-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 26 September 2025
OPINI
Indonesia dan Radiogram yang Diabaikan
Oleh: Usman Lonta
Hari ini saya memandang Indonedia seperti kapal Titanic yang berlayar di Samudra Atlantik. Kisah ini sudah lebih dari satu abad, tepatnya pada malam 14 April 1912, kapal Titanic melaju anggun di Samudra Atlantik Utara. Kapal megah itu diyakini tak mungkin tenggelam.
Musik berdenting di ruang dansa, para penumpang larut dalam kemewahan, sementara di ruang radiogram pesan-pesan darurat terus masuk. Radiogram dari kapal-kapal sekitar sudah berulang kali memperingatkan tentang bahaya bongkahan es pada jalur Titanic tersebut.
Namun, peringatan itu diabaikan. Operator radio lebih sibuk melayani pesan pribadi penumpang yang kebanyakan orang-orang kaya. Konon Kapten Kapal tidak pernah benar-benar menerima informasi penting yang bisa menyelamatkan kapal.
Beberapa jam kemudian, Titanic menabrak gunung es. Dalam tiga jam, kapal yang dipuji sebagai puncak teknologi modern ketika itu tenggelam, menyeret lebih dari 1.500 jiwa ke dasar laut. Tragedi itu menjadi simbol keangkuhan manusia yang abai pada peringatan.
Belajar dari satu abad lebih tragedi Titanic, saya melihat metafora ini begitu relevan untuk Indonesia. Negeri ini ibarat sebuah kapal raksasa yang mengarungi samudra sejarah.
Indonesia mempunyai banyak kemewahan seperti kemewahan yang ada pada kapal Titanic. Sumber daya alam melimpah, jumlah penduduk produktif yang besar, wilayah luas dengan posisi strategis. Dalam bahasa Titanic, Indonesia adalah kapal megah dengan teknologi canggih dan kabin-kabin mewah.
Namun, sebagaimana Titanic, kapal besar ini juga rawan bahaya. Gunung es dalam perjalanan Indonesia. Gunung-gunung es tersebut bisa berupa korupsi yang merajalela, ketimpangan sosial yang melebar, kerusakan lingkungan yang semakin parah, penegakan hukum yang tidak adil, hingga ancaman krisis ekonomi global. Semua itu adalah ancaman nyata yang, jika diabaikan, bisa menenggelamkan bangsa sebesar apa pun.
Dalam kondisi demikian, sesungguhnya “radiogram” sudah berkali-kali masuk. Laporan dari akademisi tentang deforestasi, kritik LSM soal korupsi, analisis jurnalis mengenai ketimpangan sosial, aspirasi warga di media sosial, opini bocil juga di media sosial, hingga suara protes di jalanan—semuanya adalah peringatan dini. Itu alarm yang seharusnya segera diteruskan ke “kapten kapal”, yakni para pemimpin bangsa.
Sayangnya, sering kali radiogram itu justru dianggap gangguan. Kritik masyarakat sipil dituding sebagai upaya mengganggu stabilitas. Data dan analisis akademik dipandang hanya sebagai “keluhan intelektual.”
Aspirasi rakyat kecil kerap tenggelam dalam hiruk-pikuk agenda elite politik. Seperti operator radio Titanic yang menganggap pesan darurat hanya remeh-temeh, pemerintah kadang terlalu sibuk dengan urusan jangka pendek, popularitas, pencitraan, atau kepentingan kelompok dan koleganya.
Sebagai bahan renungan bahwa Titanic tenggelam bukan hanya karena gunung es, melainkan karena kesombongan, keyakinan berlebihan bahwa kapal itu tak akan pernah karam. Sikap seperti itu bisa juga kita jumpai di negeri ini. Kita sering terbuai dengan narasi optimisme tanpa dasar. Kata Rocky Gerung optimis irrasional.
Slogan pembangunan yang indah di baliho, di laptop para pemimpin, atau klaim pertumbuhan ekonomi yang gemerlap. Padahal, di balik angka-angka itu, ada jurang ketidakadilan sosial, ada kemiskinan struktural, dan ada kerentanan lingkungan yang nyata.
Jika keangkuhan membuat kita menutup telinga dari peringatan, maka bahaya yang menghadang tak terhindarkan. Indonesia bisa saja mengulang nasib Titanic, karam bukan karena takdir, melainkan karena kelalaian manusia.
Pelajaran dari Titanic sederhana tapi mendalam. Kapal sebesar apa pun akan selamat hanya jika mau mendengarkan peringatan dini. Keselamatan tidak ditentukan oleh baja tebal atau mesin modern, melainkan oleh sikap rendah hati untuk menerima kritik.
Demikian pula Indonesia. Negeri ini akan tetap berlayar dengan selamat hanya jika pemerintah mau membuka telinga pada suara rakyat. Kritik bukan ancaman, melainkan radiogram penyelamat. Akademisi, jurnalis, aktivis, hingga warga biasa, mereka adalah pengirim pesan yang menjaga kapal besar bernama Indonesia agar tetap pada jalurnya.
Kita semua tentu berharap Indonesia tidak menjadi Titanic. Kita ingin negeri ini sampai di dermaga tempat tujuan kita berlabuh yaitu keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan kedaulatan bangsa. Tapi itu hanya mungkin jika radiogram dari masyarakat sipil tidak lagi diabaikan. Wallahu a’lam bishshawab.
Sungguminasa, 26 September 2025
