringkat Indonesia dalam PISA
2022 lebih disebabkan “faktor eksternal”—negara lain turun lebih jauh—daripada
peningkatan substantif. Dengan skor literasi 359 (jauh di bawah rata-rata OECD
476), kita masih berada di papan bawah dunia.
Artinya, meski ada gerakan dan klaim
peningkatan indeks literasi, Indonesia belum meninggalkan zona krisis literasi.
Jika negara lain bergerak lebih cepat, maka kita hanya akan terus “jalan di
tempat”.
Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi
kebijakan literasi selama ini, seperti uraian tersebut di atas, agar literasi
tidak hanya berhenti sebagai proyek seremonial, ada beberapa rekomendasi.
Pertama, fokus pada outcome, bukan sekadar
output. Ukur dampak program dari peningkatan keterampilan membaca kritis, minat
baca, dan partisipasi literasi digital.
Kedua, relevansi lokal. Buku yang
didistribusikan harus sesuai dengan konteks budaya dan bahasa daerah agar anak
merasa dekat dengan bacaan.
Ketiga, pemberdayaan guru dan keluarga.
Guru perlu pelatihan literasi, sementara keluarga harus dilibatkan dalam
membangun kebiasaan membaca anak.
Keempat, integrasi literasi digital.m Di
era media sosial, literasi harus mencakup kemampuan memilah informasi, bukan
hanya membaca teks cetak.
Klima, keberlanjutan lintas rezim. Program
literasi tidak boleh bergantung pada periode satu menteri. Harus ada konsensus
nasional bahwa literasi adalah agenda pembangunan jangka panjang.
Indonesia sudah memiliki berbagai gerakan
literasi, tetapi implementasi masih terjebak dalam logika proyek. Literasi
akhirnya hadir dalam laporan tahunan, bukan dalam keseharian warga. Jika pola
ini berlanjut, peringkat kita akan stagnan sementara negara lain melesat.
Meningkatkan literasi berarti mengubah
budaya, bukan sekadar membagikan buku. Literasi bukan proyek, melainkan fondasi
peradaban. Wallahu a’lam bishshawab
Sungguminasa, 29 Agustus 2025
