![]() |
| Dosen Fakultas Kedokteran Unhas, Rini Rachmawarni Bachtiar, meraih penghargaan KGFID (Korean Gastroenterology Fund for Integrated Development) pada ajang Korea Digestive Disease Week 2025. (ist) |
-----
Kamis, 20 November 2025
DUNIA KAMPUS
Dosen Kedokteran
Unhas Rini Rachmawarni Raih Penghargaan Bergengsi di Korea
- Teliti Mikrobiota dalam Penyakit Lambung
MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Dosen
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas), dr. Rini Rachmawarni
Bachtiar, Sp.PD, K-GEH, MARS, meraih penghargaan KGFID (Korean Gastroenterology
Fund for Integrated Development) pada ajang Korea Digestive Disease Week 2025
(KDDW 2025).
Penghargaan prestisius ini diberikan untuk
kategori Best Abstracts dan Best Presentations melalui penelitiannya berjudul
“Characterization of gastric microbiota based on endoscopic and histopathologic
findings in gastritis: Focus on non-Helicobacter pylori pathogenic genera.”
KDDW 2025 merupakan kongres kolaboratif
yang diselenggarakan oleh Korean Society of Gastroenterology bersama berbagai
asosiasi akademik terkemuka di bidang gastroenterologi dan hepatologi di Korea.
Kegiatan ini menghadirkan program ilmiah
yang komprehensif dan mutakhir, membahas tantangan utama dalam ilmu penyakit
saluran cerna. Para pembicara dan delegasi dari berbagai negara berpartisipasi
untuk berbagi keahlian, capaian terbaru, dan gagasan inovatif, sehingga menjadi
ajang kolaborasi ilmiah yang berarti.
Rini Rachmawarni Bachtiar menjelaskan, penelitiannya
mengkaji keberadaan berbagai bakteri selain Helicobacter pylori yang hidup di
lambung dan berpotensi berperan dalam timbulnya radang kronis, kerusakan
mukosa, hingga peningkatan risiko kanker lambung.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa pasien
dengan gastritis atrofi memiliki keragaman mikrobiota yang jauh lebih tinggi,
termasuk keberadaan sejumlah bakteri patogen seperti Pseudomonas dan
Klebsiella.
Menurutnya, penelitian ini terpilih
sebagai Best Abstracts dan Best Presentation karena mengangkat topik yang masih
baru dan sangat relevan, yakni peran mikrobiota dalam penyakit lambung. Selain
itu, data yang digunakan berasal dari pasien Indonesia suatu wilayah yang masih
belum banyak diteliti dan hasilnya memberikan perspektif baru bahwa gastritis
tidak hanya disebabkan oleh H. pylori, tetapi juga mungkin melibatkan
bakteri-bakteri lain.
“Saya memilih fokus penelitian ini karena
sering menjumpai pasien dengan kerusakan mukosa lambung yang cukup berat,
tetapi hasil pemeriksaan menunjukkan mereka negatif H. pylori. Kondisi ini
menimbulkan pertanyaan penting: bakteri apa yang sebenarnya berperan dalam
proses peradangan tersebut? Dari situ, saya terdorong untuk memetakan
mikrobiota lambung pada populasi Indonesia dan mengidentifikasi apakah ada
bakteri lain yang dapat memicu peradangan kronis.” Jelas Rini.
Rini berharap penelitian ini dapat menjadi
pintu awal kolaborasi dengan berbagai pusat pendidikan dan rumah sakit, baik di
Indonesia maupun di tingkat internasional.
Ke depan, kolaborasi tersebut diharapkan
dapat mencakup penelitian mikrobiota lambung yang lebih mendalam, studi jangka
panjang untuk memantau perubahan dari gastritis hingga kondisi prakanker, serta
kerja sama dalam mengembangkan strategi pencegahan kanker lambung berbasis
mikrobiota.
Kontribusi penelitian ini bagi
pengembangan ilmu dan layanan kesehatan di Indonesia: memberikan gambaran awal
bahwa gastritis berat tidak selalu berkaitan dengan H. pylori, melainkan juga
dapat melibatkan bakteri lain yang perlu mendapat perhatian.
Data mikrobiota dari pasien Indonesia yang
sebelumnya minim kini mulai tersedia, sehingga dapat menjadi dasar bagi
penelitian lanjutan. Dalam jangka panjang, temuan ini diharapkan membantu
dokter mendeteksi risiko lebih dini serta membuka arah baru dalam upaya
pencegahan kanker lambung.
“Kontribusi penelitian ini bagi
pengembangan ilmu dan layanan kesehatan di Indonesia cukup signifikan. Temuan
ini memberikan gambaran awal bahwa gastritis berat tidak selalu berkaitan
dengan H. pylori, tetapi juga dapat melibatkan bakteri lain yang perlu diperhatikan,”
kata dr. Rini.
Data mikrobiota dari pasien Indonesia yang
sebelumnya sangat terbatas kini mulai tersedia dan dapat menjadi dasar penting
bagi riset lanjutan. Dalam jangka panjang, hasil penelitian ini diharapkan
membantu dokter mendeteksi risiko lebih dini serta membuka arah baru dalam
strategi pencegahan kanker lambung.
Lebih lanjut, Rini menjelaskan penelitian
ini membuka cara pandang baru bahwa penyebab radang lambung kronis tidak
sesederhana yang selama ini dipahami. Tidak semua kasus bermula dari H. pylori;
ada komunitas bakteri lain yang kemungkinan memiliki peran sama pentingnya.
Temuan ini menjadi langkah awal untuk memahami peta besar mikrobiota lambung
secara lebih utuh.
Hasil penelitian ini juga membantu
menjelaskan mengapa sebagian pasien tetap mengalami radang lambung berat
meskipun hasil pemeriksaannya negatif H. pylori. Temuan tersebut memberikan
indikasi bahwa dokter perlu mulai mempertimbangkan faktor mikrobiota lain dalam
proses penilaian maupun pengelolaan pasien gastritis.
Selain itu, penelitian ini menjadi salah
satu yang pertama yang secara khusus memetakan mikrobiota lambung pasien
Indonesia menggunakan pendekatan biologi molekuler. Data seperti ini sangat
berharga, mengingat karakter mikrobiota tiap populasi dapat berbeda karena
dipengaruhi lingkungan, pola makan, serta gaya hidup. (kia)
