Presiden, Demokrasi ala Hewan

Publik telah cerdas justru bosan dengan ocehan basa basi liar tak karuan bergaya lama ditaburi kembali, padahal itu mesti dikuburin - Maman A Majid Binfas - 


-----

PEDOMAN KARYA 

Jumat, 05 September 2025


OPINI


Presiden, Demokrasi ala Hewan 


Oleh: Maman A Majid Binfas

(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)


Kalau memang telah bersepakat dengan esensi dari demokrasi Pancasila bukan sekadar hanya sebagai sistem politik, tetapi juga sistem nilai-nilai yang mengikat semua aspek kehidupan negara dan masyarakat.  

Maka, esensi dari akar nilai-nilai etis menjadi dasarnya, yakni berlogika pada konsep yang tidak lepas dari kesadaran religius, seperti yang tercermin dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kemudian, diimplementasikan menjadi tauhid sosial sebagai wujud nilai nilai demokrasi yang bermoral sehingga berkeetisan di dalam hidup merajut nilai moralitas kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong royong, sebagai karakter bangsa Indonesia yang berkeadaban santun.  

Keadaban santun sehingga tidak mempertuhankan kebiadaban untuk menghalalkan segala cara, sebagaimana perilaku hewan yang buruk, di antaranya anjing atau pig/babi di dalam melahap makanannya dan bersenggama barengan. 

Misalnya, budaya perilaku buruk demokrasi hewani akan diuraikan, salah satu di antranya babi. Kebiasaan babi di dalam senggama justru saling menyokong bah gaya demokrasi bar bar semau guenya tanpa mengenal moral akan keharamannya.


Moralisme Mengharamkan Babi 


Moralisme diharamkan ini akan dinukilkan mengenai pemahaman agama Islam secara khusus yang berkaitan dialog Muhammad Abduh dengan para ilmuan Perancis, atas keharaman daging babi, dan tentu logika ini tidak bermaksud menyinggung keyakinan agama lain. 

Bahkan agama Kristen dan Yahudi mengharakan makan daging babi "Al Kitab, Imamat 11:7 BIMK.

"Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak." 

Begitu pula agama Yahudi telah mengharamkan makan daging babi sebagaimana di dalam Perjanjian Lama, bagian Ulangan 14:8 "melarang umat Israel untuk mengonsumsi daging babi karena dianggap najis secara ritual." 

Terlepas dari perbedaan alur logika ritual di dalam pemahaman menjadi keyakinan sebagai pilihannya masing-masing. Tentu, dalam goresan ini, tidak akan masuk pada wilayah demikian. Tetapi, sebatas pemahaman yang berkaitan esensi dialogis dengan ilmuwan Prancis yang menantang Muhammad Abduh tentang keharaman daging pig/babi. 

Bukan mungkin lagi, memang umat Islam telah di luar kepalanya, mengenai keharaman daging anjing dan babi tanpa diuraikan lagi, mereka sudah difaham secara umum. 

Dalam goresan ini, tidak mengulas tentang hal yang difahami selama ini, namun berkaitan dengan esensi demokrasi secara filosofis yang bersifat simbolik bergaya hewan pig/babi sehingga dagingnya diharamkan. 

Ringkasnya, daging babi bukan karena mengandung cacing pita dan microba saja. Tetapi, terdapat rahasia perilaku yang tidak sesuai dengan logika naluri nilai moral keetisan manusia yang beradab santun. 

Hal demikian, dibuktikan oleh Syaik Muhammad Abduh, ketila berada di Perancis pada tahun 1884 bersama rekannya Jamaluddin Al-Afghani untuk menerbitkan jurnal Islam Al-Urwatul Wutsqa /The Firmest Bond, setelah diasingkan dari Mesir karena terlibat dalam Pemberontakan Urabi. 


Dialogis Babi Berperilaku Haram 


Ketika Muhammad Abduh berada di Prancis, ada beberapa ilmuwan di sana mengajak diologis dengan mengajukan pertanyaan menggelitik dan membingungkan mengenai keharaman daging babi. 

"Kalian umat Islam mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu, sekarang ini sudah tidak ada. Babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin, babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya?" 

Sebagai ulama yang cerdas dan tawadhu, Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecedasannya, beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina. 

Mengetahui hal itu, mereka bertanya: "Untuk apa semua ini?" 

"Penuhi apa yang saya minta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia." 

Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan mengurung secara terpisah antara yang betina dengan jantan selama kurang lebih sepekan. Setelah itu, menyuruhnya untuk menggabungkan dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. 

Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. 

Kemudian, beliau lagi menyuruh mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya. 

Selanjutnya beliau berkata: "Saudara-saudara, daging babi membunuh 'ghirah' orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya." 

Bahkan kisah dialog. Keharaman daging babi ini, baik melalui link maupun media online di antarannya, Abdul Hamid M.D Jamil, tautan facebook [2/9/2025]. Banyak pihak membaginya, namun juga membumbui berlebihan tanpa data yang mengidentifikasi kevalidannya. 

Terlepas dari ketakvalidan data, tentang esensi akan keharaman babi, tentu daging babi atau barang diperoleh dengan cara haram, termasuk hasil korupsi atau semacamnya bila dimakan akan berpengaruh terhadap moralisme kejiwaaan manusia. 

Sebagaimana dijelaskan dalam Shohih Fiqh Sunnah( 2/339) bahwa ia memiliki pengaruh jelek terhadap sifat iffah (menjaga kehormatan) dan cemburu (ghirah). Apabila mengkonsumsi makanan yang haram, maka bisa jadi penyebab lahirnya watak dan prilaku yang berdampak buruk bagi orang yang memakannya (Rizem Aizid, 2023). 

Akibat demikian dan memang telah diyakini Agama Islam, adalah sesungguhnya babi diharamkan oleh Allah yang wajib ain dan nyata di dalam QS. Al-Baqarah: 173 yang berarti, 

"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya." 

Masih ada beberapa yang berkaitan antara batasan akan esensi dari keharaman daging babi, di samping didasari oleh faktor kesehatan serta sifat kebersihannya. 

Kemudian, hikmah pengharamannya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan, bahwa: “Ada yang diharamkan karena makanannya yang jelek, seperti babi, karena ia mewarisi mayoritas akhlak yang rendah lagi buruk, sebab ia adalah hewan terbanyak makan barang-barang kotor dan kotoran tanpa kecuali” [Kitab Al Ath’imah, tt.h. hal. 40 dalam link Copyright. 2025]. 

Memang kebiasaan babi memakan segala macam kotoran tanpa kecuali sehingga berpengaruh buruk pada perilakunya. Bila daging babi dimakan, maka pemakan pun akan turut berperilaku demikian, baik berlisan maupun berkelainan dalam berhubungan. 

Bah belati tanpa sarung yang tidak merasa risih sedikit pun. Perilaku kebejatan babi di dalam berhubungan badan, bah bersifat demokrasi hewan babi, bahkan akan bergotong royong di dalam saling mengontong berhubungan badan. Namun. mereka tetap setia dan saling mendukung tanpa rasa malu dan cemburu sedikit pun sehingga karakter demokrasi ala hewan babi demikian, diharamkan oleh agama Islam. 

Tetapi, ayam atau hewan lain yang  dihalalkan, tidak berperilaku demokrasi demikian di dalam berhubungan badan, tetapi si jantannya justru akan melawan dengan belati tajinya hingga kematian, demi moralitas kejantanan yang diidealiskannya tanpa kompromi untuk dipoliandrikan.


Lisanmu Jadi Mautmu 


Lisanmu boleh jadi belati untuk menikam jantung hingga bermaut kematian atau juga menjadi permata berlian kehidupanmu. 

Tergantung, arah logika cara mengasahi akan ketajaman mata hati dalam memainkan gagang dengan cinta tulen kepada Tuhan 

Bila, tidak mampu diperankan dengan logika kecerdasan santun. Tentu, akan menjadi ranjau malapetaka bermata mautan. Berhingga, berketelanjangan dunia berakhiratan hampa ampunan dan memang apa adanya akan demikian tampilannya. 

Kalau tampil apa adanya saja masih juga dicurigai, apalagi serba berlebihan dari modal hanya berparas modelan kedunguan turunan tanpa karuan. 

Manakala bukan kualitas diperioritas, tetapi justru dikedepankan adalah terpenting ada uang berkarung dalam bertarung hingga bisa terpilih jadi pemimpin apapun bergelimang. 

Tentu, akibatnya pun tidak dapat dinafikan aroma petaka akan terus dituai tanpa bisa disesalkan lagi. 

Manakala, kini belum jua bersiuman dari sejak dini. Maka, jangan salahkan logika modelin yang berakibat fatalan dari modal salah asuhan hingga dirundung malang. Kemalingan pun, tiada terkira melambung dan membumbung, mulai dari akar rumput rukun tetangga/RT hingga pucuk istana kepresidenan pun akan tetap menganga. 

Bukan mungkin lagi sehingga diharapkan Presiden mesti bersifat adiluhung tanpa aling tebang pilih. 

Kalau telah diketahui, memang ada musang berbulu ayam bergabung dalam demo, kenapa masih juga dibiarkan melenggang kangkung hingga menodai kemurnian di dalam kedamaian menyuarakan suara hati berlogika cemerlang. 

Begitu juga, bila telah diketahui, memang ada serigala berbulu domba di dalam kabinet merah putih, kenapa masih dibiarkan merajalela dalam mengoyak kibaran bendera merah putih nan benderang.

Kalau memang, mau terang untuk benderang di dalam berterus terang tanpa aling tebang pilih mengiang dan mesti lantang, sekalipun mereka bertameng Asing atau dajjal bergentayang, kita bukan bangsa pecundang. 

Terpenting, demi bangsa terbentang dan rakyat akan mendukung hingga berkalang. 

Sekarang, tinggal keberanian Sang Presiden untuk ditantang menerjang guna berpeluang benderang, berhingga mengibarkan Indonesia menjadi negara adiluhung tanpa tanding 

Kalau, kini tidak, lalu kapan lagi, apa masih tapak jejak buruk ala demokrasi perilaku babi mesti dibiarkan berulang, ataukah publik akan bangkit lagi untuk mendaulat Presiden?


Publik Butuh Presiden 


Dalam kondisi risau mencekam begini, tak perlu sensasi saling manuver melempar batu cuci tangan supaya dianggap pahlawan. Namun, sayangnya terlalu dunguan bermimpi kesiangan. 

Publik bukan orang bodoh lagi, seperti para anjing pelacak melolong yang hanya lihai dengan bermemorikan otak isi jeroan robot buatan jadi belulang rebutan.

Publik telah cerdas justru bosan dengan ocehan basa basi liar tak karuan bergaya lama ditaburi kembali, padahal itu mesti dikuburin.

Kini publik butuh ketegasan yang berkeadilan tulen, bukan mendaur ulang isu rongsongan diperankan. 

Tetapi publik butuh, adalah tunjukkan  bukti, tidak akan ada lagi bajak pajak gaya penjajahan, dan juga ocehan comberan dari para otak yang hanya berisi ampas ceboan bergaya sungsang, bah lolongan anjing gila yang kehilangan jejak aroma kencingnya di dalam gulita kelam. 

Kini, keberanian Presiden untuk bertindak tegas tanpa tembang aling berpandang buluan kepada siapapun, bila mau bersalaman santun penuh kehangatan cinta dari rakyat pemilik republik ini! 

Publik butuh Presiden yang berani bertindak tegas dengan keadilan yang dikedepankan, bukan sekedar ocehan bah air di daun talas hampa bekasan. 

Sekali lagi, publik butuh bukti bukan janji melompong dengan penuh apologian berdengung dalam melolong tak bergigian. 

Ompong melampong bah janji selama ini, hanya fatamorgana penuh kersandiwara kosong berjejak dari pejabat rendahan hingga berpuncak pun bertopeng demokrasi di antara diharamkan bergeletakan.


Pejabat 


Apapun, bentuk sebagai pejabat juga aparat jangan jua merasa hebat dihadapan rakyat sebagai pemilik suara absolut. Berhingga kalian bisa menjabat bernomoran Nip menterenjuga berseragam keren tanpa kusutan. 

Mesti disadari menjabat apapun di pelosok negeri ini, itu adalah amanat dari rakyat semesta. Kalau tak mau diteriaki bangsat atau keparat, jangan dikhianati untuk diludesin dengan tindasan kesewenangan. 

Apalagi, semau gue dilindasin bagaikan gaya serdadu penjajah yang bermoral kanibalisme ala babi dalam melahap makanan dan juga bergaya demokrasi saling menyokong berhubungan badan barengan tanpa rasa malu. 

Kelakuan demikian, sungguh telah menodai nilai adiluhung sila pertama dari Pancasila yang telah diimplementasikan sebagai tauhid sosial menjadi wujud nilai nilai demokrasi yang bermoralis dan berkeetisan di dalam hidup, baik bermasyarat maupun berbangsa yang luhur sesungguhnya. 

Namun, nilai demokrasi kebejatan yang buruk, seperti perilaku moralis ala babian di dalam logika kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong royong menjadi karakter dalam melahap makanan dan berhubungan badan mesti dihindari dan dikuburin. 

Bangsa Indonesia, memang sejak dulu dan bahkan sebelum dicetuskan Pacasila pun, telah menganut demokrasi bermarwah musyawarah untuk bermufakat dengan bijak yang mengedepankan nilai nilai asas yang keadaban santun.  

Asas keadaban demikian, mesti diutamakan, baik oleh pemimpin maupun aparat yang berkaitan, agar tidak mempertuhankan kebiadaban dengan dimensi menghalalkan segala cara. Berhingga karakter demokrasi pun terkesan bermoralisme ala babian di dalam melahap makanan dan bersenggama barengan tanpa merperdulikan lagi akan keharamannya yang telah berkalam. Wallahu'alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama