![]() |
| Diksi Besting pada topik goresan ini, yakni sinonim dari “Bendera Setengah Tiang” Milad / hari kejadian Gerakan berdarah Tiga Puluh September 1965 atau dikenal dengan istilah Gestapu / G30S-PKI. |
-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 01 Oktober 2025
Besting Gestapu
dan Menkeu Purbaya
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Diksi “Besting” dalam bahasa Inggris
berarti mengalahkan seseorang atau sesuatu dalam pertarungan atau
kompetisi, sering kali dengan menunjukkan keunggulan yang signifikan. Di
samping, ada juga menggunakan nama perusahaan, seperti Besting Logistics atau
berorientasi kepada dunia hiburan menggunakan judulnya, “Besting The Best Of
The Best” adalah judul lagu dari Brian Tyler yang tersedia
di Spotify.
Bahkan, ada juga drama yang berjudul “The
Best Thing” mereka menggunakan “besting” dikeranakan ada kaitan dengan konteks
hubungan dan perkembangan diri.
Namun, diksi Besting pada topik goresan
ini, yakni sinonim dari “Bendera Setengah Tiang” Milad / hari kejadian Gerakan berdarah
Tiga Puluh September 1965 atau dikenal dengan istilah Gestapu / G30S-PKI.
Gestapu yang selalu diperingati pada
setiap tahun dengan menegakkan kibaran bendera setengah tiang, bukan berati
membangkitkan untuk berbalas dendam. Tetapi, mereinkarnasi agar logika beradius
isi otak jeroan yang hanya mengedepankan tindakan kebiadaban dan kezaliman agar
tidak kembali berulang untuk berkalam.
Perbuatan kejam yang berkadar logika
jeroan demikian mesti dikuburkan di muka bumi yang bersemesta kemerdekaan
sejati. Akar nilai kemerdekan sejati yang mesti dikedepankan. Merdeka dari
penderita luar biasa, akibat yang diperlakukan oleh kebiadaban kolonialisme
yang berotak isi jeroan ceboan.
Itu esensi dari kandungan sumpah dalam
pembukaan UUD 45; “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Bukan lagi bah logika isi jeroan demikian,
kini nilai-nilai demikian didaur kembali oleh bangsa sendiri, demi isi
jeroannya sehingga nilai esensi dari sumpah UUD 45 dicabik dan dicabulin tanpa
berkeperikemanusiaan lagi, baik secara kasat mata maupun berhalusinasi semata.
Namun, yang mesti di Besting, adalah
durasi diksi bermata perikemanusiaan di dalam menegakkan rasa keadilan yang
berkeadaban santun. Tidak lain, esensinya guna merealisasikan isi kandungan UUD
45 dan sila-sila dari Pancasila.
Sebagaimana dinukilkan dalam sub bagian
goresan di Pedoman Karya tanggal 05/9/2025. Di mana, goresan bertopik “Presiden,
Demokrasi ala Hewan” dengan bagian sub yang berkaitan tentang esensi Sila
pertama dari Pancasila sebagai pengantarnya.
“Kalau memang telah bersepakat dengan
esensi dari demokrasi Pancasila bukan sekadar hanya sebagai sistem politik,
tetapi juga sistem nilai-nilai yang mengikat semua aspek kehidupan negara dan
masyarakat.
Maka, esensi dari akar nilai-nilai etis
kemanusiaan yang berketuhanan tulen sebagai landasannya, yakni berlogika pada
konsep yang tidak lepas dari kesadaran religius, seperti yang tercermin dalam
sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kemudian, diimplementasikan menjadi tauhid
sosial sebagai wujud nilai-nilai demokrasi yang bermoral kemanusiaan yang
Berketuhanan tulen sehingga berkeetisan di dalam hidup merajut nilai moralitas
kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong-royong, sebagai karakter bangsa Indonesia
yang berkeadaban santun.”
Keadaban santun mesti berkaitan kualitas
pemaknaan agama dengan tindakan nyata yang sesungguhnya yang diharapkan oleh
Tuhan dan para Nabi-Nya.
Bukan sekadar orasi dangkalan yang hanya
arogansi dengan bertendesius kepada angka mayoritas gincuan tanpa aksi
ketulusan nyata secara tulen yang Berketuhanan sebagaimana diharapkan untuk
berkeadaban santun dengan menghindari gerakan keberingasan. Sebagaimana jejak
kelam yang dilakukan oleh para Gestapu/G30S PKI, yang membunuh secara sadis
para Jenderal tahun 1965.
Atas kejadian tersebut, sehingga
dimiladkan untuk diperingati setiap tahun dengan mengibarkan bendera setengah
tiang sebagai tanda berduka atas gugurnya pahlawan revolusi dari kebiadaban
Gestapu nan haus darah.
Gestapu Berdarah
Berkibar bendera merah putih sebagai
simbol darah keberanian sejati nan suci. Guna mengibarkan takbiran nan
benderang angkasa semesta berjingga tanpa tepi.
Kau, Aku kibar sejak jelang 17 Agustus
hingga kini 30 September 2025 diturunkan setengah tiang, guna memperingati duka
berdarah kepada Pahlawan Revolusi korban atas kebidaban dan kebejatan berdarah
oleh PKI.
AKu, kirim doa nan benderang bersalaman
cinta tiada berhingga untuk dikenang berkalam. Sekalipun, bukan jua kesan
dikenang untuk setengah hati bah bendera setengah terpasang di tiang.
Atau bukan jua, bah ikutan budaya berjejak
kepada abad ke-17 yang direinkarnasi kembali. Namun, ini hanya simbolikalisasi
tanda berduka kami kepada para pahlawan yang gugur atas kebiadaban berdarah
oleh Gestapu PKI durjana mesti berkalang pantang berulang.
Berkalang
kau buang sembarang, Aku bakar benderang
jadi abu, dan berkalang
kau taburin, Aku tebarin jadi debu dan
berkalang
kau percikan, Aku cairkan jadi lumpuran,
dan berkalang
kau kembali sediakala dan berkalang
Termasuk, berkalang dari logika isi otak
jeroan yang suka desperate/kebeletan di dalam estafet ceboan.
Desperate
Diksi desperate dari bahasa Inggris boleh
dimaknai dengan kebeletan atau putus asa yang tak karuan.
Diksi Kebelet/_an merupakan bahasa gaul
yang berarti ingin sekali atau tidak tertahankan lagi untuk melakukan suatu
keinginan, terutama yang berkaitan dengan keinginan buang air atau kebutuhan
lainnya.
Namun, saya lebih memilih di dalam diksi
goresan mengenai 'desperate' dengan makna kebeletan atau belepotan dibanding
dengan kata ke_putus asa_an.
Sekalipun, esensi putus asa berarti
kehilangan semua harapan di dalam menghadapi gelora kehidupan. Jika, berada
dalam situasi putus asa, maka itu berarti keadaannya sungguh sangat buruk, baik
logika bersifat pikiran maupun dalam kerangka jasad beragam urat kesarafan akan
durasi kemedisan.
Bahkan diksi desperate sebagai topik film
yang dilayarkan tahun 2014, “Desperate: A Ray of Light in the Face of Tyranny.”
Topik film ini, sangat inspiratif dan
dramatis yang diangkat dari kisah nyata. Di mana, Jenderal Nazi Von Ulbricht
(Greg Mullavy) putus asa ketika putranya yang terluka dibawa ke rumah sakit dan
tidak ada ahli bedah yang bersedia mengoperasinya
Film ini merupakan film drama pendek yang
dibintangi oleh Peter Mark Richman, yang berperan sebagai dr. Blumenthal,
seorang ahli bedah Yahudi yang ditahan di kamp kematian selama Perang Dunia
II.
Kehadiran diksi, baik di dalam goresan
maupun secara lisan merupakan gambaran kesehatan logika akan radius
bersirkulasi akan saraf kejiwaan manusia sesungguhnya.
Sungguh bukan jua diharapkan bah kebeletan
diksi Menkeu Purbaya yang berceloteh; “Itu suara sebagian kecil rakyat kita,
kenapa? Mungkin sebagian ngerasa keganggu hidupnya, masih kurang ya?” (detikjabar
09/9/ 2025).
Maka, publik bereaksi dengan cekatan
memaki kebeletan Purbaya dan saya pun spontan menyemprotinnya, yakni lebih
kurang, sebagaimana berikut.
Hei Bung Purbaya mesti Logisin
Kalau sudah berhadapan dengan logika
akademis mesti berdata yang dapat dipertanggungjawabkan, dan bukan dengan
apologistik simbolikalisasi diksi berkata-kata melompong doang
Begitu pula bila berhadapan dengan publik,
sekalipun melalui goresan di media sosial, di samping juga memperhatikan
konteksnya!
Dari kedua hal di atas, boleh jadi sebagai
akumulasi dari identitas juga menjadi idealistik mesti pertimbangkan sebagai
nilai keetisan logika di dalam berestetika beragumentatif kelogisan.
Termasuk, kedua bagian di atas sebagai
akumulasi keilmiahan tanpa pandang buluan, tidak ada bang bing bung lagi,
manakala telah berdata yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis.
Terkecuali, memang konteks ada kaitannya
dengan candaan yang bisa ditolerir untuk sekadar apologistik bersifat gurauan
saja.
Hal itu, menjadi kesan serius pada diksi
berikut ini juga, bukan menjadi candaan berlebihan.
Logika sungsang kebeletan begitu yang bisa
jadi biang kerok yang memancing gejolak di air keruh lagi_
Jaga lisanmu bung Purbaya, dan sebaiknya,
buang arogansi labiodental sok berlebihan nanti berbahaya buat dirimu dan
keluargamu.
Terutama, bagi bangsa yang lagi Presiden
Prabowo Subianto, sedang mengademkan publik Indonesia semesta agar tenteram
untuk benderang dalam berkibar, sekalipun bah molekul diatomik senihilan apapun
bentuknya akan terbaca.
Diatomik pun Terbaca
Kau hanyalah batu kerikil yang tak berdosa
nan terpantul juga terpelanting dari cela atap juga terhantam, dan terbakar
angkara nan segera karam
Jelas akan lenyap dilahap api membara
bersama Abu Lahab yang diazab hampa asap. Bahkan, asap atau bau busuk,
sekalipun dibungkusin apapun yang berlapisan dengan beton serta disenyapin
dengan beragam cara. Tetapi, aroma tetap saja tercium merona tanpa terbatasi-
Sekalipun, atlas jarak ruas berwaktu masih
tembus melintasi beradius rotasi juga terdeteksi. Jangan kerikil debu berpasir,
bahkan molekul hidrogen diatomik bagian terkecil dari atom pun terbaca.
Termasuk, sirkulasi akan durasi diatomik titelan rasa getaran akan kepanikan
atau ketakutan untuk dikafanin yang sedang menanti dengan setia.
Titelan Akhir Dikafanin
Kini, jiwa sukmamu telah mengawang
bergentayangan melolong hampa karuan di udara tak berawan
Berarti jasadmu, kini telah melompong
tidak bermakna lagi, sekalipun masih menggonggong meraung raung di bumi.
Namun, bah mumian dan bahkan melebihi
bangkai hewan yang berjalan
Bila telah demikian, sisa kremasi pemakaman
'tuk segera dimasifin di dalam gerbong ke_Asfala safilin-an kedunguan sebagai
otak titelan akhir, hanyalah kain kafan dibungkusin.
Dasar Otak Dunguan
Orang yang terjangkiti saraf otak akut
dunguan, memang sulit disiumankan akan kemajnunannya, biar puluhan tahun pun
diterapi secara masifan tetap saja akutan.
Bahkan, orang yang waras menjenguknya,
dibilangin tak waras pula!
Dasar kedunguan akutan, memang kita mesti
memahaminya dengan kewarasan lebih nan berlogika super kesabaran pula!
Bukan jua kilas balik akan tapak berjejak,
bah “Kain merah bara api” semakin membara guna menanti dengan setia di alam
kuburan berhingga kiamatan.
Jadi, eloknya kebiadaban Gestapu sehingga
selalu diperingati pada setiap tahun dengan menegakkan kibaran bendera setengah
tiang, bukan jua hendak membangkitkan rasa mencekam untuk berbalas dendam.
Tetapi, mereinkarnasi akan logika beradius isi otak jeroan yang hanya
mengedepankan tindakan kebiadaban dan kezaliman mesti dikuburkan sehingga tidak
berulang untuk berkalam.
Termasuk, gaya logika kebeletan sungsang
berisi jeroan yang hanya mengedepankan arogansi an sich doang mesti
dibuang jauh sehingga tidak semakin keruh keadaan. Bah melorotnya nilai rupiah
semoga tidak menjadi-jadi akibat dari kebeletan diksi Menkeu Purbaya. Namun,
publik menunggu bukti, sebagaimana dikoar-dikoarinnya di CNN: “Saya yakin
(rupiah) akan balik ke level fundamentalnya,” di dalam media briefingnya.
Manakala tidak terbukti, mungkin tidak
juga terlalu keliru bila publik akan Mebesting; Memasang Bendera setengah tiang
bagi Menkeu bung Purbaya pun akan berkaram. Wallahu'alam.
