Shalat Lohor di Masjid Muhammadiyah Bulukumba, Membaca Khittah KH Ahmad Dahlan


KHITTAH. Foto KH Ahmad Dahlan yang terbingkai dan digantung di sisi kanan ruang shalat Masjid Muhammadiyah Bulukumba. Di foto itu tertulis, KHITTAH KH. AHMAD DAHLAN (Pendiri Muhammadiyah). Foto ini diabadikan, Ahad, 04 Agustus 2019. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)




----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 04 Agustus 2019


Shalat Lohor di Masjid Muhammadiyah Bulukumba, Membaca Khittah KH Ahmad Dahlan



Ahad, 04 Agustus 2019, saya shalat subuh dan juga shalat lohor di Masjid Muhammadiyah Bulukumba. Masjid ini terletak di Jalan M. Sirfin, kurang lebih 100 meter dari Kantor Bupati Bulukumba.


Saat mengetik tulisan ini, saya duduk di bangku panjang ada di teras pintu utama Masjid Muhammadiyah, dan pandangan mata saya selalu tertuju ke sisi kanan Kantor Bupati Bulukumba.

Sejak lebaran Idul Fitri 1440 H, pada 05 Juni 2019, baru kali ini saya datang lagi ke Bulukumba, dan setiap datang, saya selalu menyempatkan diri shalat berjamaah di Masjid Muhammadiyah Bulukumba.

Ternyata ada semacam rutinitas baru di Masjid Muhammadiyah Bulukumba, yaitu setiap Ahad subuh diadakan pengajian (ceramah agama) dan setelah itu dilanjutkan dengan sarapan kue dan air minum (air kemasan gelas plastik).

“Ini sudah pekan ketiga,” jelas salah seorang jamaah menjawab pertanyaan saya.


Siangnya, sesudah shalat lohor, saya iseng-iseng melihat foto KH Ahmad Dahlan yang terbingkai dan digantung di sisi kanan ruang shalat masjid.

Di foto itu tertulis, KHITTAH KH. AHMAD DAHLAN (Pendiri Muhammadiyah).

Ada enam butir Khittah KH Ahmad Dahlan, yaitu (1) Tidak menduakan Muhammadiyah dengan organisasi lain, (2) Tidak dendam, tidak marah, dan tidak sakit hati jika dicela dan dikritik, (3) Tidak sombong dan tidak besar hati jika menerima pujian, (4) Tidak Jubria (ujub, kibir, dan riya), (5) Mengorbankan harta benda, pikiran dan tenaga dengan hati ikhlas dan murni, serta (6) Bersungguh hati terhadap pendirian.
Saya kemudian membuka Kamus Besar Bahasan Indonesia (KBBI) Daring Kemendikbud RI (https://kbbi.kemdikbud.go.id/) untuk mencari arti kata Khittah, dan ternyata belum masuk dalam kamus tersebut.

Karena penasaran, saya berselancar di internet dan menemukan dalam satu website yang menjelaskan bahwa kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis dan merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan).

Di website lain, seorang wartawan bernama Bani Saksono, menjelaskan bahwa secara etimologis, kata khittah berasal dari bahasa Arab yang berarti rencana, jalan, atau garis Itu tertera dalam kamus Al-Munawwir.

Khittah dapat diartikan sebagai rencana, jalan, atau garis perjuangan dalam mewujudkan misi dan cita-citanya.

Istilah khittah, katanya, banyak dijumpai di kalangan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, seperti Mhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

Bani menambahkan, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1932 yang khittahnya adalah untuk memerangi umat Islam dari perbuatan yang menjurus pada bid’ah, syirik, dan khurafat.

“Artinya, Muhammadiyah kembali ke khittahnya, maka Muhammadiyah kembali ke ajaran Islam seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW,” jelas Bani Saksono.

------
Baca juga:

Proses Islamisasi Raja dan Masyarakat di Sulawesi Selatan

------

Saya lalu membuka Anggaran Dasar Muhammadiyah dan pada Pasal 6, Maksud dan Tujuan, disebutkan bahwa “Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”

Setelah membaca Khittah KH Ahmad Dahlan dan menghubungkannya dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah, maka saya berkesimpulan bahwa KH Ahmad Dahlan memiliki cita-cita suci berjuang menegakkan agama Islam melalui organisasi Muhammadiyah.

Melalui enam butir khittahnya, KH Ahmad Dahlan juga meminta para pengurus dan kader Muhammadiyah agar menjaga citra diri masing-masing dan citra organisasi Muhammadiyah dengan merujuk kepada enam butir khittahnya.

Dan untuk mengingat Khittah tersebut, saya sekali lagi menuliskannya, yaitu (1) Tidak menduakan Muhammadiyah dengan organisasi lain, (2) Tidak dendam, tidak marah, dan tidak sakit hati jika dicela dan dikritik, (3) Tidak sombong dan tidak besar hati jika menerima pujian, (4) Tidak Jubria (ujub, kibir, dan riya), (5) Mengorbankan harta benda, pikiran dan tenaga dengan hati ikhlas dan murni, serta (6) Bersungguh hati terhadap pendirian. (Asnawin Aminuddin / Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel)

------
Baca juga:

Sulawesi Selatan Menjelang Kehadiran Muhammadiyah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama