-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 14 November 2025
Redenominasi
Rupiah: Antara Efisiensi, Stabilitas, dan Tantangan Sosial Ekonomi
Oleh: Agus K
Saputra
Wacana
redenominasi rupiah kembali menjadi perhatian publik setelah Menteri Keuangan
Purbaya Yudhi Sadewa merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun
2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025–2029.
Dalam
beleid tersebut, salah satu agenda strategis yang direncanakan adalah
penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah
(Redenominasi) yang ditargetkan rampung pada tahun 2026 atau 2027.
Redenominasi,
secara sederhana, berarti penyederhanaan nilai nominal mata uang tanpa mengubah
daya beli masyarakat ataupun nilai tukar terhadap mata uang asing. Dalam
konteks Indonesia, wacana ini sering diartikan sebagai upaya “menghapus tiga
nol” pada setiap nominal rupiah. Misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1, dan Rp100.000
menjadi Rp100, tanpa memengaruhi nilai riil uang tersebut di pasar.
Langkah
ini diusulkan bukan semata-mata untuk mempercantik tampilan mata uang,
melainkan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian, memperkuat kredibilitas
rupiah, dan menjaga daya beli masyarakat. Namun, sebagaimana pengalaman
sebelumnya, wacana redenominasi juga menyisakan beragam pandangan, baik dari
sisi ekonomi, sosial, maupun politik.
Dalam
PMK Nomor 70 Tahun 2025, disebutkan bahwa penyusunan RUU Redenominasi merupakan
bagian dari empat inisiatif legislasi strategis Kementerian Keuangan untuk
periode lima tahun ke depan.
Selain
redenominasi, tiga RUU lain yang diusulkan meliputi RUU tentang Perlelangan
(selesai 2026), RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara (2026), dan RUU tentang
Penilai (2025).
Menurut
beleid tersebut, urgensi pembentukan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah
dilandaskan pada empat aspek utama, yakni (1) Efisiensi perekonomian nasional melalui
penyederhanaan sistem akuntansi, transaksi, dan pencatatan harga barang/jasa.
(2)
Menjaga kesinambungan perkembangan ekonomi nasional dengan memperkuat persepsi
positif terhadap mata uang. (3) Menjaga stabilitas nilai rupiah sebagai simbol
kepercayaan terhadap daya beli masyarakat. (4) Meningkatkan kredibilitas rupiah
di mata internasional.
Penanggung
jawab utama penyusunan RUU ini adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb)
Kementerian Keuangan, yang akan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan lembaga
terkait lainnya.
Menko
Perekonomian Airlangga Hartarto sendiri menyatakan bahwa pihaknya masih akan
mengkaji dan mempelajari usulan tersebut lebih dalam. Dalam pernyataannya di
Kompleks Istana Kepresidenan (7 November 2025), Airlangga menegaskan belum ada
pembicaraan rinci antara kementeriannya dengan Kementerian Keuangan terkait
langkah teknis pelaksanaan redenominasi. “Belum ada pembicaraan,” ujarnya
singkat.
Sikap
hati-hati pemerintah ini dapat dimaklumi, mengingat redenominasi bukan hanya
kebijakan administratif, melainkan transformasi sistem moneter yang memerlukan
kesiapan ekonomi, keuangan, dan psikologis masyarakat.
Konsep,
Sejarah, dan Pembeda dari Sanering
Menurut
Bank Indonesia, redenominasi adalah tindakan penyederhanaan nilai nominal mata
uang, dilakukan ketika kondisi ekonomi dan inflasi berada dalam keadaan stabil.
Penyederhanaan ini tidak mengubah nilai tukar terhadap mata uang asing maupun
daya beli masyarakat. Dengan kata lain, Rp1.000 sebelum redenominasi akan
memiliki nilai yang sama dengan Rp1 setelah redenominasi. Hanya format
nominalnya yang berubah.
Konsep
ini berbeda dengan sanering, yaitu pemotongan nilai uang yang biasanya
dilakukan saat kondisi ekonomi sedang krisis atau hiperinflasi. Dalam sanering,
nilai uang baru lebih kecil daya belinya dibandingkan uang lama. Sebaliknya,
redenominasi bersifat netral secara ekonomi, hanya menyederhanakan jumlah digit
tanpa merugikan masyarakat.
Indonesia
sendiri pernah melaksanakan kebijakan serupa pada 13 Desember 1965, saat
pemerintah mengeluarkan uang baru dengan nilai Rp1 setara dengan Rp1.000 lama.
Namun, kebijakan tersebut lebih menyerupai sanering karena dilakukan di tengah
inflasi tinggi dan bertujuan untuk menekan defisit keuangan negara.
Sementara
itu, wacana redenominasi modern mulai muncul kembali pada era 2010-an. Darmin
Nasution, saat menjabat Gubernur Bank Indonesia (2010–2013), sempat menjelaskan
bahwa redenominasi tidak akan menurunkan daya beli masyarakat. Bahkan, Bank
Indonesia kala itu telah menyiapkan ilustrasi desain uang hasil redenominasi,
meski belum pernah diterapkan.
Pandangan
Media Internasional
Rencana
Indonesia untuk melaksanakan redenominasi rupiah pada periode 2025–2029
mendapat perhatian dari berbagai media internasional.
Reuters,
dalam artikel berjudul “Indonesia plans a bill to redenominate rupiah
currency”, menyoroti bahwa langkah ini merupakan upaya pemerintah untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi dan memperkuat kredibilitas mata uang nasional.
Reuters
mencatat bahwa rencana ini bukan hal baru. Pemerintah pernah mengajukan draf
serupa pada tahun 2013, namun tidak pernah terealisasi. Media itu juga
menyoroti ketidakjelasan mengenai berapa banyak digit nol yang akan dihapus
kali ini, meski indikasi mengarah pada penghapusan tiga nol.
Sementara
Channel News Asia (CNA) menulis artikel bertajuk “Indonesia plans Bill to
redenominate rupiah, potentially slashing zeros from currency.” CNA menilai PMK
No. 70/2025 menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah kini benar-benar serius
mengkaji kembali implementasi redenominasi.
Menurut
CNA, Bank Indonesia sejak 2023 sudah menyatakan siap melaksanakan redenominasi,
asalkan kondisi makroekonomi, stabilitas keuangan, dan situasi sosial-politik
berada dalam kondisi kondusif.
CNA
juga menekankan bahwa redenominasi bukan devaluasi, dan tidak akan memengaruhi
daya beli masyarakat. Namun, media itu mengingatkan bahwa sebagian warga
Indonesia mungkin masih berhati-hati karena pengalaman masa lalu dengan inflasi
tinggi dan krisis moneter.
Media
lain, Scoop asal Malaysia, melihat isu ini dari sisi sosial dan simbolik dalam
artikelnya “Say goodbye to ‘millionaires’: Indonesia to remove zeros from
rupiah bills.” Scoop menulis bahwa setelah redenominasi, masyarakat
asing—terutama dari Malaysia—tidak lagi akan merasa seperti “jutawan instan”
saat menukar ringgit ke rupiah.
Media
itu memandang kebijakan ini dapat mengubah persepsi internasional terhadap mata
uang Indonesia, menjadikannya lebih realistis dan mudah dipahami dalam
transaksi lintas negara.
Lebih
jauh, Scoop mengutip pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo yang
menegaskan bahwa pelaksanaan redenominasi harus dilakukan dengan hati-hati,
mempertimbangkan stabilitas ekonomi dan politik.
Pernyataan
serupa juga disampaikan oleh Mirza Adityaswara, mantan Deputi Gubernur BI, yang
memperkirakan bahwa proses redenominasi penuh bisa memakan waktu hingga satu
dekade, mengingat perlunya edukasi publik secara masif.
Secara
teori, redenominasi dapat membawa beberapa manfaat nyata bagi perekonomian.
Pertama, meningkatkan efisiensi transaksi dan akuntansi karena penyederhanaan
nominal akan mempermudah sistem pembukuan, kasir, dan perhitungan harga barang.
Kedua,
meningkatkan citra dan kredibilitas rupiah, khususnya dalam perdagangan
internasional. Negara dengan mata uang ber-nominal besar sering kali dianggap
memiliki nilai tukar yang lemah, meskipun tidak selalu demikian.
Ketiga,
redenominasi juga dapat memudahkan transisi digitalisasi keuangan, karena
penyederhanaan angka mempermudah integrasi sistem keuangan modern, termasuk
dalam sektor perbankan, pajak, dan e-commerce.
Namun,
tantangan utama terletak pada edukasi dan persepsi masyarakat. Tanpa
sosialisasi yang memadai, publik dapat salah paham dan mengira redenominasi
berarti pemotongan nilai uang.
Ketakutan
terhadap inflasi, krisis, dan sanering masa lalu bisa memunculkan resistensi
sosial. Oleh karena itu, pemerintah dan Bank Indonesia perlu melakukan kampanye
komunikasi publik yang intensif dan transparan.
Selain
itu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa kondisi makroekonomi tetap stabil —
inflasi terkendali, pertumbuhan ekonomi positif, dan nilai tukar stabil —
sebelum kebijakan ini diterapkan. Pengalaman negara-negara lain seperti Turki
dan Rusia menunjukkan bahwa redenominasi hanya berhasil bila dilaksanakan di
saat ekonomi kuat dan kepercayaan publik tinggi.
Momentum
dan Harapan Baru bagi Rupiah
Wacana
redenominasi rupiah di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa
menandai babak baru dalam reformasi moneter Indonesia. Setelah lebih dari satu
dekade tertunda, kebijakan ini kini kembali muncul dengan landasan strategis
dan kehati-hatian yang lebih matang.
Jika
terealisasi sesuai target 2026–2027, redenominasi akan menjadi simbol
transformasi ekonomi nasional — bukan hanya soal menghapus nol pada uang
kertas, tetapi tentang penataan ulang cara bangsa memandang nilai, efisiensi,
dan kredibilitas rupiah.
Namun,
kesuksesan kebijakan ini sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, Bank
Indonesia, pelaku ekonomi, dan masyarakat. Tanpa kesiapan sosial dan ekonomi
yang menyeluruh, redenominasi bisa berubah dari peluang menjadi beban
psikologis nasional.
Dalam
konteks global yang semakin kompetitif, redenominasi dapat menjadi strategi
jangka panjang untuk memperkuat citra rupiah sebagai mata uang yang modern,
efisien, dan berdaulat. Waktu akan membuktikan apakah langkah ini akan menjadi
reformasi historis seperti yang diharapkan atau sekadar wacana yang kembali
tertunda.
#Akuair-Ampenan,
13 Nopember 2025
