-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 23 Oktober 2025
Menunggu Balasan yang Tak Kunjung Datang
Pagi itu, seorang ayah duduk di tepi ranjang, memandangi dompetnya yang hanya berisi beberapa lembar uang lusuh. Ia harus berangkat ke luar kota untuk menghadiri sebuah kegiatan penting. Bukan perjalanan mewah—sekadar tugas kecil yang ingin ia jalankan dengan penuh tanggung jawab.
Namun, di rumah ada seorang istri yang akan ia tinggalkan selama beberapa hari. Naluri seorang suami membuatnya ingin menyerahkan seluruh uang itu kepada sang istri, agar kebutuhan di rumah tetap terpenuhi. Tapi bagaimana dengan dirinya di perjalanan nanti? Ongkos jalan pun belum pasti cukup.
Dengan sedikit harapan, ia mengirim pesan kepada lima orang temannya melalui WhatsApp. Satu per satu ia hubungi dengan nada sopan dan hati-hati. Ia tahu mereka semua mampu, dan ia yakin, sedikit bantuan dari mereka akan meringankan langkahnya.
Waktu berlalu. Siang berganti sore, malam pun datang perlahan. Notifikasi WA tetap sepi. Tak satu pun dari lima teman itu memberi balasan, bahkan sekadar tanda baca biru yang menandakan pesan sudah dibaca.
Akhirnya, dengan napas panjang dan mata yang sedikit basah, ia mengambil keputusan. Ia tetap berangkat, tapi tidak dengan tenang. Ia sisihkan sedikit dari uang yang semestinya diberikan kepada istrinya—sekadar untuk ongkos di jalan.
Di matanya, tidak ada marah, tidak pula kecewa yang meledak. Hanya kesunyian yang pelan-pelan menetes di hatinya. Dari peristiwa kecil itu, ia belajar: tidak semua yang kita anggap teman akan hadir saat kita butuh. Kadang, kesetiaan justru diuji di antara hal-hal sederhana—seperti balasan WA yang tak kunjung datang. (Datuk Gogo Putih)
