Buku Puisi Dadakan Kualitas Sastranya Rendah

“Tahun 2022 ini, boleh jadi, ribuan buku kumpulan puisi yang telah diluncurkan oleh berbagai komunitas literasi di seluruh pelosok Tanah Air. Di satu sisi, ini baik sebagai bentuk pemasyarakatan ide melalui karya sastra. Namun, di sisi lain, buku-buku kumpulan puisi tersebut umumnya kurang berkualitas dan menyimpang dari rambu-rambu penulisan kreatif.”

Mahrus Andis -



----- 

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 17 September 2022

 

 

Buku Puisi Dadakan Kualitas Sastranya Rendah

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Kritikus Sastra)

 

Akhir-akhir ini dunia literasi digempur oleh hadirnya buku-buku sastra yang, oleh pengamat, dinilai tidak bermutu, baik dari aspek penggarapan maupun konten moral- edukasinya.

Tahun 2022 ini, boleh jadi, ribuan buku kumpulan puisi yang telah diluncurkan oleh berbagai komunitas literasi di seluruh pelosok Tanah Air. Di satu sisi, ini baik sebagai bentuk pemasyarakatan ide melalui karya sastra. Namun, di sisi lain, buku-buku kumpulan puisi tersebut umumnya kurang berkualitas dan menyimpang dari rambu-rambu penulisan kreatif.

Munculnya ajakan menulis puisi untuk diterbitkan sebagai buku antologi sangat memancing minat para penulis. Tentu hal ini sangat menggembirakan, terutama bagi mereka yang baru belajar membuat puisi dan ingin cepat memiliki buku yang memuat karyanya.

Semangat literasi ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk meraup keuntungan. Para peminat diimbau mengirimkan tulisannya berupa puisi, disertai syarat-syarat tertentu, agar event itu terkesan serius dan berkualitas nasional, bahkan internasional.

Salah satu syaratnya yaitu para penulis diminta agar menyetor uang kontribusi untuk membantu biaya penerbitan. Dan sebagai imbalan, peserta mendapatkan masing-masing 1 (satu) buah buku yang di dalamnya memuat puisi para penulis itu sendiri.

Tidak hanya sampai di situ, para penulis dijanjikan akan diundang oleh penyelenggara untuk hadir dalam acara peluncuran buku antologi puisi tersebut.

Luar biasa. Ini suatu strategi transaksi literasi yang bisa membuat tebal kantong penyelenggara event, tentu termasuk di antaranya mereka yang terlibat dalam penerbitan buku, baik yang berjasa menulis Kata Pengantar, kurator maupun distributor.

Sebentuk fenomena dalam dinamika literasi nasional. Dan, fenomena ini menjadi referensi diskusi di Grup WhatsApp (WA) Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT) Makassar, Jumat, 16 September 2022.

Idwar Anwar, sering disapa Om Edo, menyatakan ketidaksukaannya terhadap cara-cara berliterasi gaya seperti itu. Yang seperti ini sejak dulu dirinya tidak pernah setuju. Tapi banyak juga yang suka, apalagi mereka yang sangat ingin disebut penyair.

“Entah sejak kapan kelakuan ini muncul dan merebak.”

“Apalagi kalau menjual nama-nama orang terkenal.”

Selanjutnya, tambah Sastrawan asal Palopo yang juga novelis ini, bahwa sangat kasihan mereka yang masuk namanya di buku, tapi kena tipu. Sudah banyak terjadi. 

“Mungkin gejala ini diadopsi dari cara berpikir pedagang,” kata Om Edo.

Sementara, Asnawin Aminuddin, salah seorang wartawan senior dan pengamat seni, mengatakan bahwa perlu ada puisi khusus mengenai ini. Perlu puisi disertifikasi. Seperti halnya wartawan, diceramahi 1(satu) hari, baru dikasih sertifikat.

Lain halnya Muhammad Amir Jaya, penyair dan penulis novel “Samiri”. Ia hanya menanggapi fenomena ini dengan mengirim stiker yang mengekspresikan perasaan malu-malu sedih. Boleh jadi, Amir Jaya juga merasa prihatin menyaksikan betapa mudah para penulis dihipnotis mengikuti event sastra untuk kemudian diminta membeli bukunya sendiri.

Sebenarnya diskusi lewat WA ini cukup menarik. Banyak hal yang bakal muncul di meja solusi, khususnya menyangkut rendahnya kualitas buku-buku sastra, terutama antologi puisi yang diproduksi melalui kegiatan lomba dan penerbitan dadakan oleh komunitas literasi di seluruh Indonesia. ***

 

Bulukumba, 16 September 2022

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama