Kelong Pendidikan Religus: Sambayannu Alle Lipa’, Puasanu Alle Baju

“Sambayannu alle lipa’, puasanu alle baju, nutannakanre bambang pepe’na naraka”. Arti bebasnya, “Jadikanlah shalat sebagai sarungmu, puasa sebagai bajumu, supaya kelak bisa selamat dan terhindar dari pedihnya siksa api neraka.” (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA) 


---------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 02 Mei 2021

 

Kelong Pendidikan Religius (1):

 

 

Sambayannu Alle Lipa’, Puasanu Alle Baju, Nutannakanre Bambang Pepe’na Naraka

 

 

Oleh: Bahaking Rama

(Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin)


Pengantar:

Pada hari ke-11 Ramadhan 1442 Hijriyah, Profesor Bahaking Rama menulis tulisan bersambung dan mengirimkan tulisannya pada salah satu grup WhatsApp (WA) yang kami juga ada di grup itu.

Tulisannya diberi judul “Kelong Pendidikan Religius”. Kami kemudian meminta izin kepada beliau untuk memuatnya di media ini (www.pedomankarya.co.id), dan Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar memberi izin.

Pria kelahiran Jeneponto, 09 Juli 1952, dalam kariernya sebagai dosen, telah menulis banyak karya ilmiah dan beberapa karyanya sudah diterbitkan menjadi buku.

Tulisan yang dilansirnya di grup WA dengan judul “Kelong Pendidikan Relogius”, akan kami muat secara bersambung mulai Ahad, 02 Mei 2021.

*****

 

DALAM sejarah kearifan lokal, orang tua selalu berharap agar anaknya tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang bermakna. Bermakna pada dirinya, bermakna pada orang lain, dan bermakna pada lingkungannya. Anaknya selamat di dunia dan bahagia di akhirat.

Setiap bulan puasa tiba, anak diajarkan pesan leluhur melalui kelong (nyanyian, red);

“Sambayannu alle lipa’, puasanu alle baju, nutannakanre bambang pepe’na naraka”. Arti bebasnya, “Jadikanlah shalat sebagai sarungmu, puasa sebagai bajumu, supaya kelak bisa selamat dan terhindar dari pedihnya siksa api neraka.”

Semoga anak dan generasi muda saat ini masih peduli kelong religius, sebagai media pendidikan.

Tingkat kepedulian yang tinggi dari orang tua, memberi ajakan cerdas pada anaknya supaya anak mencari dan memahami sumber nilai keselamatan hidup dalam dirinya. Ajakan itu tertuang dalam kelong;

“Boyai rikalukua, rikalongkong ta'’genoa, ilalammintu, sike’deka namalla’bang”. Arti bebasnya, “Carilah pada kelapa dan pada jabang buah kelapa muda, di dalamnya terkandung sedikit air suci, namun air yang sedikit itu dapat mensucikan seluruh sendi kehidupan.”

Kelong itu sangat kental makna sufistis. Jabang buah kelapa muda yang mengandung air suci, dianalogikan sebagai “hati” yang tertanam, tergantung kuat dalam dada-jazad setiap manusia.

Orang tua mendidik anaknya supaya memelihara kebersihan dan kesehatan hati. Kalau hati bersih dan sehat, maka akan bersih, sehat, dan selamatlah seluruh jazad dan kehidupan manusia.

Hati dalam dada setiap manusia, ia tergantung-tertempel dan diperkuat oleh akar / urat yang menjalar dan bermuara kepada seluruh dimensi fisik manusia. Urat hati menjalar dan dapat menjangkau otak, tangan, kaki, lidah-mulut, telinga, mata, alat fital, dan lain-lain.

Kalau Hati Sehat-Suci, maka akan sehat-suci, dan selamatlah seluruh jazad-jasmani manusia, tetapi kalau hati sakit, maka akan sakit dan rusaklah seluruh jazad-jasmani manusia. Hati yang sakit-rusak akan merusak sendi kehidupan individu maupun kehidupan sosial di masyarakat, bangsa, dan negara. (bersambung)

-------

Artikel berikutnya:


Kelong Pendidikan Religius (2): Teako Malanre Nikatuwo Kasiasi

Kelong Pendidikan Religius (3): Teaki Lanre Mannyomba, Rikaraeng Mappa’jari

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama