![]() |
| Prof. Muhamad Ali, Ph.D (paling kiri) mendaftar sebagai calon Rektor Universitas Mataram (Unram) Periode 2026–2030. |
-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 22 November 2025
Prof. Ali dan Arah
Baru Unram: Deklarasi Mandalika hingga Gerakan Sosial
Catatan Agus K Saputra
Pendaftaran Prof. Muhamad Ali, Ph.D,
sebagai calon Rektor Universitas Mataram (Unram) untuk periode 2026–2030
membuka babak baru dinamika kampus. Di tengah persaingan gagasan dan harapan
akan arah baru pendidikan tinggi, Prof. Ali muncul sebagai “kuda hitam” dengan
penegasan yang jarang terdengar dari seorang kandidat rektor.
Ia menyebut keputusannya bukan sekadar
langkah pribadi, tetapi bagian dari komitmen kolektif sivitas akademika untuk
menjaga keberlanjutan Deklarasi Mandalika 2025, dokumen strategis yang
menetapkan Unram sebagai Perguruan Tinggi unggul dan berdaya saing global.
“Semua sivitas akademika telah sepakat.
Siapapun yang akan menjadi rektor, harus mewujudkan visi ini,” ujar Prof. Ali.
Pernyataan tersebut memberi sinyal bahwa
pertarungan rektor bukan sekadar kompetisi administratif. Di baliknya ada upaya
membangun konsensus arah institusional dan menguatkan identitas Unram sebagai
bagian dari peta akademik global.
Dalam berbagai forum, Prof. Ali sering
menyampaikan bahwa perguruan tinggi di abad ke-21 tidak lagi bisa berjalan
dengan cara-cara lama. Globalisasi pendidikan, menurutnya, bukan sekadar arus
besar yang memaksa kampus untuk berubah, melainkan kondisi baru yang menentukan
relevansi sebuah universitas.
“Kita tidak bisa lagi berpikir lokal dalam
soal ilmu pengetahuan. Pengetahuan hari ini bergerak lintas negara, lintas
bahasa, dan lintas disiplin,” katanya.
Menurutnya, universitas yang tidak membuka
diri pada jejaring internasional akan kehilangan legitimasi akademik.
Kolaborasi global bukan lagi bonus, tetapi kebutuhan strategis untuk menjaga
standar mutu, integritas ilmiah, dan daya saing.
Prof. Ali melihat bahwa Unram memiliki
potensi besar untuk masuk dalam arus itu. Keunggulan Unram berada pada riset
agrokomplek, peternakan, lingkungan, dan biodiversitas, topik yang menjadi
perhatian global.
Tantangannya hanya satu: menguatkan
kualitas dan memperluas jangkauan.
“Perguruan tinggi harus melahirkan
pergaulan global yang setara,” tegasnya, menambahkan bahwa kolaborasi
internasional harus dibangun atas dasar kepercayaan, bukan sekadar niat untuk
mengikuti tren.
Baginya, kolaborasi global adalah bentuk
diplomasi akademik yang memosisikan Unram sebagai kontributor, bukan sekadar
peserta.
Kehadiran Prof. Ali di sejumlah forum
internasional, termasuk konferensi, simposium bioteknologi, hingga kolaborasi
riset dengan peneliti luar negeri menjadi rekam jejak tersendiri. Di mata
sebagian akademisi Unram, pengalaman globalnya menjadi modal penting untuk
memperkuat jejaring universitas.
“Ali punya kemampuan menghubungkan
laboratorium Unram dengan laboratorium-laboratorium dunia,” ujar salah satu
kolega dekatnya.
Dengan latar belakang bioteknologi
molekuler dan riset microbial conversion, ia kerap terlibat dalam diskusi
global tentang bioekonomi sirkular, ketahanan pangan, dan teknologi pengelolaan
limbah.
Inilah salah satu alasan mengapa banyak
pihak menyebut pencalonannya sebagai peluang mendorong Unram menjadi
universitas riset yang lebih kuat.
Momentum penting bagi Prof. Ali muncul
saat ia menjadi keynote speaker dalam International Conference on Science and
Technology (ICST) ke-10, yang digelar di Merumatta Senggigi, Rabu (19/11) lalu.
Materi yang ia sampaikan berjudul: “Integrating Molecular Biotechnology into
Circular Bio-economy: Microbial Conversion of Agro-waste into Sustainable
Livestock Feed.”
Di hadapan para ilmuwan lintas negara,
Prof. Ali memotret bagaimana bioteknologi molekuler menjadi fondasi ekonomi
sirkular, terutama dalam memecahkan persoalan limbah pertanian.
NTB sebagai wilayah berbasis agro memiliki
posisi strategis dalam isu tersebut.
Produksi jagung, padi, dan hortikultura
yang tinggi di satu sisi memberi keuntungan ekonomi, namun di sisi lain
menghasilkan tumpukan limbah agro yang sulit ditangani.
Prof. Ali menunjukkan bagaimana teknologi
mikroba mampu mengonversi limbah tersebut menjadi pakan ternak bernilai nutrisi
tinggi. Pendekatan ini bukan hanya bernilai ilmiah, tetapi juga memberi peluang
ekonomi bagi peternak lokal.
“Kita bisa mengubah masalah menjadi sumber
daya. Ini bukan sekadar riset, tetapi sebuah model pemberdayaan,” ujarnya dalam
sesi diskusi.
Paparan itu mendapat perhatian peserta
karena menggabungkan riset molekuler dengan kebutuhan pragmatis daerah. Tak
sedikit peneliti internasional yang menilai model yang ditawarkan Prof. Ali
sebagai peluang kerja sama baru di bidang bioekonomi tropis.
Dampak Bagi NTB
Menurut sejumlah catatan, uji coba
microbial conversion yang dikembangkan Prof. Ali telah dilakukan di beberapa
desa sentra peternakan. Respons peternak dinilai positif karena pakan hasil
konversi tidak hanya lebih murah, tetapi juga meningkatkan efisiensi produksi.
Inilah titik yang memperlihatkan orientasi
kerja Prof. Ali: riset tidak cukup berhenti pada jurnal atau publikasi Scopus.
Ia harus memberi manfaat langsung bagi masyarakat.
“Akademisi punya kewajiban moral untuk
memastikan pengetahuannya kembali ke masyarakat,” katanya dalam salah satu
wawancara.
Pandangan tersebut menjadi dasar penting
bagi arah kepemimpinan akademik yang ia tawarkan.
Terlepas dari reputasinya sebagai ilmuwan
laboratorium, Prof. Ali memiliki sisi humanistik yang kuat. Ia meyakini bahwa
ruang intelektual tidak boleh kehilangan unsur imajinatif.
“Sains tanpa imajinasi akan kering, dan
imajinasi tanpa sains tidak akan bertahan,” ucapnya.
Menurutnya, dunia akademik tidak hanya
mengurusi data, angka, dan metodologi. Ia juga bergerak dalam wilayah impian
manusia, tentang masa depan, tentang kreativitas, dan tentang keberanian
intelektual.
Prof. Ali percaya bahwa universitas adalah
tempat paling sah untuk memelihara imajinasi. “Di kampus, mahasiswa harus
merasa bebas untuk bermimpi besar,” katanya.
Ini pula yang menjadi alasan mengapa ia
sering mendorong kolaborasi lintas bidang antara sains, seni, humaniora, dan
teknologi. Dalam beberapa kesempatan, ia bahkan menyebut bahwa kampus yang
kehilangan imajinasi adalah kampus yang kehilangan masa depan.
Program Social Innopreneurship
Di antara gagasannya, Program Social
Innopreneurship Universitas Mataram (PSIU) menjadi perhatian publik akademik.
Program ini dirancang sebagai gerakan besar untuk menyiapkan mahasiswa Unram
menjadi inovator sosial, bukan sekadar lulusan.
PSIU berdiri di atas tiga pilar strategis.
Pertama, Edukasi dan Literasi Inovasi Sosial. Mahasiswa didorong untuk membaca
persoalan sosial dengan cara baru: bukan sekadar mengeluh atau mengkritik,
tetapi memetakan potensi value creation. Edukasi ini mencakup desain solusi
berbasis data, empati komunitas, hingga pendekatan antropologis.
Kedua, Inkubasi dan Pendampingan Proyek. Tahap
inkubasi memberi ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan ide mereka dengan
dukungan mentor. Modelnya mirip start-up incubator, tetapi fokusnya pada proyek
sosial: pengelolaan sampah, teknologi pertanian murah, literasi lingkungan,
hingga ekonomi kreatif.
Ketiga, Kemitraan dan Kolaborasi. Untuk
memastikan proyek tidak berhenti di kampus, PSIU membangun jaringan dengan
pemerintah daerah, dunia industri, NGO, hingga lembaga internasional. Artinya,
mahasiswa bukan hanya belajar, tetapi juga didorong untuk memimpin perubahan
sosial.
Menurut Prof. Ali, PSIU bukan program
temporer, tetapi konsep pendidikan baru yang menggabungkan sains, imajinasi,
dan kebermanfaatan sosial.
“Inovasi sosial adalah masa depan NTB.
Kita perlu generasi yang tidak hanya pintar, tetapi mampu menciptakan dampak,”
ujarnya.
Jika melihat banyak kampus besar di
Indonesia, tantangan perguruan tinggi bukan sekadar akreditasi atau ranking
internasional. Tantangan sesungguhnya berada pada tiga hal: kualitas riset,
kesiapan SDM, dan kemampuan beradaptasi dengan dunia yang berubah cepat.
Prof. Ali mengakui hal itu. Namun, ia juga
melihat peluang besar bila Unram mampu mengintegrasikan riset unggulan,
jejaring global, dan pemberdayaan sosial secara simultan.
Menurutnya, Unram bisa menjadi pusat ilmu
pengetahuan tropis yang relevan bagi dunia, terutama dalam isu peternakan
tropis, konservasi, bioteknologi agrokomplek, hingga ekonomi sirkular.
“Kita punya keunggulan lokal, dan dunia
tertarik pada itu. Tinggal bagaimana kita membingkainya secara ilmiah, terukur,
dan kolaboratif,” jelasnya.
Arah Kepemimpinan: Visioner, Berbasis
Sains, dan Humanistik
Apa yang ditawarkan Prof. Ali dalam
kontestasi rektor ini bukan sekadar program kerja. Ia menawarkan cara pandang
baru, bahwa kepemimpinan akademik harus berdiri di atas (a) visi global, (b) landasan
ilmiah yang kuat, dan (c) moralitas imajinatif.
Bagi banyak pengamat kampus, kombinasi ini
jarang muncul bersamaan. Prof. Ali membawa riset internasional, tetapi tetap
berpijak pada kebutuhan masyarakat lokal. Ia mendorong inovasi, tetapi juga
menekankan nilai kemanusiaan.
Pencalonannya barangkali baru awal. Tetapi
arah yang ia bawa menandai satu hal penting: Unram sedang berada di
persimpangan sejarah, dan pilihan gagasan akan menentukan masa depannya.
Dengan gagasan tentang globalisasi
pendidikan, riset strategis, dan gerakan Social Innopreneurship, Prof. Ali
mengajak Unram memasuki fase baru, lebih terbuka, lebih kreatif, dan lebih
relevan.
#Akuair-Ampenan, 22-11-2025
