Membubarkan Diri atau DPR Dibekukan Melalui Referendum

Sudah saatnya Anggota DPR, back to basics sehatkan demokrasi. Jika itu tidak mampu lagi mengembalikan kedaulatan rakyat atau mengganti sistem demokrasi liberal ke-sistem demokrasi Pancasila, maka jalan terpaksa semua Anggota DPR harus mengundurkan diri atau dibekukan melalui penentuan pendapat rakyat (Referendum). - Achmad Ramli Karim -

 

----- 

PEDOMAN KARYA

Ahad, 31 Agustus 2025


OPINI:

 

Membubarkan Diri atau DPR Dibekukan Melalui Referendum

 

Oleh: Achmad Ramli Karim

(Pemerhati Politik & Pendidikan)

 

Bagaimana cara pembubaran DPR secara konstitusional dan permanen? Mari kita satukan pemahaman dulu tentang perbedaan utama antara dibubarkan dan dibekukan.

Kalau dibekukan berarti kegiatan organisasi ditangguhkan untuk sementara waktu, sementara dibubarkan berarti keberadaan organisasi tersebut berakhir secara permanen. Pembekuan seringkali merupakan langkah awal peringatan sebelum pembubaran, yang diberikan jika organisasi itu tidak memperbaiki kesalahannya.

Ketegangan yang berkepanjangan antara DPR dan presiden belakangan ini semakin memuncak dan menimbulkan berbagai spekulasi politik di masyarakat. Salah satu spekulasi yang terdengar adalah bahwa presiden akan membubarkan DPR melalui suatu dekrit.

Begitu seringnya pernyataan-pernyataan kontroversial dikeluarkan oleh elite politik, hingga berita ini sudah tidak lagi mengejutkan. Namun demikian, fenomena ini perlu untuk ditelaah dari segi hukum untuk dapat menelusuri peluang hukum yang ada dalam spekulasi tersebut. (Hukum Online. Com).

Secara teoritis, dalam sistem presidensil, presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan DPR (parlemen), begitu pula sebaliknya. Kekuatan utama dalam konsep sistem presidensil memang terletak pada prinsip pokok, terciptanya keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.

Beda dalam sistem parlementer, dimana Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen (DPR). Pembubaran parlemen dilakukan sebagai bentuk penyeimbang kekuasaan dan untuk mengatasi kebuntuan politik antara eksekutif dan legislatif.

Prasyarat kondisi yang biasanya ditentukan dalam konsitusi, adalah terjadinya kebuntuan politik antara eksekutif (kabinet) dan legislatif (parlemen). Gambaran sederhana di beberapa negara bila hal tersebut terjadi adalah, Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet, mengajukan permohonan kepada Presiden untuk membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum ulang bagi anggota parlemen.

Bila permohonan itu disetujui dan disahkan oleh Presiden, maka secara resmi anggota parlemen akan melepaskan jabatannya. Dan dalam waktu yang ditentukan, akan ada pemilihan ulang untuk memilih anggota parlemen (DPR) yang baru.

Administrasi pemerintahan rutin dan penyelenggaraan Pemilu biasanya akan dipegang oleh kabinet demisioner sampai dengan parlemen (DPR) baru terbentuk dan berhasil memilih perdana menteri dan kabinet yang baru.

Prinsip yang dijunjung tinggi dalam sistem parlementer adalah keputusan akhir tetap ada di tangan rakyat, hal ini yang menyamakan dengan sistem demokrasi Pancasila (Presidential) karena keputusan akhir harusnya tetap di tangan rakyat bukan pada oligarki.

Dengan kondisi sekarang, rakyat seharusnya tidak anarkis dan brutal jika Anggota DPR tidak pongah, sombong, dan tidak senonoh dalam berucap dan bersikap, termasuk sikap mengabaikan suara publik, khususnya pimpinan komisi bersama pimpinan Parpol yang selama ini mengekang dan mengendalikan anggota legislstif, sehingga tri fungsi legislatif menjadi tumpul. Hal ini terjadi karena DPR tidak mampu lagi menampung dan menyaring aspirasi rakyat, melainkan menjadi stempel legimate bagi kekuasaan oligarki.

Apakah prakondisi ini yang mau dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menggiring opini publik, seakan-akan Presiden Prabowo tidak mampu mengurus negara? Ataukah ingin mendesain cipta kondisi “negara chaos”, agar Pilpres bisa diulang? Lalu siapa otak dan sutradara di balik layar panggung politik?

Belum terlambat bagi Anggota DPR untuk “Sehatkan Demokrasi” dengan mengembalikan kedaulatan rakyat sesuai UUD 1945 (Asli), sebelum Nusantara dipecah lalu dikuasai oleh Asing dan Aseng.

Hal ini perlu menjadi renungan dan kajian politis bagi segenap anggota DPR, yang terkena dampak langsung dari kemarahan rakyat sebagai konstituen. Karena kerusuhan, pembakaran Gedung DPRD, dan penjarahan milik anggota DPR, adalah cermin kesenjangan antara DPR dengan rakyat yang diwakilinya serta wujud dari kebuntuan saluran demokrasi.

“Kebuntuan saluran demokrasi” mengacu pada kondisi di mana partisipasi warga dan penyaluran aspirasi masyarakat tersumbat, menyebabkan demokrasi tidak berjalan efektif. Hal ini bisa terjadi akibat pembatasan ruang publik dan politik, dominasi kepentingan elit politik dan ekonomi, rendahnya literasi politik anggota DPR, serta penggunaan undang-undang yang membatasi kebebasan sipil.

Jangan timpakan kesalahan kepada Presiden, karena Pemerintahan Jokowi-lah yang mewariskan kerusakan sistemik kepada Pemerintahan Prabowo. Karena secara politis semua politisi dan kabinet Prabowo hampir 100 persen anggota “Geng Solo” (Kabinet oligarki).

Oleh karena itu sudah saatnya Anggota DPR, back to basics sehatkan demokrasi. Dan jika itupun tidak mampu lagi mengembalikan kedaulatan rakyat atau mengganti sistem demokrasi liberal ke-sistem demokrasi Pancasila, maka jalan terpaksa semua Anggota DPR harus mengundurkan diri atau dibekukan melalui penentuan pendapat rakyat (Referendum).

Selanjutnya kedaulatan rakyat untuk sementara dipegang oleh “DPD ditambah unsur golongan”. Unsur golongan bisa dari Ormas dan unsur budaya (Ex Kerajaan Nusantara) sambil menunggu hasil pemilihan anggota DPR yang baru.

Referendum adalah penentuan pendapat rakyat secara langsung melalui pemungutan suara oleh seluruh warga negara terhadap suatu isu politik, undang-undang, atau proposal tertentu, yang hasilnya bisa bersifat mengikat (pemerintah dan warga negara).

Proses ini memungkinkan masyarakat untuk secara langsung memberikan pendapat atau keputusan mengenai isu penting yang memengaruhi negara secara keseluruhan, seperti amandemen konstitusi, undang-undang baru, atau bergabung dengan organisasi internasional.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kenaikan tunjangan perumahan Anggota DPR sampai 50 juta, menjadi pemicu konflik sosial akibat kerusuhan yang berujung anarkis di beberapa wilayah Indonesia, karena kenaikan tunjangan DPR tersebut di saat krisis kepercayaan, berdampak negatif pada demokrasi. Apalagi di saat meningkatnya tensi ketidakpercayaan publik, dan mengesankan ketidakpekaan terhadap kondisi rakyat yang sedang kesulitan ekonomi.

Sudah saatnya Anggota DPR RI sadar dan bangun dari tidurnya, melepaskan diri dari kontrak politik oligarki (politik transaksional) yang sudah dibangun oleh pimpinan Papol masing-masing melalui koalisi parpol.

Karena kerusakan demokrasi, bobolnya moral dan integritas pejabat publik, serta tumpulnya sistem demokrasi, adalah dampak negatif dari kontrak politik dagang yang saling menguntungkan. Dimana kontrak politik tersebut telah dibangun oleh para pimpinan parpol bersama para tengkulak dagang (kapitalisme) melalui koalisi parpol tersebut.

Bukan itu saja, lahirnya istilah gurita korupsi, kelompok bajak laut, adalah juga efek dari dugaan terjadinya kontrak politik antara konglomerat dengan para politisi bersama pimpinan Parpol untuk mendapatkan cost politik (biaya politik).

Akibatnya para koruptor kakap tidak bisa ditangkap oleh aparat profesional, bahkan baunya pun tidak bisa terdeteksi, karena para politisi dan pimpinan Parpol mungkin dijadikan tameng politik oleh para koruptor kakap tersebut. Semua ini terjadi akibat tumpulnya kontrol sosial dari legislatif itu sendiri.

Inilah dampak atau efek domino dari politik transaksional yang sedang dijalankan khususnya sejak sepuluh tahun terakhir. Efek domino adalah serangkaian peristiwa terkait yang dipicu oleh satu peristiwa awal, seperti domino yang jatuh berurutan satu per satu. Istilah ini dapat merujuk pada fenomena fisik atau sosial politik untuk menghubungkan sebab dan akibat dalam berbagai bidang, seperti keuangan, politik, atau kebiasaan pribadi, yang bisa memiliki dampak positif maupun negatif. .

Dalam sistem pemerintahan saat ini, korupsi bagi pejabat publik sudah menjadi budaya dan tradisi birokrasi, sehingga melahirkan istilah “korupsi berjamaah adalah jalan damai dan aman.”

Maraknya korupsi berdampak luas, antara lain melambatnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya kemiskinan dan ketimpangan, menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, kerusakan lingkungan, hingga melemahnya sektor pertahanan dan keamanan.

Dampak ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti lemahnya penegakan hukum, budaya korupsi yang mengakar, serta keserakahan dan kepentingan pribadi segelintir elite yang merusak prinsip keadilan sosial dan demokrasi.

Untuk itu, sudah saatnya lembaga legislatif melepaskan diri dari jeratan koalisi parpol (oligarki politik), kemudian back to basics memperkokoh fungsi DPR.

Tiga fungsi dan tugas pokok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu; legislasi (membentuk undang-undang), anggaran (menetapkan dan membahas APBN), dan pengawasan (mengawasi jalannya pemerintahan).

Fungsi-fungsi ini menegaskan peran DPR sebagai lembaga legislatif yang bekerja sama dengan pemerintah dan menyalurkan aspirasi rakyat demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Salah satunya adalah fungsi pengawasan. DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, kebijakan pemerintah, dan penggunaan anggaran.

Untuk menjalankan pengawasan ini, DPR menggunakan berbagai mekanisme, termasuk hak interpelasi (meminta keterangan pemerintah), hak angket (melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat.

Hal ini berfungsi sebagai mekanisme checks and balances (pengawasan dan keseimbangan) terhadap kekuasaan eksekutif, memastikan pemerintah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan yang berlaku dan kepentingan rakyat.

DPR sangat perlu back to bacics memberdayakan tupoksinya untuk mengembalikan kedaulatan rakyat, dengan tujuan (1) Menciptakan Kesejahteraan Rakyat, (2) Menjaga Kepercayaan Publik, (3) Menjunjung tinggi supremasi hukum, (4) Mengurangi potensi konflik, serta (5) Menciptakan Pemerintahan yang baik (good government atau good governance).

 

Makassar, 01 September 2025


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama