Usia, Kehilangan, dan Kekuatan untuk Terus Melangkah

Kawan saya bercerita tentang keluarganya. Istri dan anaknya yang telah tiada. Mendahului dirinya ketika sebuah badai meluluhlantakkan rumah mereka. Pada saat itu ia sedang berada di tempat lain, bekerja untuk mencari nafkah.

 

------

PEDOMAN KARYA

Jumat, 10 Oktober 2025

 

Usia, Kehilangan, dan Kekuatan untuk Terus Melangkah

 

Catatan Agus K Saputra

 

“Usia tetaplah misteri, merangkai semua narasi hingga menutup mata”. Kalimat pendek ini, meski belum selesai diucapkan kawan saya, telah cukup mengguncang ruang batin saya. Ada sesuatu yang getir namun juga mendalam terkandung di dalamnya.

Usia memang selalu menjadi teka-teki: ia bukan hanya hitungan tahun yang bergerak dari lahir hingga tua, tetapi juga kumpulan pengalaman, kenangan, dan luka yang membentuk manusia. Dalam usia itulah seseorang memintal narasi kehidupannya, cerita tentang cinta, kehilangan, perjuangan, dan harapan. Hingga pada suatu titik, semua narasi itu berhenti: saat mata terpejam untuk terakhir kalinya.

Di hadapan saya, secangkir kopi hitam tanpa gula menjadi saksi pembicaraan malam itu. Kawan saya yang sejak awal tampak tertutup, perlahan membuka diri. Dengan tangan bergetar pelan ia meneguk kopinya, dan pada saat yang sama, wajahnya memantulkan sesuatu yang sulit saya tafsirkan: kelegaan bercampur kesedihan.

Ada cerita besar yang ia simpan, sebuah kisah yang mengubah cara ia memandang hidup. Malam itu ia memilih untuk membaginya kepada saya.

Kawan saya bercerita tentang keluarganya. Istri dan anaknya yang telah tiada. Mendahului dirinya ketika sebuah badai meluluhlantakkan rumah mereka. Pada saat itu ia sedang berada di tempat lain, bekerja untuk mencari nafkah.

Peristiwa itu meruntuhkan seluruh dunianya. Betapa pahitnya kenyataan hidup, bahkan kata-kata pun terasa tumpul untuk menggambarkannya. Kehilangan yang begitu mendadak, tanpa sempat berpamitan, tanpa sempat menggenggam tangan terakhir kali.

Awalnya ia marah kepada nasib. Dalam kemarahan itu, pikirannya bahkan sempat menyalahkan Sang Pemilik Kehidupan. Ia merasa dunia terlalu kejam, terlalu gelap, seolah-olah semua yang dicintainya telah direnggut tanpa alasan. Ia sempat berpikir untuk menyusul mereka, untuk mengakhiri hidup yang kini terasa hampa. Dalam dirinya, gulita begitu pekat, membutakan arah.

Pengakuan ini diucapkannya dengan suara parau. Ia tak sedang mencari simpati. Ia hanya seperti menyingkap tirai agar saya melihat luka yang selama ini ia sembunyikan.

Dalam setiap kata yang keluar, saya merasakan pergulatan panjang antara putus asa dan keinginan untuk tetap hidup. Bagi saya, kisahnya bukan sekadar tragedi pribadi, melainkan potret manusia pada umumnya yang diuji oleh kehilangan dan penderitaan.

 

Pergulatan Batin dan Pemaknaan Kehidupan

 

Kawan saya menyadari bahwa malam itu ia sebenarnya hanya membuat alasan agar saya mau menemaninya minum kopi. Sebenarnya, ajakan itu berawal dari saya, tapi ia selalu menolak setiap kali saya mengajaknya.

Malam ini berbeda. Ia menerima ajakan saya, atau lebih tepatnya ia membutuhkan seseorang untuk mendengar. Ternyata penolakan-penolakan sebelumnya bukan karena ia tak mau bertemu, tetapi karena ia masih berjuang untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Butuh waktu panjang baginya untuk menerima kenyataan bahwa istri dan anaknya telah tiada.

Lalu ia berkata dengan suara yang lebih mantap: “Kehilangan bukanlah sebuah akhir, tapi awal untuk terus melangkah”. Kalimat ini seperti menampar saya yang mendengarnya. Di balik kesedihan yang ia alami, ia menemukan sebuah titik terang.

Ia memilih untuk tidak berhenti, meski alasan untuk hidup seolah tak ada lagi. Kehilangan ternyata bisa menjadi awal untuk menata ulang diri, bukan sekadar tanda berakhirnya kebahagiaan.

Kalimat itu juga mengingatkan saya pada hakikat usia yang ia ungkap di awal. Hidup bukan hanya tentang jumlah tahun yang kita jalani, melainkan tentang bagaimana kita memaknai peristiwa-peristiwa yang kita temui.

Dalam misteri usia itu, kita selalu diberi kesempatan untuk menulis ulang narasi kita, meskipun kertasnya telah ternoda air mata. Kehilangan tidak menghapus semua, tetapi membuka ruang baru untuk menemukan makna yang lebih dalam.

Di hadapan kami, kopi tanpa gula itu terus diteguknya perlahan. Minuman sederhana ini menjadi metafora perjalanan hidupnya. Hitam dan pahit, seperti kenyataan yang harus ia telan. Namun justru dalam kepahitan itulah ia menemukan keteguhan.

“Selagi masih ada kesempatan, jangan sekali pun untuk menyerah,” ucapnya lagi sambil menatap jauh ke luar jendela.

Kalimat ini, yang terdengar sederhana, sebenarnya lahir dari pengalaman yang begitu berat. Banyak orang bisa berkata “jangan menyerah” saat hidupnya baik-baik saja. Namun ketika kata itu keluar dari seseorang yang kehilangan hampir segalanya, maknanya menjadi jauh lebih kuat. Ia bukan sekadar menasihati, tetapi menyampaikan kebenaran yang telah ia jalani.

Kopi hitam itu seperti simbol kehidupan yang sejati. Tidak selalu manis, tetapi selalu mengajarkan kita tentang keteguhan. Setiap tegukan adalah pengingat bahwa pahit pun bisa dinikmati bila kita siap menerimanya. Hidup pun demikian. Kepahitan tidak selalu harus ditolak, tetapi bisa dihadapi dengan keberanian hingga akhirnya menjadi bagian dari diri kita.

Dari percakapan malam itu, saya belajar sesuatu yang berharga. Usia, kehilangan, kesedihan, semuanya adalah bagian dari misteri kehidupan. Kita tidak pernah tahu berapa lama kita akan hidup, siapa yang akan pergi lebih dulu, atau bencana apa yang akan menimpa. Namun satu hal pasti, kita selalu punya pilihan untuk terus melangkah atau berhenti.

Kawan saya memilih untuk melangkah, meski awalnya ia sempat ingin berhenti. Ia memilih untuk bertahan, meski alasannya untuk hidup sempat hilang. Dalam kesendiriannya, ia menemukan keberanian untuk menerima kenyataan pahit. Dan malam ini, ia membaginya kepada saya, mungkin agar saya pun belajar bahwa hidup ini terlalu berharga untuk diakhiri hanya karena kita kehilangan sesuatu.

Kalimat awal yang belum ia selesaikan; “Usia tetaplah misteri, merangkai semua narasi hingga menutup mata”, seolah menemukan kelanjutannya dalam kisahnya malam ini. Narasi hidupnya belum selesai. Meskipun istri dan anaknya telah tiada, meskipun badai pernah meruntuhkan rumahnya, ia masih memiliki dirinya sendiri, keberaniannya, dan mungkin juga harapan untuk membangun kehidupan baru.

Bagi saya, pertemuan malam itu bukan sekadar ajakan minum kopi, tetapi sebuah pelajaran tentang arti hidup. Kehilangan bukanlah titik akhir, melainkan koma, tanda jeda sebelum kalimat baru dimulai. Dalam jeda itu, kita belajar menerima, memaafkan diri sendiri, dan menemukan alasan untuk tetap berjalan.

Kawan saya telah menunjukkan bahwa usia memang misteri, tetapi kita punya kuasa atas narasi yang kita tulis di dalamnya. Dan mungkin, ketika mata kita kelak benar-benar terpejam, narasi itu akan selesai dengan penuh makna, bukan hanya kepedihan.

 

#Akuair-Ampenan, 10-10-2025

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama