-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 03 Oktober 2025
Saudaraku Bernama
CW
Catatan Agus K Saputra
Bila direnungkam, hidup sering kali
menghadirkan kejutan-kejutan kecil yang justru menyimpan makna besar. Salah
satunya adalah pengalaman kebersamaan dengan seorang sahabat yang kemudian
terasa seperti saudara sendiri.
Dalam kisah ini, saya mengenangnya dengan
sebutan CW. Nama itu begitu melekat bukan hanya pada sosoknya, tetapi juga pada
jejak-jejak pembelajaran yang ditinggalkannya dalam kehidupan saya. Setiap
momen bersamanya adalah jendela kecil yang membuka cakrawala luas tentang arti
kebersamaan, persaudaraan, dan doa yang tak pernah putus.
Saya masih mengingat dengan jelas
perjalanan malam itu. Dari Kudus menuju Jakarta, kami menumpang bus malam,
membawa serta tawa, canda, dan rasa heran akan hal-hal sepele yang ternyata
bisa menjadi sangat berkesan.
Momen sederhana itu seakan menegaskan
bahwa hidup tidak selalu harus dipenuhi keseriusan yang kaku. Bahkan dalam
kondisi penat sekalipun, selalu ada ruang untuk tertawa, untuk bersyukur, dan
untuk merasakan kebahagiaan.
Saya ingat betul bagaimana malam itu
berubah dari sesuatu yang melelahkan menjadi pengalaman yang penuh makna. Saat
kami tergelak dalam obrolan panjang, saya tiba-tiba merasa Tuhan sedang memberi
pelajaran. Bahwa dalam kondisi apa pun, kita tidak perlu terlampau kaget atau
terperangah.
Hidup memang penuh kejutan, tetapi justru
karena itu kita ditantang untuk menjalaninya dengan senyum, bahkan dengan tawa.
CW malam itu mengajarkan saya—tanpa harus menggurui—bahwa menghadapi hidup bisa
dilakukan dengan ringan hati.
Salah satu momen yang tak pernah hilang
dari ingatan saya adalah ketika kami memutuskan untuk bertukar sepatu hanya
demi berfoto. Sebuah ide konyol yang entah mengapa bisa terasa sangat istimewa.
Ajaibnya, ukuran sepatu itu pas. Padahal usia kami terpaut cukup jauh.
Saat saya bertanya mengapa ia bersedia
bertukar sepatu, ia menjawab dengan lugas, “Ini bukan soal gaya atau tampilan,
melainkan soal kebersamaan.”
Jawaban itu sederhana, tetapi mengandung
makna dalam. Ia menegaskan bahwa dalam hidup, kita tidak bisa berjalan
sendirian. Ada lingkungan, ada orang lain, ada komunitas yang senantiasa
menjadi bagian dari diri kita. Tindakan sekecil apa pun—bahkan sekadar bertukar
sepatu—bisa menjadi simbol bahwa hidup adalah ruang berbagi.
Sejak saat itu saya semakin menyadari,
hal-hal kecil yang dilakukan dengan hati tulus sering kali meninggalkan kesan
yang lebih dalam dibandingkan dengan pencapaian besar yang dirayakan sendirian.
Doa yang Tidak Pernah Bosan
Obrolan kami kemudian berlanjut pada
sesuatu yang jauh lebih serius: soal doa. Saya sempat bertanya dengan nada
bercanda, “Kalau doa yang saya tahu itu-itu saja, apakah masih berarti?” Ia
menatap saya serius, lalu menjawab, “Percayalah, Gus. Tuhan tidak pernah bosan
mendengar doa umat-Nya.”
Jawaban itu menampar kesadaran saya. Saya,
yang selama ini menganggap doa sebagai rutinitas mekanis, tiba-tiba diingatkan
bahwa doa bukan sekadar hafalan. Doa adalah ungkapan hati. Bahkan jika isinya
sama, doa tetap berharga karena ia memantulkan kebutuhan dan harapan manusia
yang tiada henti.
CW, yang biasanya penuh tawa dan
keceriaan, malam itu menunjukkan sisi yang berbeda. Keseriusan yang muncul dari
wajahnya justru membuat saya merenung panjang.
Itulah kali kedua saya merasa kaget
olehnya. Kekagetan pertama, tentu saja, ketika kami berdebat panjang soal
penggunaan kata “wanita” atau “perempuan”. Diskusi itu entah bagaimana
berakhir, tetapi saya masih ingat betapa seriusnya kami menimbang makna kata.
Bagi orang lain, mungkin sekadar perdebatan semantik. Namun bagi kami,
kata-kata adalah pintu untuk memahami identitas, kebudayaan, dan cara berpikir
masyarakat.
Dari banyak pengalaman bersama CW, saya
menyadari bahwa persahabatan sejati sering kali melampaui sekadar interaksi
biasa. Ia menjelma menjadi persaudaraan. CW bukan sekadar teman perjalanan atau
kawan diskusi. Ia adalah cermin yang memantulkan sisi-sisi diri saya yang
jarang saya lihat. Dengan caranya sendiri, ia mengingatkan saya bahwa hidup
bukan hanya tentang mengejar sesuatu, melainkan juga tentang bagaimana kita
mengisi perjalanan dengan makna.
Persahabatan semacam ini mengajarkan bahwa
kebahagiaan bukanlah hasil akhir yang ditemukan di ujung jalan, melainkan
proses yang kita rasakan sepanjang perjalanan. Tawa di bus malam, sepatu yang
bertukar, doa yang tulus, dan perdebatan soal kata—semua itu adalah serpihan
kecil yang membentuk mosaik kebahagiaan.
Kegembiraan sebagai Obat
CW pernah berkata, “Kegembiraan yang
menjadi cikal bakal kebahagiaan adalah obat terbaik untuk kesakitan apa pun.”
Kalimat itu sederhana, tetapi semakin saya
renungkan, semakin terasa kebenarannya. Banyak orang mencari obat bagi
kesedihan dan penderitaan dengan berbagai cara. Ada yang berlari mengejar
materi, ada yang tenggelam dalam ambisi. Namun CW menunjukkan cara yang lebih
sederhana: hadapilah hidup dengan gembira.
Kegembiraan tidak selalu datang dari
sesuatu yang besar. Ia bisa hadir dari percakapan ringan, dari tawa di
perjalanan, dari doa yang berulang, bahkan dari perdebatan kecil yang tidak
pernah selesai.
Kegembiraan adalah sikap hati, bukan
sekadar hasil dari keadaan luar. Dan dari CW saya belajar, kegembiraan yang
tulus bisa menyembuhkan luka-luka terdalam yang kadang tidak terlihat oleh
mata.
Kini, setiap kali saya mengingat CW, saya
merasakan kehangatan persaudaraan yang tak pernah lekang oleh waktu.
Kenangan-kenangan itu bukan sekadar nostalgia, tetapi juga pengingat bahwa
hidup ini terlalu singkat untuk dijalani dengan wajah muram. Kebersamaan, doa,
dan kegembiraan adalah bekal yang jauh lebih berharga daripada apa pun yang
bisa kita kumpulkan.
Melalui kisah kecil tentang bus malam,
sepatu yang bertukar, doa yang tak pernah usang, dan diskusi tentang kata, saya
belajar bahwa hidup sesungguhnya adalah tentang bagaimana kita menemukan makna
dalam hal-hal sederhana. CW, dengan caranya sendiri, telah mengajarkan saya
bahwa hidup bisa dijalani dengan ringan, tetapi tetap dalam.
Dan karena itu, saya ingin menutup catatan
ini dengan satu pengharapan: semoga setiap orang memiliki seorang “CW” dalam
hidupnya—seseorang yang bukan hanya hadir sebagai teman, melainkan sebagai
saudara, guru, sekaligus cermin yang memantulkan makna hidup.
#Akuair-Ampenan, 03-10-2025
