Malu yang Tak Terbalas

Bus berangkat pelan meninggalkan terminal. Ahmad duduk di kursi dekat jendela, menatap jalan yang makin jauh dari rumahnya. Di luar, langit berawan tipis. Di dalam, hatinya berkabut tebal. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)


-----

PEDOMAN KARYA 

Jumat, 24 Oktober 2025


CERPEN


Malu yang Tak Terbalas


Karya: Asnawin Aminuddin


Pagi itu, Ahmad duduk termenung di ruang tamu rumahnya yang sederhana di pinggiran kota. Cahaya matahari menembus tirai lusuh, menimpa meja kayu yang mulai retak di ujungnya. Di atas meja itu tergeletak dompet kecil yang tak lagi tebal, hanya berisi beberapa lembar uang lima puluh ribuan dan beberapa receh yang terselip di sudut.

Ia membuka dompet itu berulang kali, seakan-akan jumlahnya bisa bertambah dengan tatapan mata. Tapi tetap sama. Uang itu bahkan belum cukup untuk kebutuhan rumah beberapa hari ke depan, apalagi untuk biaya perjalanan ke luar kota menghadiri kegiatan organisasi.

Istrinya, Ijah, muncul dari dapur sambil menyiapkan sarapan sederhana: nasi, telur dadar, dan sambal terasi. “Berangkat hari ini, kan, Bang?” tanyanya pelan.

Ahmad mengangguk. “Iya, Jah. Kegiatan mulai malam ini. Tapi…” ia terhenti sejenak, menatap uang di tangannya. “Uangnya cuma ini.”

Ijah tersenyum samar, mencoba menenangkan. “Yang penting niatnya baik, Bang. Insya Allah dimudahkan.”

Ahmad tahu, Ijah sedang menenangkan dirinya sendiri. Uang belanja di rumah menipis, sementara anak pertama mereka sudah kuliah, anak kedua dan ketiga masih sekolah. Gajinya sebagai karyawan di sebuah perguruan tinggi swasta pas-pasan. Kadang malah harus ‘ngutang’ ke teman atau koperasi hanya untuk menutup kebutuhan. Tapi kali ini ia tak ingin menambah utang lagi. Ia ingin mencoba cara lain.

Dengan rasa canggung yang menyesakkan dada, Ahmad membuka aplikasi WhatsApp. Ia mengetik pesan singkat yang sama kepada lima orang teman lamanya di organisasi. 

Semuanya “orang jadi” sekarang. Ada yang pejabat, ada anggota dewan, ada pengusaha. Mereka sudah puluhan tahun bersama, makan garam perjuangan yang sama, tertawa dan berpeluh di jalan dakwah organisasi.

“Assalamu’alaikum, Kak. Mohon maaf mengganggu. Saya mau berangkat kegiatan organisasi ke luar kota, tapi sedang kesulitan biaya. Kalau bisa dibantu sedikit untuk ongkos, insya Allah sangat saya syukuri. Jazakallah khair.”

Ia menatap layar ponselnya. Centang satu. Centang dua. Tapi tak ada balasan. Jam terus berjalan. Pagi berganti siang, siang berganti sore. Pesan-pesan itu tetap sepi. Tak ada “typing…” di bawah nama siapa pun. Tak ada balasan singkat “insya Allah,” apalagi tanda bahwa mereka peduli.

Sore menjelang malam, Ahmad menunduk lama di ruang tamu. Ada sesuatu yang hangat menggenang di matanya, tapi bukan karena marah. Lebih karena malu. Malu karena sudah menurunkan gengsi dengan meminta tolong.

Malu karena ternyata tidak dianggap. Dan lebih malu lagi, karena dalam hatinya sempat lebih berharap pada manusia daripada kepada Tuhannya.

Pagi hari sebelum berangkat, ia menyerahkan sebagian besar uang yang ada kepada Ijah. “Ini buat belanja, Jah. Abang bawa sedikit saja untuk di jalan.”

Ijah menerima dengan mata berkaca-kaca. “Abang hati-hati ya… semoga Allah cukupkan segalanya.”

Bus berangkat pelan meninggalkan terminal. Ahmad duduk di kursi dekat jendela, menatap jalan yang makin jauh dari rumahnya. Di luar, langit berawan tipis. Di dalam, hatinya berkabut tebal.

Ia membuka kembali pesan-pesan WA itu. Masih tak terbaca.

“Mungkin mereka sibuk,” bisiknya pelan. Tapi bisikan itu tak cukup menenangkan.

Lalu, dalam hening perjalanan, Ahmad menunduk. Suaranya bergetar di antara deru mesin dan gemuruh roda bus:

“Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini. Engkau Maha Tahu, kami hanya ingin menunaikan amanah organisasi, bukan mencari dunia. Kami telah memohon kepada-Mu agar dimudahkan rezeki, lalu kami mencoba meminta kepada manusia, tapi tak satu pun merespons. Ya Allah, kami tinggalkan istri dan anak-anak dengan bekal yang sedikit. Kami pun berangkat dengan uang yang hampir habis. Kami berserah diri kepada-Mu, Ya Rabb. Cukupkanlah yang sedikit ini, dan kuatkan hati kami yang rapuh ini.”

Air matanya jatuh, membasahi telapak tangan yang bergetar. Dalam tangisan itu, Ahmad merasakan sesuatu yang aneh, ringan. Seolah beban yang semula menghimpit dadanya perlahan diangkat oleh tangan tak kasatmata.

Kini ia sadar, rasa malu yang paling dalam bukan karena pesan yang tak dibalas, tapi karena ia sempat lupa bahwa Allah-lah sebaik-baik Penolong.

Bus terus melaju menembus malam. Dan di tengah dengung mesin dan cahaya lampu jalan yang berganti-ganti, Ahmad menatap langit dari balik jendela. Di sana, ia tahu, doanya sudah dibalas, jauh lebih indah daripada sekadar balasan WhatsApp.***


Batu - Malang, 24 Oktober 2025

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama