![]() |
| Cara duduk seseorang dapat mencerminkan kondisi psikologis, kepribadian, bahkan atmosfer komunitas tempat ia berada. (Foto: Agus K. Saputra) |
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 30 September 2025
Kondusifitas Diri
dan Komunitas dalam Cara Duduk: Sebuah Refleksi
Catatan Agus K Saputra
Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa
berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi itu tidak hanya diwujudkan dalam
bentuk ucapan, tindakan, maupun keputusan besar, melainkan juga dalam hal-hal
sederhana yang sering kali dianggap sepele, seperti cara duduk. Cara duduk
seseorang dapat mencerminkan kondisi psikologis, kepribadian, bahkan atmosfer
komunitas tempat ia berada.
Oleh karena itu, kondusifitas diri maupun
komunitas sebenarnya bisa terlihat dari bagaimana seseorang menempatkan
dirinya, termasuk ketika ia duduk.
Pertanyaan sederhana muncul: mengapa hal
yang begitu kecil, yakni cara duduk, bisa mencerminkan jati diri seseorang?
Untuk menjawabnya, kita perlu memahami bahwa tubuh manusia merupakan bahasa
kedua yang sering kali lebih jujur daripada kata-kata. Bahasa tubuh—termasuk
posisi duduk—merupakan ekspresi dari kondisi batin.
Dengan kata lain, sikap tubuh merupakan
'cermin' yang menyingkap apakah seseorang berada dalam situasi yang nyaman,
terbuka, penuh hormat, atau justru sebaliknya: tertekan, tertutup, dan penuh
kegelisahan.
Seseorang yang duduk dengan rileks,
punggung tegak, bahu terbuka, dan kaki tertata baik biasanya menunjukkan
kepercayaan diri sekaligus keterbukaan. Ia memberi sinyal bahwa dirinya siap
berinteraksi secara sehat dengan orang lain.
Sebaliknya, jika seseorang duduk
membungkuk, menyilangkan tangan di dada, atau menggoyangkan kaki dengan resah,
kita bisa membaca adanya kegelisahan, ketidaksiapan, atau bahkan penolakan.
Dari sini terlihat bahwa kondusifitas diri
bisa dimulai dari kesadaran tubuh. Tubuh yang tenang, tegak, dan penuh kontrol
menandakan adanya keseimbangan batin. Kondisi batin yang seimbang tentu menjadi
pondasi bagi diri untuk menghadirkan suasana kondusif di tengah komunitas.
Dengan kata lain, sebelum menuntut
lingkungan menjadi harmonis, setiap individu perlu memastikan dirinya hadir
dengan sikap tubuh yang menebarkan rasa aman dan nyaman.
Komunitas terbentuk dari sekumpulan
individu. Maka, jika tiap individu mampu menampilkan bahasa tubuh yang
kondusif, komunitas secara keseluruhan akan terwarnai oleh energi positif.
Ambil contoh dalam sebuah rapat komunitas.
Seorang anggota yang duduk tegak, menatap
lawan bicara dengan penuh perhatian, serta sesekali mengangguk sebagai tanda
memahami, akan menciptakan atmosfer dialog yang sehat. Sikap tersebut memberi
pesan kepada anggota lain bahwa ia menghargai pendapat dan siap bekerja sama.
Sebaliknya, jika ada individu yang duduk
dengan posisi bersandar malas, menunduk sambil sibuk memainkan ponsel, atau
melipat kaki dengan sikap acuh, hal itu dapat memengaruhi mood kelompok. Tanpa
perlu mengucapkan kata-kata, bahasa tubuh seperti itu menunjukkan
ketidakpedulian, bahkan bisa menimbulkan ketegangan.
Inilah bukti bahwa cara duduk tidak
sekadar persoalan fisik, melainkan juga persoalan etika sosial.
Bukti Nyata: Peka terhadap Bahasa Tubuh
Jika kita ingin membuktikan bahwa
kondusifitas diri maupun komunitas bisa terlihat dari cara duduk, langkah
pertama adalah mengasah kepekaan. Mulai sekarang, cobalah memperhatikan
bagaimana orang duduk dalam berbagai situasi.
- Dalam lingkungan pendidikan, siswa yang
duduk tegak dan mencondongkan tubuh sedikit ke depan biasanya menunjukkan
perhatian penuh terhadap guru. Sedangkan siswa yang bersandar jauh ke kursi
sambil menunduk menandakan kebosanan atau ketidaktertarikan.
- Dalam dunia kerja, karyawan yang duduk
dengan sikap hormat saat presentasi menunjukkan profesionalisme, sementara yang
duduk menyilangkan tangan dengan wajah dingin memberi kesan menutup diri.
- Dalam kehidupan sehari-hari, saat
bercengkerama dengan teman, cara duduk yang menghadap ke lawan bicara
menandakan keseriusan, sedangkan duduk sambil menoleh ke arah lain bisa memberi
kesan tidak peduli.
Dengan memperhatikan hal-hal ini, kita
bisa lebih peka dalam membaca suasana batin orang lain, sekaligus mengendalikan
sikap tubuh kita sendiri agar tidak menimbulkan kesan negatif.
Menjadi peka terhadap bahasa tubuh,
termasuk cara duduk, sesungguhnya membantu kita untuk lebih memahami manusia.
Dari hal-hal kecil, kita belajar bahwa diri ini tidak hidup sendirian. Kita
membawa energi tertentu yang bisa memengaruhi orang lain. Dengan duduk penuh
hormat, kita sedang menunjukkan penghargaan. Dengan duduk terbuka, kita sedang
mengundang kebersamaan.
Hikmah lain yang bisa dipetik adalah
kesadaran bahwa tubuh dan jiwa saling berkaitan. Jika tubuh kita terjaga dalam
posisi baik, jiwa pun cenderung lebih tenang. Begitu pula sebaliknya, jiwa yang
damai akan tercermin pada sikap tubuh yang tertata. Artinya, memperhatikan cara
duduk bukan hanya soal etika sosial, melainkan juga cara merawat kesehatan
batin.
Pada akhirnya, refleksi tentang cara duduk
membawa kita pada pertanyaan besar: siapa diri kita sebagai manusia? Menjadi
manusia berarti memiliki kesadaran untuk menjaga diri sekaligus menjaga
hubungan dengan sesama. Duduk dengan baik bukan hanya simbol kesopanan, tetapi
juga pernyataan bahwa kita siap hadir sepenuh hati dalam ruang kebersamaan.
Menempatkan jati diri sebagai manusia
berarti menghadirkan diri dengan penuh tanggung jawab. Kita bukan sekadar
individu yang mengejar kepentingan pribadi, melainkan bagian dari komunitas
yang membutuhkan harmoni. Maka, cara duduk yang kondusif adalah bentuk
sederhana dari kontribusi kita terhadap terciptanya suasana yang nyaman, aman,
dan saling menghargai.
Dari uraian di atas, jelas bahwa
kondusifitas diri maupun komunitas dapat tercermin dari cara duduk seseorang.
Hal kecil ini menyimpan pesan besar: tubuh adalah bahasa yang selalu berbicara.
Jika kita ingin menghadirkan suasana yang damai dan penuh pengertian, maka kita
harus mulai dari diri sendiri—dari sikap tubuh, termasuk cara duduk.
Mari kita saling memperhatikan, bukan
untuk menghakimi, melainkan untuk belajar dan memetik hikmah. Dengan begitu,
kita akan semakin peka, bijak, dan mampu menempatkan jati diri sebagai manusia
yang utuh. Sebab, manusia yang sejati bukan hanya pandai berkata-kata,
melainkan juga bijak dalam menata tubuh dan sikap di hadapan sesamanya.
#Akuair-Ampenan, 30-09-2025
