Demokrasi Kita

Dengan demikian, demokrasi Indonesia saat ini berada dalam posisi ambivalen. Ia lebih dari sekadar prosedur, tetapi belum mencapai substansi. Ia mengandung harapan, tetapi juga menyimpan potensi ilusi. - Usman Lonta -  

 

-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 19 November 2025

 

OPINI

 

Demokrasi Kita

 

Oleh: Usman Lonta

 

Perdebatan mengenai kualitas demokrasi Indonesia kembali mengemuka seiring semakin lebarnya jarak antara prosedur demokrasi dan realisasi nilai-nilai substansi demokrasi.

Dua dekade lebih pasca-Reformasi, Indonesia telah melaksanakan pemilu secara periodik, membuka ruang kompetisi multipartai, kompetisi antar kandidat Presiden, Kepala Daerah, serta memberikan peluang partisipasi bagi warga negara.

Di atas kertas, semua prosedur demokrasi berjalan dengan baik. Namun persoalan yang sering kali muncul sebagai pertanyaan kritis adalah, apakah prosedur tersebut benar-benar menghasilkan pemerintahan yang adil, dan akuntabel sebagai pintu gerbang menuju masyarakat sejahtera?

Pertanyaan inilah yang menghiasi diskursus tentang demokrasi prosedural versus demokrasi substantif dengan  harapan untuk menghadirkan demokrasi yang bermakna, bukan ilusi yang lahir dari ritual demokrasi prosedural semata.

Secara teoritis, demokrasi prosedural menekankan mekanisme yaitu Pemilu dilaksanakan secara periodik, rotasi kekuasaan, kebebasan berpendapat, serta sistem hukum yang menjamin kompetisi politik.

Joseph Schumpeter menggambarkan bahwa demokrasi adalah  metode memilih pemimpin melalui kompetisi antar-elite. Dalam kerangka ini, rakyat berperan terutama sebagai pemilih, bukan penentu arah kebijakan. Prosedur menjadi indikator utama, dan sejauh prosedur dijalankan, sebuah negara dianggap demokratis. Inilah yang dimaknai sebagai demorasi prosedural.

Berbeda dengan pandangan Robert Dahl, demokrasi menuntut lebih dari sekadar prosedur. Demokrasi mengharuskan negara mampu menghadirkan keadilan, penegakan hukum yang independen, perlindungan hak asasi manusia, dan kebijakan publik yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Demokrasi semacam ini disebut sebagai Demokrasi substantif. Demokrasi substantif sebagai bentuk demokrasi yang tidak hanya memenuhi syarat polyarchy secara prosedural, tetapi juga menjamin kualitas hasil kebijakan.

Jika kita menilai Indonesia berdasarkan dua spektrum ini, maka terlihat jelas bahwa demokrasi kita kuat pada tataran prosedural, tetapi lemah dalam dimensi substantif. Pemilu memang rutin dilaksanakan, tetapi praktik politik uang masih marak dan bahkan dianggap kewajaran.

Partai politik menjadi institusi yang formalnya demokratis, namun dalam kenyataannya dikelola secara oligarkis dan tidak transparan. Undang-undang menjamin kebebasan berekspresi, tetapi tekanan terhadap masyarakat sipil, aktivis, dan media masih terjadi. Secara prosedural, demokrasi bekerja, namun secara substantif, demokrasi masih menghadapi kemacetan.

Salah satu indikasi kelemahan substantif adalah dominasi oligarki dalam proses politik dan kebijakan publik. Elite ekonomi, pemilik modal, dan jaringan kekuasaan memainkan peran besar dalam menentukan arah kebijakan.

Hal ini menciptakan situasi di mana prosedur demokrasi justru menjadi instrumen untuk melegitimasi kepentingan kelompok kecil, bukan untuk menghadirkan keadilan bagi mayoritas. Pemilu yang diharapkan menjadi arena kontestasi gagasan berubah menjadi arena kontestasi modal.

Rendahnya literasi politik masyarakat semakin memperparah keadaan. Politik uang, politik pencitraan (kepalsuan), dan manipulasi informasi sering digunakan untuk mempengaruhi pilihan publik.

Dalam kondisi demikian, rakyat tidak benar-benar menjadi subjek demokrasi, melainkan objek yang mudah dimobilisasi. Demokrasi prosedural tetap berjalan, tetapi tidak menghasilkan pemerintahan yang benar-benar pro-rakyat.

Namun demikian, menyebut demokrasi substantif sebagai ilusi sepenuhnya tentu tidak tepat. Masih terdapat harapan yang memungkinkan demokrasi Indonesia bergerak menuju substansi.

Munculnya kelompok masyarakat sipil yang semakin kritis, akses masyarakat terhadap informasi digital yang luas, serta semakin banyaknya generasi muda yang sadar politik menjadi modal penting bagi pendalaman demokrasi. Ruang publik digital juga memungkinkan terbentuknya kontrol sosial yang lebih kuat terhadap kebijakan dan penyelenggara negara.

Akan tetapi, harapan tersebut harus dibaca secara realistis. Tantangan menuju demokrasi substantif bersifat struktural. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu pembenahan.

Pertama, partai politik perlu melakukan reformasi total. Pendanaan transparan, rekrutmen kader berbasis merit, serta internalisasi nilai-nilai demokrasi.

Kedua, institusi negara; kepolisian, dan Mahkamah konstitusi, serta penyelenggara Pemilu: KPU, Bawaslu, harus dibangun sebagai institusi yang independen dari tekanan politik jangka pendek.

Ketiga, pembangunan ekonomi harus diarahkan pada model yang inklusif sehingga ketimpangan sosial tidak melebar dan rakyat tidak berada dalam posisi yang mudah dipolitisasi melalui bansos dan semacamnya.

Keempat, pendidikan politik masyarakat perlu diperkuat agar kualitas partisipasi publik meningkat, bukan sekedar dimobilisasi dengan amplop.

Selain keempat hal tersebut di atas, kontrol masyarakat sipil, baik melalui media, akademisi, ormas keagamaan, maupun kelompok advokasi, juga harus berfungsi sebagai kontrol sosial atau kelompok penekan.

Tanpa tekanan publik yang konsisten, elite akan cenderung mempertahankan kondisi demokrasi prosedural yang menguntungkan mereka. Demokrasi substantif tidak mungkin terwujud tanpa keterlibatan masyarakat secara aktif dan terus-menerus.

Dengan demikian, demokrasi Indonesia saat ini berada dalam posisi ambivalen. Ia lebih dari sekadar prosedur, tetapi belum mencapai substansi. Ia mengandung harapan, tetapi juga menyimpan potensi ilusi.

Harapan akan demokrasi substantif hanya dapat diwujudkan jika ada reformasi struktural, institusional, dan kultural. Jika tidak, demokrasi prosedural akan terus berjalan sebagai ritual lima tahunan yang hanya memberikan legitimasi kepada elite, sementara nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan tetap jauh dari realitas.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

Sungguminasa, 19 November 2025

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama