-----
Selasa, 30 September 2025
Dosen Matematika Unismuh
Makassar Rukli Guru Besar Ranting Ilmu Evaluasi Pendidikan
MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Dosen
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Prof Rukli,
dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Ranting Ilmu Kepakaran Pendidikan Evaluasi
Pendidikan dalam Rapat Senat Terbuka Luar Biasa, di Balai Sidang Muktamar ke-47
Kampus Unismuh Makassar, Senin, 29 September 2025.
Rukli dikukuhkan sebagai guru besar
bersama empat dosen Unismuh lainnya, yaitu Prof Kasifah (Guru Besar dalam
Ranting Ilmu Kepakaran Kesuburan Tanah Pertanian dan Lingkungan), Prof Agustan
(Guru Besar dalam Ranting Ilmu Kepakaran Pendidikan Matematika), Prof Hartono
Bancong (Guru Besar dalam Ranting Ilmu Kepakaran Eksperimen Pembelajaran
Fisika), dan Prof Asriati (Guru Besar dalam Ranting Ilmu Kepakaran Ilmu
Ekonomi).
Acara pengukuhan guru besar dihadiri
Rektor Unismuh Makassar Dr Abdul Rakhim Nanda, Wakil Rektor I Prof Andi Sukri
Syamsuri, Wakil Rektor II Dr Ihyani Malik, Wakil Rektor III Dr KH Mawardi
Pewangi, Ketua BPH Prof Gagaring Pagalung, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
Sulsel Prof Ambo Asse, serta seribuan dosen, sivitas akademika, tamu dan
undangan, termasuk Kabag Umum LLDikti Wilayah IX Sultanbatara dan sejumlah
pimpinan perguruan tinggi.
Kelima guru besar yang dikukuhkan tersebut
masing-masing membawakan orasi ilmiah. Prof Rukli membawakan orasi ilmiah
berjudul: “Inovasi Taksiran Tingkat Kesukaran Menuju Asesmen Adaptif as
Learning Berbasis Artificial Intelligence untuk Meningkatkan Literasi Digital
bagi Anak Learning Disability Berkarakter Kompetensi Global.”
Prof Rukli dalam orasi ilmiahnya
mengatakan, di tengah derasnya arus digitalisasi yang menyentuh aspek
kehidupan, literasi digital bukan lagi menjadi pengetahuan tapi telah menjadi
keterampilan dasar yang mutlak dibutuhkan setiap individu tanpa kecuali.
“Di sekolah, di rumah, bahkan dalam
lingkungan sosial, anak-anak terus bersinggungan dengan berbagai inovasi
teknologi digital. Namun, sayangnya, tidak semua anak memiliki akses dan
kompetensi yang setara dalam menyerap serta memanfaatkan teknologi tersebut.
Ada anak learning disability (LD) yang kerap kali tertinggal dalam proses
adaptasi digital,” kata Rukli.
Anak LD (learning disability), katanya,
seringkali menghadapi hambatan dalam memahami instruksi berbasis teks digital,
menavigasi aplikasi pembelajaran, atau bahkan sekadar memusatkan perhatian
dalam interaksi daring.
“Keterbatasan ini memerlukan pendekatan
pendidikan yang lebih adaptif, bukan sekadar pemberian materi yang sama dengan
anak-anak lain,” ujar Rukli.
Kajian di negara berkembang menunjukkan
status disabilitas sangat berkorelasi dengan kemiskinan (Filmer, 2008; Bank L
& Pollack, 2014; Bella & Dartanto, 2016). Namun sayangnya, walaupun
telah banyak aturan dan program pemerintah dalam memberi akses kepada anak LD
namun dampaknya masih terbatas, misalnya tahun 2018 ada program Indonesia
Pintar namun kurang tepat sasaran (Prihatiningtyas, 2022).
Padahal, kata Rukli, kesenjangan digital
yang mereka alami tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga bersifat
struktural, sosial, bahkan psikologis yang berdampak pada taraf kemiskinan masa
depan sebagai generasi bangsa. Hal ini menciptakan urgensi yang tidak bisa kita
abaikan lagi.
“Tanpa intervensi yang tepat, anak dengan
LD berisiko terpinggirkan dua kali yakni keterbatasan kognitif dan sistem yang
tidak adaptif terhadap kebutuhan mereka,” tandas Rukli.
Penguasaan literasi digital, lanjutnya,
tidak boleh menjadi hak istimewa, melainkan harus menjadi hak dasar.
“Ini adalah panggilan moral sekaligus
tantangan strategis bagi dunia pendidikan kita,” tegas Rukli.
Dia mengatakan, anak LD membutuhkan model
pembelajaran dan asesmen yang disesuaikan dengan cara mereka memahami dan
merespons informasi. Tanpa itu, mereka akan selalu menjadi penonton dalam
kemajuan teknologi, bukan pelaku yang ikut menikmati manfaatnya tapi malah jadi
korban digitalisasi.
“Kita harus menyadari bahwa kesetaraan
akses terhadap literasi digital adalah prasyarat utama menuju pendidikan yang
adil. Bukan saatnya menempatkan anak LD dalam posisi ‘menyesuaikan diri’
terhadap sistem yang tidak dirancang untuk mereka. Justru sistemlah yang harus
bergerak untuk lebih inklusif, lebih responsif terhadap keanekaragaman cara
belajar dan cara memahami,” papar Rukli.
Setiap anak berhak untuk mendapatkan
pendidikan yang bermakna, relevan, dan sesuai dengan kebutuhannya, termasuk
dalam hal literasi digital. Artinya, kesetaraan dalam hal ini bukan berarti
memberikan perlakuan yang sama, melainkan memberikan perlakuan yang sesuai dan
adil.
“Dalam konteks itulah, pengembangan model
asesmen dan pembelajaran yang bersifat adaptif menjadi sangat mendesak. Model
seperti ini dapat membantu anak-anak dengan LD untuk belajar sesuai dengan
ritme dan cara terbaik mereka. Artinya perlu ada inovasi yang adaptif as
learning terkait tingkat kesukaran anak LD,” kata Rukli.
Jenjang Pendidikan
Lahir di dusun Cacaleppeng, Lajoa,
Soppeng, pada 02 Maret 1968, Rukli adalah anak dari pasangan Dawi bin Hajja,
seorang pensiunan legiun veteran, dan Sanang binti Talibbe, ibu rumah tangga
yang sarat nilai hidup.
Di tengah kehidupan kampung yang bersahaja
dan jauh dari hiruk-pikuk kota, ia tumbuh dengan nilai-nilai sipakatau,
sipakainge, dan sipakalebbi yang menjadi etika hidup masyarakat Bugis.
Jenjang pendidikan dasarnya ia lalui di
SDN 85 Cacaleppeng, kemudian ke SMPM Lajoa, dan SMAN Cangadi, sebelum melangkah
ke dunia perguruan tinggi di IKIP Ujung Pandang, menekuni Pendidikan
Matematika.
Ia menyelesaikan D3 pada 1989 dan S1 pada
1992. Tak berhenti di sana, Rukli meneruskan pendidikan S2 di IKIP Yogyakarta
(1995–1998) dalam bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan.
Tak puas dengan satu gelar master, ia juga kuliah S2 Ilmu Komputer di UGM (2008–2010) dan S3 di Universitas Negeri Yogyakarta, menyelesaikan disertasi tentang sistem pakar dalam tes adaptif berbasis fuzzy pada 2012. (asnawin)
