Jangan Shalat dalam Keadaan Mabuk atau Junub


Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. Dan jangan pula dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musyafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kamudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). Sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha pema’af lagi Maha Pengampun.” (QS An- Nisa (4): 43)




--------

PEDOMAN KARYA
Senin, 17 Februari 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (21):


Jangan Shalat dalam Keadaan Mabuk atau Junub



Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. Dan jangan pula dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musyafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kamudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). Sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha pema’af lagi Maha Pengampun.” (QS An- Nisa (4): 43)

Terdapat tiga tuntunan pokok dari Allah SWT kepada orang-orang beriman dalam ayat ini, yakni (1) Jangan shalat dalam keadaan mabuk hingga tersadar, (2) Jangan shalat dan atau masuk masjid dalam keadaan junub hingga selesai mandi, dan (3) Bertayammum bagi orang yang mendapat halangan untuk berwudhu dan mandi.

Pertama, jangan shalat dalam keadaan mabuk hingga tersadar kembali. Dari riwayat asbabun nuzul didapatkan keterangan di masa sebelum ada ayat larangan tentang minum khamar, bahwa suatu ketika sahabat Rasulullah Abdurrahman bin Auf membuat makanan untuk Ali bin Abi Thalib dan beberapa orang sahabat.

Dalam hidangan tersebut disediakan antara lain minuman khamar, rupanya minum khamar tersebut menyebabkan terganggunya pikiran mereka. Hingga tiba waktu shalat, lalu ditunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam, dan pada saat itu dia membaca surah Al-Kaafirun dengan keliru.

Terdengar beliau membaca sebagai berikut: Qulya ayyuhal kaafiruwn, la a’budu ma ta’buduwn, wa nahnu na’budu ma ta’buduwn, (Katakanlah wahai orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kalian sembah, dan kami akan menyembah apa yang kalian sembah).

Kondisi shalat seperti ini yang menyebabkan turun ayat ini; wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk,…” dan seterusnya. Ini diriwayatkan oleh para imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An- Nasa’i dan Al-Hakim dimana sanad/sumbernya dari Ali r.a sendiri.

Sebagaimana sudah lumrah dipahami bahwa Ali bin Abi Thalib menerima ajaran Rasulullah SAW yakni tauhid semasa kecil dan dalam perkembangan usianya beliau terkenal cerdas, taat, dan gigih membela Islam (Tauhied), bahkan pernah menggantikan Nabi di pembaringan untuk menjadi objek/tumbal ketika kaum Quraisy hendak membunuh nabi.

Beliau pun tidak pernah tercemar dengan penyembahan behala. Namun dalam shalatnya beliau mengucapkan bacaan, nahnu na’budu ma ta’buduwn” (kami akan menyembah apa yang kalian sembah).

Hal inilah yang dipastikan bahwa beliau membaca dalam keadaan tidak sadar (mabuk) dan pasti tidak mengetahui (menyadari) apa yang diucapkannya. Setelah ayat ini turun, para sahabat sudah mulai menjauhi minuman khamar, terutama sekali ketika waktu shalat sudah dekat.

Tentu hikmah besar dari kejadian ini adalah bahwa ada tersimpan pelajaran bagi generasi kaum muslimin kekinian, dimana Allah SWT melarang melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk hingga orang yang shalat itu dapat memahami (menyadari) apa yang diucapkannya.

Bahkan Rasulullah s.a.w. menganjurkan agar orang yang mengantuk menghindari shalat dan harus menghilangkan ngantuknya terlebih dahulu (apakah dengan tidur atau aktivitas lain yang dapat menghilangkan ngantuk).

Sebuah hadits dari Anas bin Malik r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Idza na’asa ahadukum wa huwa yushallie, fal yansharif fal yanam hattaa ya’lama maa yaquwl,” (Apabila mengantuk seorang dari kamu, padahal dia shalat, maka berpalinglah dan tidurlah, hingga dia tahu apa yang dia ucapkan).

Isi shalat itu adalah komunikasi dan doa antara Allah SWT dan hamba-Nya. Oleh karena itu, seorang hamba yang shalat haruslah benar-benar sadar dan tahu bahwa dirinya sedang bertutur di hadapan Allah. Sekaligus mengandung makna anjuran agar orang yang shalat itu



membaca apa dia ketahui dari ayat-ayat Al-Quran supaya dapat merasakan apa yang sedang ia tuturkan di hadapan Allah SWT, dan karena itu diapun dapat menikmati makna shalat dan dapat menjadi khusyuk.

Kedua, jangan shalat dan atau masuk masjid dalam keadaan junub hingga selesai mandi. Tuntunan ini mendidik orang-orang yang beriman agar tidak melakukan shalat bila mereka dalam keadaan junub yang biasa juga dikenal berhadats besar (yakni setelah berhubungan intim bagi suami-istri, selesai masa haid dan atau nifas bagi perempuan, atau keluarnya sperma-ovum karena mimpi).

Dalam keadaan seperti ini, seorang hamba Allah tidak boleh shalat atau pun mendekati tempat shalat sebelum bersuci, yakni mandi junub atau sering disebut mandi wajib. Ini yang dapat dipahami dari firman Allah: Dan jangan pula dalam keadaan junub.”

Juga ayat ini menuntun hamba Allah SWT agar tidak mendatangi (masuk) ke dalam masjid dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja --untuk kepentingan sesaat dan tetap menjaga kesucian masjid-- hingga telah bersuci, yakni mandi wajib itu, sebagaimana firman-Nya: terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”

Di sini amat terasa betapa Allah SWT mendidik hamba-Nya agar menjaga kesucian batin agar tidak beribadah dan mendekati tempat ibadah dalam keadaan tidak suci, sekaligus menjaga nilai-nilai kesucian peribadatan maupun tempat-tempat beribadah.

Ketiga, bertayammum bagi orang yang mendapat halangan untuk berwudhu dan mandi. Arti kata tayammum adalah memilih’ atau mencari (QS Al-Baqarah/2: 267).  Ketika memilih atau mencari tanah untuk pengganti wudhu, maka istilah ini menjadi istilah tetap untuk tata cara bertaharah atau bersuci.

Sebagaimana dikemukakan tentang kewajiban mandi bagi –semua-- orang yang berhadats besar dan berwudhu bagi yang berhadats kecil apabila hendak shalat, maka dikecualikan pada empat keadaan bagi seseorang yang terkena keadaan tersebut, yakni (1) kepada orang yang sedang sakit, (2) orang yang sedang musafir, (3) kembali dari tempat-- buang air, dan (4) menyentuh perempuan bagi laki-laki dan sebaliknya.

Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musyafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah meyentuh perempuan.

Menurut penjelasan Sayyid Quthb dalam Fie Zhilalil Quran, dalam semua kondisi tersebut,  baik dalam keadaan yang mewajibkan mandi atau mewajibkan wudhu untuk shalat; kemudian  kamu  tidak mendapatkan air, –atau didapatkan air tapi penggunaannya dapat membahayakan yang bersangkutan, atau tidak diperkenankan menggunakannya-- maka mandi dan wudhu itu dapat diganti dengan tayammum.

Ini sesuai dengan nash ayat: maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” Tanah yang suci (sha’i dan thayyiban) dalam hal ini adalah segala sesuatu yang termasuk jenis tanah yang berupa debu, batu, dan dinding.

Debu apa saja, walaupun debu yang di atas punggung hewan tunggangan (kendaraan), atau di atas tempat tidur yang terdapat padanya debu-debu. Jadi asalkan di sana terdapat debu ketika ditempel di tangan.

Adapun cara melakukan tayammum dengan mengikuti firman Allah SWT yakni: Sapulah mukamu dan tanganmu. Boleh dengan dengan satu kali tepuk lalu ditiup, kemudian diusapkan pada wajah dan kedua tangan, ataupun dua kali tepuk; satu kali untuk diusapkan ke wajah dan tepukan kedua untuk tangan.

Hikmah kemudahan cara dalam bertayammum ini menunjukkan makna kemudahan menjalankan agama yang diperintahkan Allah SWT dalam suatu kondisi tertentu.

Sesungguhnya Allah Maha pema’af lagi Maha Pengampun. Demikianlah Maha Kasih Sayang Allah SWT: kelembutan bagi yang – sedang-- lemah, kelapangan bagi yang –sedang- terbatas, dan pengampunan terhadap adanya kekurangan dalam menunaikan kewajiban kepada-Nya. (bersambung)

----------
Catatan:
Bagi pembaca yang budiman, yang ingin mendalami tata cara melaksanakan thaharah atau bersuci (mandi wajib dan tayammum serta istinja) dapat merujuk pada buku-buku fiqhi yang ada, misalnya FIQHU SUNNAH, Sayyid Sabiq Jilid I, Muhtashar NAILUL AUTHAR, Mu’Ammal Hamidy, dkk. Jilid I, Bulughul Maram bab Kitab Thaharah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) Jilid I bab Kitab Thaharah. dan sumber-sumber lain.

--------
Artikel sebelumnya:

Jangan Memakan Harta Sesama dengan Cara Batil dan Jangan Membunuh

Jangan Mewarisi Wanita dengan Jalan Paksa

Bersabar, Tingkatkan Kesabaran, dan Bersiap-siagalah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama