Yang Unik dan Menarik dari Pasar Allu’ Jeneponto


UNIK. Ada yang unik dan menarik saat kita berkunjung ke Pasar Tradisional Allu’, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu pasar ini hanya beroperasi sekitar lima-enam jam per hari. Aktivitas dimulai sekitar pukul 06.00 Wita hingga sekitar pukul 11.00 Wita. (Foto: Asnawin Aminuddin)




--------


Yang Unik dan Menarik dari Pasar Allu’ Jeneponto


Ada yang unik dan menarik saat kita berkunjung ke Pasar Tradisional Allu’, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu pasar ini hanya beroperasi sekitar lima-enam jam per hari.

Aktivitas di Pasar Allu’ dimulai sekitar pukul 06.00 Wita hingga sekitar pukul 11.00 Wita. Sebagian pedagang sebenarnya sudah datang saat dinihari, terutama pedagang yang datang dari daerah tetangga (Kabupaten Takalar) dan beberapa daerah lain, tetapi suasana ramai baru benar-benar terasa pada sekitar pukul 06.00 Wita.

Para pedagang di pasar ini terbagi atas pedagang dalam dan pedagang luar. Pedagang dalam adalah pedagang yang memiliki gardu, kios, lods, atau lapak di dalam pasar, sedangkan pedagang luar adalah pedagang kaki lima yang berjualan di tempat parkir bagian depan pasar.

Pedagang dalam, terutama yang berjualan pakaian, emas, dan barang campuran, sebagian masih berjualan hingga sekitar pukul 13.00 Wita, sedangkan pedagang luar umumnya sudah meninggalkan pasar sekitar pukul 11.00 Wita.

Selain pedagang dalam dan pedagang luar, juga masih ada puluhan toko dan kios permanen atau semipermanen di sekitar area Pasar Allu’. Toko dan kios tersebut adalah milik warga setempat yang memang menetap di sekitar Pasar Allu’.

“Tidak ada penjual di dalam pasar ini yang dominan atau besar omzetnya. Kalau pun ada yang sedikit lebih besar omzetnya, itu mungkin hanya penjual emas. Kalau di luar pasar, ada beberapa pedagang besar. Omzet saya hanya sekitar Rp1 juta sampai Rp2 juta per hari,” kata Idul Daeng Sibali, salah seorang pedagang yang menjual lampu, jam dinding, jam tangan, dan barang-barang elektronik, kepada penulis saat berkunjung ke Pasar Allu, Kamis, 3 April 2014.

Sebagai pasar tradisional, barang-barang dagangan yang dijual di pasar ini umumnya adalah barang-barang dan makanan keperluan sehari-hari. Tidak ada komoditas tertentu yang menonjol di pasar ini.

Pengunjung pasar juga umumnya warga yang bermukim di Kecamatan Bangkala dan sekitarnya. Para pengunjung tersebut ada yang berbelanja untuk keperluan konsumsi, tetapi ada juga pengunjung yang datang berbelanja untuk dijual kembali.

“Saya hampir setiap hari berbelanja untuk keperluan sehari-hari di pasar ini,” ungkap Roha’ (30).

Ibu rumah tangga ini mengaku memilih berbelanja di Pasar Allu’ karena jaraknya paling dekat dibandingkan pasar lain dan harga barang-barang pun dianggapnya relatif murah.

Lain lagi yang dikatakan Lia (36). Wanita ini mengaku berbelanja di Pasar Allu untuk mengisi kiosnya.

“Saya beli barang-barang di pasar ini untuk saya jual kembali pada kios yang ada di rumah saya,” katanya.

Minim Pemasukan

Hal unik lain di Pasar Allu’ yang luasnya kurang dari satu hektar, yaitu minimnya pajak retribusi yang terkumpul setiap harinya.

“Kami diberi target pemasukan Rp 350.000 per hari, tetapi target tersebut sering tidak tercapai,” ungkap Kepala Pasar Allu’, Andi Ahmad Yani Mustamu.


------------
Kepala Pasar Allu’, Andi Ahmad Yani Mustamu, yang akrab disapa Karaeng Baso. (Foto: Asnawin Aminuddin)
-------------


Karaeng Baso–panggilan hormat masyarakat kepada Andi Ahmad Yani Mustamu–mengatakan, target pemasukan tersebut sering tidak tercapai karena biaya retribusi hanya Rp1.000 per atau Rp2.000 per pedagang.

Dengan jumlah pedagang sekitar 300 hingga 400 orang per hari, maka seharusnya bisa diperoleh pemasukan Rp650.000 hingga Rp800.000 per hari. Jumlah tersebut masih ditambah lagi dengan sewa kios dan lods sebesar Rp10.000 sampai Rp15.000 per bulan per kios/lods.

“Memang betul begitu, tetapi pemasukan itulah juga yang kami gunakan untuk membayar honor harian para penagih, membayar biaya pengangkutan bak sampah sebesar Rp 80.000 untuk satu kali angkut, bayar listrik, dan lain-lain,” urai Karaeng Baso.

Secara resmi, hanya Karaeng Baso satu-satunya pegawai negeri sipil dan juga satu-satunya pengelola Pasar Allu’, sedangkan tiga orang lainnya adalah tenaga honorer yang diberi tugas sebagai penagih pajak retribusi sekaligus sebagai tenaga keamanan.

“Bulan Maret lalu, saya menyetor Rp5 juta ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Jumlah itu sudah meningkat dibandingkan setoran bulan-bulan sebelumnya,” papar Karaeng Baso yang baru sekitar dua bulan menjabat Kepala Pasar Allu’.

Pria berusia 51 tahun ini mengaku tengah melobi Pemkab Jeneponto agar menaikkan pajak retribusi, agar pemasukan bisa meningkat dan agar pengelolaan pasar dapat dioptimalkan.

Sejauh ini, hanya dua fasilitas umum yang ada pada pasar yang resmi beroperasi sejak tahun 1971, yaitu sebuah mushallah dan delapan toilet.

Selain itu, Pemkab Jeneponto baru saja selesai merampungkan pembangunan 23 kios/lods, tetapi hingga tulisan ini dibuat pada pekan pertama April 2014, bangunan kios/lods baru tersebut belum diresmikan.

“Pasar Allu’ ini pernah habis terbakar pada tahun 2011 dan barulah tahun 2014 ini dibuat bangunan baru yang terdiri atas 23 lods dan 8 toilet,” ungkap Karaeng Baso.

Kendaraan Bendi Laris Manis

Hal lain yang unik dan menarik di Pasar Allu’ Jeneponto adalah bendi atau dokar. Kereta  beroda dua yang ditarik oleh kuda itu sudah jarang kita lihat di jalan raya, apalagi di kota-kota besar, tetapi di Kabupaten Jeneponto, bendi masih laris manis sebagai kendaraan umum alternatif bagi masyarakat setempat.


-------
Jika berkunjung ke Pasar Tradisional Allu’, maka kita akan dengan mudah melihat sejumlah bendi berseliweran. Bendi sebagai kendaraan umum tradisional, masih mampu bertahan di tengah persaingan dengan pete’-pete’, sebutan terhadap angkutan kota atau angkot di Jeneponto dan di Sulawesi Selatan pada umumnya. (Foto: Asnawin Aminuddin)
---------


Jika berkunjung ke Pasar Tradisional Allu’, maka kita akan dengan mudah melihat sejumlah bendi berseliweran. Bendi sebagai kendaraan umum tradisional, masih mampu bertahan di tengah persaingan dengan pete’-pete’ (sebutan terhadap angkutan kota atau angkot di Jeneponto dan di Sulawesi Selatan pada umumnya).

Itulah salah satu ciri khas sekaligus pemandangan unik dan menarik saat kita berkunjung ke Pasar Tradisional Allu’ Jeneponto.

Bendi-bendi tersebut selain mengangkut para pengunjung pasar, juga mengangkut para pedagang dengan barang-barang dagangannya, terutama dari daerah sekitar yang tidak terjangkau angkutan kota.

Ongkos naik bendi juga relatif sangat murah, yaitu antara Rp2.000 per orang (untuk jarak dekat) hingga Rp5.000 per orang (untuk jarak jauh). Satu bendi bisa mengangkut satu hingga tujuh orang.

“Mungkin ada sekitar 100 bendi yang masuk keluar setiap hari,” kata Syamsul Bahri (43 tahun), salah seorang supir bendi. (Asnawin Aminuddin)


prolima_communication

Lahir dan besar di Bulukumba, kota berjuluk Butta Panrita Lopi, saya kemudian melanjutkan kuliah di Makassar dan hingga kini menetap di Makassar. Sejak SD memang senang membaca dan menulis, lalu kemudian terdampar di dunia wartawan. Melalui blog ini, saya ingin lebih banyak dan lebih bebas berbagi untuk kebaikan dan kemaslahatan.

1 Komentar

  1. Keren banget masih ada ya pasar tradisional kayak gini, tapi sayang karena kurangnya pengelolaan yang baik jadi pada kalah sama super-market yang gede-gede. Untungnya masyarakat lokal masih belanja disini, semoga untung dan enteng rezeki semua pedagangnya..

    Aamiin..

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama