Sahban Liba: Dari Desa ke Kota Kembali ke Desa


KEMBALI KE DESA. Sejarah hidup Sahban bukan saja suatu perjalanan melintasi waktu, melainkan juga melintasi ruang yang sangat luas. Berawal dari sebuah desa di Sulawesi Selatan, lalu hijrah ke Makassar, kemudian berlayar ke Surabaya, ke Malang, lalu Banyuwangi, Jakarta, hingga ke negara-negara di belahan bumi lain. Anak-anaknya pun semuanya lahir di Jakarta, tetapi pada saatnya, ia harus beristirahat dan melepaskan beban rindu yang menumpuk dan kembali ke kampung halaman. 

 
------

PEDOMAN KARYA
Kamis, 24 Oktober 2019


Biografi Sahban Liba (35):


Dari Desa ke Kota Kembali ke Desa


Penulis: Hernita Sahban Liba

Poin ke-8 dari 12 Mutiara Pemikiran Hidup Sahban, yaitu berbuat baik kepada orangtua. Sahban sangat menghargai orangtuanya. Sejak kecil ia telah mengikuti keinginan orangtuanya. Ia pergi mengaji ke lokasi yang jauh, ia mengambil makanan untuk kudanya, mengikuti orangtuanya ke pasar, dan sebagainya. Ketika dewasa, ia menuruti keinginan ibunya untuk hanya memilih istri yang diizinkannya.

Ia selalu ingat untuk membacakan Surah Al-Fatihah untuk kedua orangtuanya semenjak sang ibu berpesan agar dibacakan Al-Fatihah setiap selesai shalat. Pesan ini diberikan kepadanya saat ia akan berlayar untuk pertama kalinya ke Surabaya.

Pada awalnya, Sahban kaget karena biasanya, Al-Fatihah diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia, tetapi ia kemudian berpikir bahwa tidak ada larangan untuk membacakan Surah Al-Fatihah  untuk orang yang masih hidup. Lagi pula, Surah Al-Fatihah merupakan doa.

Walau demikian, setelah lama ia baru menyadari bahwa tujuan orangtuanya meminta hal tersebut bukanlah agar mereka terus didoakan. Tujuan orangtuanya meminta dibacakan Surah Al-Fatihah adalah agar terus diingat.

Dengan membaca Surah Al-Fatihah setiap selesai shalat fardhu, Sahban mengingat kedua orangtuanya minimal lima kali sehari. Dan ini akan terus berlangsung bahkan setelah kedua orangtuanya meninggal.

Hal ini diteruskannya kepada anak-anaknya. Sebagai penguat, ia mendorong anak-anaknya untuk menghapal ayat mengenai orang tua. Ayat ini adalah Surah Al-Isra’, ayat 23 : Wa qadaa Rabbuka allaa ta'budooo illaaa iyyaahu wa bilwaalidaini ihsaanaa; immaa yablughanna ‘indakal kibara ahaduhumaaa aw kilaahumaa falaa taqul lahumaaa uffinw wa laa tanharhumaa wa qullahumaa qawlan kareemaa.

Artinya, Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya, dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orangtua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di sisimu, maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya.

Ajaran ini merupakan ajaran yang sangat relevan dengan kehidupan modern sekarang. Berbagai kemungkinan perilaku yang muncul pada diri seseorang akibat banyaknya pilihan hidup dapat menimbulkan konflik antara anak dan orang tua. Hal ini akan berakibat pada ketidakharmonisan kehidupan berkeluarga.

Walau bagaimanapun, setiap orang memiliki identitas yang dibangun oleh orangtuanya saat ia kecil. Karenanya, siapapun yang merasakan dirinya sebagai orang penting, ia harus berterima kasih pada orangtuanya.

Perbedaan mungkin terjadi, tetapi jangan sampai perbedaan ini membuat sang anak, walaupun telah berusia dewasa dan menikah hingga memiliki anak sendiri, anak bersikap tidak baik kepada orangtuanya. Hal ini terlebih lagi jika sang orangtua telah berusia lanjut dan menggantungkan hidupnya kepada anaknya.

Kembali ke Desa

Poin ke-9 dari 12 Mutiara Pemikiran Hidup Sahban, yaitu Dari Desa ke Kota Kembali ke Desa. Sejarah hidup Sahban bukan saja suatu perjalanan melintasi waktu, melainkan juga melintasi ruang yang sangat luas.

Berawal dari sebuah desa di Sulawesi Selatan, lalu hijrah ke Makassar, kemudian berlayar ke Surabaya, ke Malang, lalu Banyuwangi, Jakarta, hingga ke negara-negara di belahan bumi lain. Anak-anaknya pun semuanya lahir di Jakarta, tetapi pada saatnya, ia harus beristirahat dan melepaskan beban rindu yang menumpuk dan kembali ke kampung halaman.

Namun Sahban kembali ke desa tidak sekadar kembali. Ia kembali dengan tekad untuk membangun kampung halamannya. Ia telah dipenuhi dengan bekal ilmu dan materi, bahkan sebelum kembali ke kampungnya, Sahban telah melepas rindu dengan cara lain.

Sahban menjabat sebagai Ketua Hikmah (Himpunan Keluarga Massenrempulu) Sulsel selama 10 tahun di Jakarta. Ia telah menyelenggarakan beberapa kali pertemuan nasional Hikmah. Satu tujuannya, agar daerah asal mereka jangan sampai ketinggalan dari daerah lainnya.

Demikianlah, suatu kehidupan yang sempurna bagi Sahban adalah dengan menjalani siklus dari desa ke kota dan kembali ke desa untuk menjadikan kemajuan bagi desa. Ia tidak ingin agar anak-anak yang lahir dan hidup di desanya saat ini, mengalami apa yang ia rasakan saat ia masih anak-anak.

Memang mungkin hidupnya yang keras di masa kecil berkontribusi pada kesuksesannya di masa kini, tetapi ada banyak faktor lain sepanjang hidup yang membentuk kesuksesannya, lebih dari sekadar masa kecil.

Banyak anak yang hidup dengan kondisi yang sama seperti dirinya di masa kecil tetapi mereka tidak berhasil menjalani hidup dan meraih kesuksesan karena berbagai halangan, termasuk kemiskinan struktural.

Sahban istimewa, sebuah kasus khusus. Idealnya, semua anak tersebut dapat menjalani hidup dengan lebih baik. Hal ini dapat dicapai jika mereka mulai dari titik awal yang lebih baik. Titik awal yang lebih baik akan memberikan peluang kesuksesan yang lebih baik pula.

Di masa kini, banyak para perantau memutuskan untuk tidak lagi pernah kembali ke kampung halaman yang penuh keterbatasan. Banyak yang telah merasa puas dengan kehidupan modern yang penuh fasilitas. Akibatnya, desa semakin tertinggal. Desa kehilangan orang-orang yang dapat membangunnya, karena orang-orang ini pergi ke kota dan tak pernah kembali.

Kesenjangan ekonomi yang terlalu tajam antara kota dan desa dapat meningkatkan keresahan sosial dan menimbulkan banyak masalah sosial, baik di kota maupun di desa. Memang hal ini sebenarnya sedikit banyak telah menjadi program pemerintah, tetapi pemerintah daerah tetap saja, hanya terdiri dari beberapa orang yang benar-benar peduli.

Mereka yang kembali ke kampung halaman untuk membangun adalah orang yang benar-benar peduli, dan inilah yang sangat dibutuhkan oleh desa. (bersambung)

Editor: Asnawin Aminuddin


--------
Artikel edisi sebelumnya:

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama