----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 09 November
2025
Pelajaran dari
Zohran Mamdani bagi Reformasi Politik Indonesia
Oleh: Usman Lonta
Zohran
Kwame Mamdani keluar sebagai pemenang pada Pemilihan Wali Kota New York,
Amerika Serikat, baru-baru ini. Euforia menyambut kemenangan ini mengguncang
politik global. Sambutan atas kemenangan Zohran Mamdani dapat menjadi penanda
pergeseran arah politik dunia, tidak terkecuali politik Indonesia.
Munculnya
tokoh muda Zohran Mamdani dengan gagasan progresif di New York, yang berani
menantang sistem lama dan menawarkan politik yang lebih manusiawi, adalah salah
satu impian tumbuhnya nilai-nilai sosialisme demokratik ke dalam gelanggang
politik Amerika Serikat.
Dalam
pandangan masyarakat New York, Mamdani bukan sekadar politisi. Ia adalah
representasi dari gelombang kebangkitan politik moral dan keadilan sosial di
tengah kejenuhan masyarakat terhadap politik elitis dan kapitalistik. Ada
kemirifan dengan situasi politik di Indonesia.
Oleh
karena itu, dari perjuangan dan keberhasilan Zohran Mamdani, patut menjadi ibrah
bagi Indonesia, sebuah negara yang juga sedang mencari bentuk demokrasi yang
lebih substantif, adil, dan berpihak pada rakyat.
Zohran
Mamdani muncul di tengah krisis representasi politik di New York. Banyak warga
yang merasa bahwa partai-partai besar, termasuk Partai Demokrat sendiri, telah
terlalu jauh dari aspirasi rakyat kecil.
Mereka
menjadi bagian dari sistem kekuasaan yang lebih sibuk mengurus kepentingan
korporasi ketimbang kebutuhan publik. Fenomena yang sama juga terjadi di
Indonesia. Masyarakat mulai merasa bahwa politik telah dikuasai oleh oligarki
dan dinasti, di mana kekuasaan diwariskan, bukan diperjuangkan.
Pemilu
sering kali menjadi ajang transaksi, bukan refleksi gagasan. Akibatnya,
kepercayaan publik terhadap partai politik terus menurun. Mamdani hadir membawa
harapan baru, bahwa politik masih bisa menjadi alat perubahan sosial, bukan
sekadar sarana perebutan jabatan.
Ia
mengembalikan makna politik sebagai pengabdian terhadap rakyat dan alat
perjuangan moral. Pelajaran yang sangat bermakna bagi Indonesia adalah perlunya
mengembalikan politik kepada nilai-nilai dasar, yaitu kejujuran, keadilan, dan
solidaritas sosial.
Dari
berbagai informasi yang penulis himpun, kemenangan Mamdani dalam pemilihan Wali
Kota New York bukanlah hasil dari mesin partai besar, melainkan dari gerakan
akar rumput (grassroots movement) yang melibatkan masyarakat biasa.
Ia
menolak dana korporasi besar dan memilih menggandeng relawan muda, aktivis, dan
pekerja komunitas. Kampanyenya sederhana, tapi penuh idealisme, yaitu rumah
terjangkau, transportasi publik gratis, energi bersih, dan keadilan bagi semua
warga.
Pendekatan
seperti ini juga bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia. Dalam konteks demokrasi
lokal, banyak calon kepala daerah yang lebih sibuk mencari “sponsor politik”
daripada mendengarkan suara rakyat. Politik menjadi mahal dan akhirnya
dikendalikan oleh pemilik modal yang mendanai proses Pemilu.
Padahal,
seperti Mamdani, kekuatan sesungguhnya justru ada di tangan rakyat jika mereka
diberdayakan, dipersatukan, dan disadarkan. Gerakan sosial yang terorganisasi
bisa menjadi kekuatan politik baru di Indonesia, terutama jika digerakkan oleh
kelompok muda (IMM, HMI, PMII, GMKI, Pemuda Anshor, serta Pemuda Muhammadiyah),
komunitas keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil yang masih menjaga
idealisme.
Ide-ide
yang dibawa Mamdani tentang keadilan sosial, kesetaraan ekonomi, dan hak rakyat
atas layanan publik, sejatinya sangat dekat dengan cita-cita Pancasila. Dalam
Pasal 33 UUD 1945, ditegaskan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”. Namun dalam praktiknya, kebijakan ekonomi
Indonesia masih sering dikendalikan oleh kepentingan kapital besar.
Mamdani
mengingatkan bahwa pemerintah harus berpihak pada rakyat kecil, bukan tunduk kepada
pasar. Ia berjuang agar kebijakan publik dijalankan bukan atas dasar laba,
melainkan atas dasar nilai kemanusiaan.
Relevansinya
bagi Indonesia sangat jelas: kita membutuhkan politik yang berpihak kepada yang
lemah, bukan yang kuat; kepada rakyat kecil, bukan pengusaha besar. Negara
harus berani mengintervensi pasar demi melindungi rakyat, memperkuat jaminan
sosial, memperluas akses pendidikan, dan menegakkan prinsip keadilan
distributif.
Zohran
Mamdani adalah sosok politisi muda. Kemenangan ini menunjukkan bahwa generasi
muda mampu merebut kembali ruang politik, asalkan berani membawa gagasan baru
dan berpegang pada prinsip moral, bukan menjilat pada kekuasaan.
Kondisi
ini sangat relevan dengan Indonesia, di mana sebagian besar pemilih adalah
generasi milenial dan Gen Z, tetapi ruang politik mereka masih terbatas. Anak
muda sering dipandang sebagai pelengkap, bukan pemimpin. Padahal, mereka
memiliki energi, kreativitas, dan keberanian moral yang luar biasa. Kalaulah
ada pemuda yang tampil, bukan karena gagasan brilian yang membawa harapan baru
buat Indonesia.
Krisis
politik di Indonesia sebagian besar bersumber dari krisis moral kekuasaan,
ketika jabatan tidak lagi dimaknai sebagai amanah, melainkan sebagai peluang.
Maka pelajaran dari Mamdani adalah politisi muda harus menjadi politik nilai,
bukan politik ambisi.
Mamdani
adalah keturunan Afrika dan India, dua identitas yang sering mengalami
diskriminasi di Amerika. Namun ia menjadikan identitas itu bukan sebagai sumber
perpecahan, melainkan sebagai dasar solidaritas.
Ia
memperjuangkan politik yang inklusif, politik yang melindungi semua orang tanpa
melihat warna kulit, agama, atau latar belakang ekonomi. Indonesia juga
memiliki tantangan serupa yaitu politik identitas sering dipakai sebagai alat
polarisasi. Padahal, jika dimaknai secara positif, identitas bisa menjadi
kekuatan moral yang memperkaya demokrasi.
Politik
Islam misalnya, seharusnya menjadi sumber nilai untuk menegakkan keadilan
sosial dan memberantas korupsi, bukan sekadar alat mobilisasi suara. Mamdani
menunjukkan bahwa pluralisme dan solidaritas dapat berjalan seiring, jika dasar
perjuangannya adalah kemanusiaan dan keadilan.
Pelajaran
terpenting dari Zohran Mamdani adalah perlunya menata ulang demokrasi Indonesia
agar lebih substansial dan berakar pada rakyat. Demokrasi tidak cukup hanya
dengan pemilu setiap lima tahun; ia harus hidup dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat: dalam kebijakan yang adil, dalam partisipasi publik yang nyata, dan
dalam pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Potensi
Indonesia untuk melahirkan figur seperti Mamdani sangat banyak. Pemuda
Muhammadiyah, IMM, HMI, Pemuda Anshor, PMII, GMKI, dan lain-lain adalah kawah
yang sangat potensial untuk melahirkan politisi yang berani menolak politik
uang, menolak dikendalikan oleh oligarki, dan berani memperjuangkan kebenaran
meski tidak populer. Demokrasi yang sejati hanya bisa lahir jika ada keberanian
moral untuk mengubah struktur politik yang timpang menjadi politik yang
memanusiakan.
Zohran
Kwame Mamdani mengajarkan kepada kita bahwa politik tidak harus kotor. Politik
bisa menjadi alat perjuangan yang mulia jika dijalankan dengan kejujuran,
nilai, dan keberpihakan kepada rakyat.
Dalam
konteks Indonesia, spirit Mamdani dapat menjadi inspirasi untuk melahirkan
generasi pemimpin baru: pemimpin yang bersih, berani, dan berpihak pada
keadilan sosial. Politik yang sejati bukanlah tentang siapa yang berkuasa,
tetapi siapa yang dibela oleh kekuasaan itu.
Dan
seperti yang diperlihatkan Mamdani, ketika rakyat kecil bersatu dan bergerak,
tembok kekuasaan yang kokoh pun bisa runtuh dengan kekuatan moral dan
solidaritas. Wallahu a’lam bishshawab.
Sungguminasa,
09 November 2025
