Masalah-masalah Kebangsaan pada HUT ke-76 Republik Indonesia

Ketika bangsa Indonesia memperingati 76 tahun kemerdekaan, di tubuh negeri ini masih terdapat sejumlah masalah kebangsaan. Antara lain suasana keterbelahan sesama anak bangsa, masalah “radikalisme-ekstremisme” yang pro-kontra dalam pandangan dan penyikapan, korupsi dan perlakuan terhadap koruptor yang dianggap memanjakan, praktik demokrasi transaksional, kesenjangan sosial, menguatnya oligarki politik dan ekonomi.

Haedar Nashir

(Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)



----------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 04 September 2021


Pidato Kebangsaan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1): 


 

Masalah-masalah Kebangsaan pada HUT ke-76 Republik Indonesia

 

 

Oleh: Haedar Nashir

(Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

 

Pengantar:

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir menyampaikan pidato kebangsaan yang disiarkan secara langsung TvMu Channel, CNN Indonesia, dan streaming di kanal YouTube, Senin, 30 Agustus 2021, mengusung tema “Indonesia Jalan Tengah, Indonesia Milik Bersama.”

Pidato kebangsaan Haedar Nashir tersebut kami muat secara bersambung dengan judul berbeda-beda pada setiap bagian. (Redaksi)

***

 

Judul “Pidato Kebangsaan” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang bekerjasama dengan beberapa PTM, yakni Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan para pihak pada tanggal 30 Agustus 2021 ini ialah “#IndonesiaJalanTengah, #IndonesiaMilikBersama”.

Diksi yang dipakai menggunakan narasi hastag atau tagar dalam literasi media sosial. Harapan utamanya agar sebanyak mungkin para elite dan warga bangsa dapat menjadikan kedua isu penting tersebut sebagai masalah bersama untuk menjadi rujukan bersama!

Ketika bangsa Indonesia memperingati 76 tahun kemerdekaan, di tubuh negeri ini masih terdapat sejumlah masalah kebangsaan. Antara lain suasana keterbelahan sesama anak bangsa, masalah “radikalisme-ekstremisme” yang pro-kontra dalam pandangan dan penyikapan, korupsi dan perlakuan terhadap koruptor yang dianggap memanjakan, praktik demokrasi transaksional, kesenjangan sosial, menguatnya oligarki politik dan ekonomi.

Juga kehadiran media sosial yang memproduksi persoalan-persoalan baru, masalah utang luar negeri dan investasi asing, serta kehidupan kebangsaan yang semakin bebas atau liberal setelah dua dasawarsa reformasi. Secara khusus tentu masalah pandemi Covid19 dengan segala dampaknya yang menambah masalah kebangsaan semakin berat.

Narasi atas masalah-masalah bangsa tersebut tentu tidak mengurangi apresiasi atas kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam kehidupan kebangsaan dari periode ke periode.

Ketika menghadapi masalah-masalah besar tersebut maupun dalam menilai capaian kemajuan, berkembang keragaman pandangan dan orientasi sikap sesuai sudut pandang dan posisi setiap pihak di negeri ini.

Pada situasi yang krusial inilah maka diperlukan refleksi semua pihak bagaimana mengelola perbedaan-perbedaan itu untuk ditemukan titik temu dalam spirit Persatuan Indonesia demi keutuhan dan kelangsungan hidup Indonesia.

 

Indonesia Moderat

 

Kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia saat ini berdiri tegak di atas pondasi kokoh Pancasila. Soekarno memosisikan Pancasila sebagai “philosophische grondslag” atau “Weltanschauung” yaitu sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”

Pancasila yang perumusannya mengalami proses dinamis sejak Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional dari seluruh golongan bangsa Indonesia yang berlatar belakang majemuk menjadi Bhinneka Tunggal Ika.

Menurut sejarawan Furnivall (2009), bangsa majemuk pada dasarnya nonkomplementer laksana “air dan minyak”. Tetapi bangsa Indonesia yang majemuk itu dapat bersatu karena ada nilai yang mempersatukan yaitu Pancasila (Nasikun, 1984).

Konsensus seluruh komponen bangsa untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara.

Peran krusial Ki Bagus Hadikusumo bersama tokoh Islam lain dalam konsensus yang bersejarah itu sangatlah besar, dengan kesediaan melepas “tujuh kata” Piagam Jakarta dikonversi menjadi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Menurut Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, itulah “hadiah terbesar dari umat Islam”.

Muhammadiyah memandang konsensus Pancasila dan berdirinya negara Indonesia yang bersejarah itu sebagai “Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah”. (bersambung)


-----

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama