------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 21 November 2025
Kopi, Hujan, dan
Khutbah Jumat
Jumat pagi, Kota Makassar diselimuti
hujan. Langit kelabu menumpahkan airnya tanpa jeda. Membasahi jalanan. Memaksa
banyak pengendara menepi. Mereka yang tak membawa mantel atau jas hujan hanya
bisa pasrah. Berteduh di emper toko, halte, atau sudut-sudut bangunan. Menunggu
hujan memberi sedikit ampun.
Di antara mereka, seorang muballigh yang
telah dijadwalkan mengisi khutbah Jumat pun mengalami hal serupa. Dalam
perjalanannya menuju masjid, hujan deras tiba-tiba mengguyur tanpa peringatan.
Ia pun mempercepat langkah. Memutuskan singgah di sebuah warkop kecil. Tak jauh
dari masjid tujuan. Sekadar mengisi waktu. Menghindari basah yang berlebihan.
Secangkir kopi panas segera tersaji di
hadapannya. Asap tipis mengepul. Menghangatkan suasana dan menenangkan dada. Di
luar, hujan tetap setia mencium aspal, membasahi bumi seperti doa yang jatuh
perlahan dan tak pernah putus dari langit.
Ratusan kendaraan lalu lalang di jalan tak
ia hiraukan. Klakson, percakapan, dan tawa pengunjung warkop di meja sebelah
seolah menjauh. Ia seperti berada di ruang sunyi versinya sendiri. Terpisah
oleh tirai hujan dan kesibukan pagi.
Sang muballigh membuka tas dan
mengeluarkan laptop yang selalu dibawanya. Layar menyala. Menampilkan artikel
bahan ceramah yang telah ia siapkan. Setelah satu dua teguk kopi, ia pun larut
dalam bacaan. Menata ulang kalimat. Menyusun pesan. Menimbang diksi yang
sebentar lagi akan disampaikannya dari mimbar.
Di antara rintik hujan dan aroma kopi, ia menyiapkan kata-kata yang kelak menjadi penyejuk jiwa. Sebagaimana hujan menenangkan bumi dan kopi menghangatkan pagi yang dingin. Sebuah jeda hening sebelum suara khutbah menggema di rumah Tuhan. (asnawin)
