Kepentingan Pragmatis Jangka Pendek di Balik Gagasan Amandemen UUD 1945

Jangan sampai di balik gagasan amandemen UUD 1945, menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang-bangun dan ditetapkan para pendiri negeri 76 tahun yang silam.

- Prof. Haedar Nashir -

(Ketua Umum PP Muhammadiyah)



--------- 

PEDOMAN KARYA

Senin, 06 September 2021

 

Pidato Kebangsaan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (3-habis):

 

 

Kepentingan Pragmatis Jangka Pendek di Balik Gagasan Amandemen UUD 1945

 

 

Oleh: Haedar Nashir

(Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

 

 

Jika ingin menjalankan Pancasila yang moderat, maka strategi membangun dan mengembangkan pemikiran ke-Indonesia-an pun semestinya menempuh jalan moderat atau moderasi, bukan melalui pendekatan kontra-radikal atau deradikalisasi yang ekstrem.

Kontroversial seputar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Survei Lingkungan Belajar (SLB), lomba pidato tentang hukum menghormat bendera, dan pemikiran-pemikiran pro-kontra lainnya, mesti dihindari jika ingin meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lainnya yaitu NKRI, UUD 1945, dan Kebhinnekaan sebagai ideologi jalan tengah yang moderat.

Segala paham radikal-ekstrem tidaklah sejalan dengan Pancasila. Menghadapi paham radikal-ekstrem pun tidak semestinya dengan cara yang radikal-esktrem, karena selain akan melahirkan radikal-ekstrem baru, pada saat yang sama bertentangan dengan jiwa Pancasila.

Pikiran-pikiran “loyalis” maupun “kritis” yang hidup di tubuh bangsa Indonesia seyogyanya mengandung pikiran dan cara-cara yang moderat atau jalan tengah serta tidak berparadigma radikal-ekstrem. Inilah jiwa dan karakter Indonesia berdasarkan Pancasila yang moderat, Indonesia Jalan Tengah! Indonesia Milik Semua

Ernest Renang tahun 1882 menulis, “...bangsa (nation) itu ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk memberi korban itu lagi...yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan secara tegas untuk melanjutkan hidup bersama (le desir de vivre ensemble)...”

Menurut filsuf Perancis yang menjadi rujukan para pendiri bangsa Indonesia seperti Soekarno, Mr, Soenarjo, Mr Mohammad Yamin, bahwa “asas kebangsaan (nasionalitas) itu berbeda dengan ass ras” (Renan, terj.Soenario, 1994).

Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) merupakan jalan tengah atau moderasi dari segala proses dan keragaman.

Menurut Anthony Reid (2018), “Indonesia menjadi titik temu persatuan nasional seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan sebagai era baru yang di era Nusantara berpencar dan menjadi entitas sendiri-sendiri yang tidak mengarah ke persatuan.”

Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 menegaskan, bahwa “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua”. Mohammad Hatta menegaskan pentingnya “kolektivisme” dalam berbangsa dan bernegara.

Dari Dwi-Tunggal pemimpin Indonesia itu maupun dari para pendiri negara yang lainnya, kuat sekali kehendak untuk menjadikan Indonesia milik bersama seluruh rakyat Indonesia.

Jiwa Gotong-royong mendasari bangunan Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan agar tidak ada oligarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki lainnya yang merusak kebersamaan dan menjadikan Indonesia hanya milik sekelompok kecil pihak.

Menurut Mohammad Hatta, ketika para pemimpin rakyat duduk di BPUPKI merumuskan UUD 1945, khususnya dalam bidang ekonomi, terkandung cita-cita “untuk mencapai kemakmuran yang merata”, sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945, yang melahirkan sistem “ekonomi terpimpin.”

Ditegasksn, “Dalam sistem ekonomi terpimpin, pemerintah harus bertindak, supaya tercapai suatu penghidupan sosial yang lebih baik. Penghidupan sosial itu harus berdasarkan keadilan sosial.” (Hatta, 2015).

Di tengah keresahan melebarnya kesenjangan sosial, bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh segelintir pihak, dan menguatnya oligarki politik, maka Indonesia harus dikembalikan kepada jati dirinya sebagai milik semua.

Pemerintah negara wajib hadir dalam melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di negeri ini tidak semestinya berkembang “siapa yang kuat, yang menang” dan menguasai Indonesia dalam hukum Darwinian. Manakala hal itu terjadi, maka Indonesia dapat terpapar “radikalisme-esktrem” bentuk lain, yang tentu saja tidak sejalan dengan Pancasila.

Indonesia wajib hukumnya untuk menjadi milik semua! Karenanya, jiwa Bhinneka Tunggal Ika penting terus digelorakan, bukan hanya untuk menumbuh-kembangkan sikap bersaudara dalam kemajemukan SARA, tetapi juga menegakkan kebersamaan secara politik dan ekonomi. Tujuannya agar tercipta Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kami percaya masih banyak anak bangsa, termasuk para pejabat negara, politisi, dan pengusaha, yang berjiwa luhur untuk terciptanya Indonesia milik bersama!

 

Pengharapan

 

Ketika Indonesia merayakan kemerdekaan ke-76 dengan segala masalah, tantangan, ancaman, dan peluang yang dihadapi, diharapkan pemerintah dan seluruh komponen bangsa menyatukan jiwa, pikiran, dan langkah menuju terwujudnya cita-cita Indonesia merdeka yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Jalan masih panjang dan terjal menuju Indonesia yang diidamkan itu. Keragaman pandangan dan segala bentuk pengelompokan tidak semestinya membuat Indonesia retak dan terpecah-belah.

Di sinilah pentingnya jiwa kenegarawanan seluruh elite dan warga bangsa untuk membawa Indonesia menuju negeri idaman.

Kami percaya masih banyak elite dan warga bangsa yang berhati tulus, baik, jujur, dan terpercaya dalam berbangsa dan bernegara.

Bila masih terdapat saudara-saudara sebangsa yang salah dan khilaf, serta memiliki kehendak yang berlebihan dalam kekuasaan politik dan ekonomi maupun orientasi hidup lainnya, maka masih terbuka jalan kebaikan yang dibukakan Tuhan untuk kembali ke jalan terang dan tercerahkan.

Kuncinya ialah kemauan, ketulusan, kejujuran, dan kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara milik semua. Luruhkan ego diri, kroni, institusi, dan golongan dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara demi masa depan Indonesia yang dicita-citakan para pendiri negara.

Ketika bertumbuh gagasan dan kehendak yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa dan negara, maka berdirilah dalam posisi tengahan dan jauhi jalan ekstrem. Tempuhlah musyawarah untuk mufakat, serta hindari sikap mau menang sendiri.

Tumbuhkan jiwa dan alam pikiran ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, sebagaimana terkandung dalam falsafah Pancasila yang harus diwujudkan di bumi nyata dengan keteladanan. Pancasila yang berkarakter tengahan dan bukan Pancasila yang diradikal-ekstremkan.

Ketika kini tumbuh kembali gagasan amandemen UUD 1945, seyogyanya dipikirkan dengan hikmah-kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan autentik. Belajarlah dari empat kali amandemen di awal reformasi, yang mengandung sejumlah kebaikan, tetapi menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan sebagian jati dirinya yang asli.

Jangan sampai di balik gagasan amandemen ini, menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang-bangun dan ditetapkan para pendiri negeri 76 tahun yang silam.

Di sinilah pentingnya “hikmah kebijaksanaan” para elite negeri di dalam dan di luar pemerintahan dalam membawa bahtera Indonesia menuju pantai idaman. Indonesia yang bukan sekadar raga-fisik, tetapi menurut Mr. Soepomo, Indonesia yang “bernyawa”. Itulah Indonesia Jalan Tengah dan Indonesia Milik Bersama!


-------

Artikel sebelumnya:

Komunisme dan Liberalisme-Sekularisme Tidak Sejalan dengan Pancasila

Masalah-masalah Kebangsaan pada HUT ke-76 Republik Indonesia

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama