Tas di Tengah Thawaf

Sambil terus thawaf, aku angkat tinggi-tinggi tas itu, berharap pemiliknya melihat dan datang menghampiri. Putaran demi putaran kulewati, tapi tak seorang pun datang mengakuinya. Aku lanjutkan hingga ke Mas’a, dan di sana kembali kuangkat tas itu. Namun tetap sunyi, tak ada yang datang mencari.



----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 14 Oktober 2025

 

Catatan dari Tanah Haram:

 

Tas di Tengah Thawaf

 

Oleh: Syahrullah Hamid

 

Aku menemukannya di lantai tempat thawaf, sudah tak bertuan, tergeletak di antara kaki para jamaah yang terus berputar mengelilingi Ka’bah. Kakiku menendang sesuatu yang keras. Kutundukkan pandangan, ternyata sebuah tas pinggang.

Segera aku ambil. Terlintas di benakku pengalaman kehilangan barang yang dulu kualami.

“Bagaimana kalau di dalamnya ada paspor?” pikirku. Tapi aku tahu, kekhawatiran tidak akan menyelesaikan apa pun. Yang penting sekarang, benda itu aman, jauh dari kemungkinan terinjak atau hilang.

Sambil terus thawaf, aku angkat tinggi-tinggi tas itu, berharap pemiliknya melihat dan datang menghampiri. Putaran demi putaran kulewati, tapi tak seorang pun datang mengakuinya. Aku lanjutkan hingga ke Mas’a, dan di sana kembali kuangkat tas itu. Namun tetap sunyi, tak ada yang datang mencari.

Akhirnya kubuka perlahan, sekadar memastikan. Benar saja, di dalamnya ada handphone, paspor, dan dompet. Aku tak berani menyentuh isinya. Tak lama, ponselnya bergetar, tanda panggilan masuk! Segera kuangkat, tapi komunikasi itu terputus. Bahasa yang terdengar pun sama sekali tak kupahami.

Kulihat paspornya: Bangladesh. Aku mencoba berbicara dalam Bahasa Arab dengan orang di balik telepon saat menghubungi kembali, tapi dia pun tak mengerti. Hingga akhirnya, mataku tertuju pada seorang pemuda dengan tulisan “Bangladesh” di tas pinggangnya.

Aku memintanya membantu berkomunikasi. Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, akhirnya wakil pemilik tas itu datang. Ia memelukku erat, begitu juga pemuda Bangladesh tadi. Air muka mereka lega dan penuh syukur. Kami berpisah dengan senyuman.

Aku menatap Ka’bah kembali dari kejauhan, seraya berbisik dalam hati:

“Ya Allah, Engkau yang mempertemukan, Engkau pula yang menjaga. Jadikan setiap langkah kami dalam thawaf dan sa'i ini bukan sakedar menyelesaikan rukun umrah, tapi buatlah kami juga belajar tentang amanah, kejujuran, dan kasih sayang antar sesama hamba-Mu.”

Karena kejadian ini, aku pikir sudah tertinggal dari teman-teman jamaah umrah privat Noor Medina yang sudah lebih dulu menyelesaikan thawaf dan sa’i bersama Mthowif Ustad Zair. Tapi dalam hatiku terdalam, aku merasa tidak benar-benar tertinggal, justru seolah Allah sedang memberiku “putaran tambahan” untuk belajar tentang makna amanah di tengah ribuan langkah manusia yang mencari ridha-Nya.

Sengaja aku tidak mengambil foto, dan tidak merekam momen bersama pemuda dan wakil pemilik itu. Biarlah gambarnya tersimpan di langit, bukan di kamera. Karena yang kita cari bukan tepuk tangan manusia, tapi ridha Allah yang Maha Menyaksikan.***


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama