Das Sein & Das Sollen Politik Kekuasaan Kontradiktif

Jika kita cermati arah kebijakan politik dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan di Indonesia, sepertinya penguasa menganut dan berpedoman pada ajaran Niccolo Machiavelli dalam buku “II Principe”, yaitu seorang raja harus dapat menjadi binatang, yang merupakan kancil dan singa sekaligus. 

- Achmad Ramli Karim -
 



-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 18 Februari 2023

 

 

Das Sein & Das Sollen Politik Kekuasaan Kontradiktif

 

 

Oleh: Achmad Ramli Karim

(Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan)

 

----------

Das Sein dan Das Sollen pada hakekatnya dua istilah yang sama-sama diambil dari bahasa Jerman, meskipun makna di antara keduanya berbeda akan tetapi saling terkait satu sama lainnya.

Dimana “das sein” ini lebih mengacu pada suatu peristiwa konkret yang terjadi di dalam masyarakat, sedangkan “das sollen” mengacu pada peraturan hukum yang bersifat umum atau bisa juga dikatakan sebagai hal-hal yang dicita-citakan, dikehendaki, atau diharapkan terjadi meskipun belum juga terjadi. Hal ini bertolak dari pengertian kedua istilah tersebut.

Objek kajian sosiologi terkait dengan “das sein” dan “das sollen” hakekatnya mengacu pada ekspresi kesenjangan sosial antara kenyataan (fakta) yang terjadi dalam masyarakat, dengan harapan yang diinginkan.

Disini sangatlah jelas jikalau “das sein” adalah realitas sosial yang terjadi, sedangkan “das sollen” adalah apa yang dikehendaki yang seharusnya dilakukan. Dengan kata lain, “apa itu dan apa yang seharusnya”.

Sudah betul jika ada pertanyaan tentang das sein dan das sollen dalam mogen, bisa diartikan sebagai boleh atau kebolehan, akan tetapi harus sesuai dengan norma dan kaidah sosial yang berlaku (kehendak masyarakat).

Atau dengan kata lain mogen ialah, segala sesuatu yang memperbolehkan kita untuk berpikir atau bertindak dengan cara tertentu dalam menghadapi masalah tertentu pula. Akan tetapi tidak boleh melanggar norma dan kaidah sosial tersebut, apalagi mengutamakan kepentingan kelompok tertentu dan merugikan kepentingan umum (publik). Karena jika hal ini terjadi, adalah bentuk pelanggaran norma sosial dan norma hukum.

Demikian juga kaitannya dengan kedaulatan politik rakyat, dimana setiap stakeholder politik khususnya pimpinan parpol dan anggota legislatif, harus mampu memahami makna kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum sebagaimana termaktub dalam amandemen UUD 1945, pada Pasal 1 yang berbunyi; (1). Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Repoblik, (2). Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, (3). Negara Indonesia adalah negara hukum.

Dimana Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut kedaulatan rakyat, sedangkan kedaulatan rakyat merupakan konsep politik yang mengacu pada rakyat sebagai pihak yang memiliki kekuasaan tertinggi, dan bukan pada pimpinan parpol atau fraksi-fraksi DPR sebagai perpanjangan tangan parpol di legislatif.

Oleh sebab itu, merancang instrumen hukum guna melindungi kepentingan kelompok adalah bentuk penghianatan kedaulatan rakyat, karena tidak sesuai dengan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Upaya merancang instrumen hukum yang merugikan kepentingan umum demi melindungi kepentingan kelompok, adalah faktor utama terjadinya kesenjangan sosial. Karena antara das sein dan das sollen politik tidak sejalan. Dengan kata lain jauh panggang dari api.

Jika kita cermati arah kebijakan politik dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan di Indonesia, sepertinya penguasa menganut dan berpedoman pada ajaran Niccolo Machiavelli dalam buku “II Principe”, yaitu seorang raja harus dapat menjadi binatang, yang merupakan kancil dan singa sekaligus.

Merupakan kancil supaya ia tidak terjerat dalam jaring-jaring orang lain, dan merupakan singa supaya ia tidak gentar menghadapi raungan singa. Demikianlah antara lain kata-kata Niccolo Machiavelli dalam bukunya ll Principe, artinya sang raja atau buku pelajaran untuk sang raja.

Dalam buku tersebut dijelaskan tentang pedoman dan tuntunan bagi sang raja dalam menjalankan pemerintahannya. Adapun inti dari ajaran Machiavelli tentang tujuan negara adalah mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan, dan ketentraman.

Dan untuk mencapai tujuan tersebut, “seorang raja harus mempunyai kekuasaan yang absolute” dan negara harus mengejar tujuan dan kepentingannya dengan cara-cara yang paling tepat, bahkan bila perlu dengan cara yang sangat licik sekalipun.

Untuk itu, ajaran Machiavelli menekankan perlunya dilepaskan pemikiran-pemikiran moral dan kesusilaan dalam konteks asas-asas bernegara. Pemikiran dan ajaran Machiavelli ini, sangat kontradiktif dengan asas-asas ketatanegaraan Indonesia yang menganut sistem “Demokrasi Pancasila” yang menjunjung tinggi nilai-nilai spritual (Ketuhanan YME), norma moral dan norma sosial.

 

Apakah anda manusia kontradiktif?

 

Manusia kontradiktif adalah orang-orang yang menginginkan sesuatu hal yang diucapkan, tetapi melakukan hal lain yang berlawanan ucapannya.

Meskipun Presiden sebagai pemimpin pemerintahan dan kepala negara, namun rakyat tetap menjadi penguasa tertinggi dalam sistem demokrasi. Konsep kedaulatan rakyat tidak hanya dianut oleh negara Indonesia, tetapi banyak negara yang menganut sistem demokrasi yang menempatkan rakyat pada hierarki kekuasaan tertinggi.

Karena negara kita menganut sistem demokrasi Pancasila, maka seharusnya penyelesaian setiap isu politik mutlak berdasarkan suara dan kehendak rakyat banyak (publik), bukan berdasarkan aspirasi yang mengatas-namakan rakyat. Seperti mempolitisir dan menjadikan para Kades sebagai kuda tunggangan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Salah satu contoh implementasi kedaulatan rakyat adalah proses pemilihan umum (Pemilu) yang dilakukan untuk memilih pemimpin negara hingga pemilihan Kepala Daerah.

Selain itu, kedaulatan rakyat juga dapat diwujudkan dengan memberikan ruang demokrasi langsung kepada rakyat untuk menyuarakan pendapat dan hak-haknya. Permasalahan kedaulatan rakyat yang sekarang terangkat kepermukaan adalah terjadinya penundaan Pemilukada secara langsung oleh rakyat baik pemilihan Gubernur, Bupati/walikota, maupun Pilkades di seluruh wilayah Indonesia.

Kemudian pemerintah dalam hal ini Mendagri mengambil kebijakan publik dengan mengangkat langsung pejabat Gubernur oleh Presiden, sedangkan pejabat Bupati oleh Mendagri. Kebijakan ini ditetapkan sejak 2022 selama masa jabatan kurang lebih 2,5 tahun ke depan.

Muncul pertanyaan apakah kebijakan publik ini sesuai kehendak rakyat, ataukah kehendak kelompok tertentu untuk kepentingan “politik transaksional” dalam rangka melanggengkan kekuasaan?

Secara faktual sudah banyak indikasi dan fenomena yang menunjukkan terjadinya “politik transaksional”, yang bertentangan dengan norma hukum dan norma sosial yang dapat dikategorikan sebagai bentuk kekuasaan absolute dengan mengkhianati kedaulatan rakyat itu sendiri.

Yang seharusnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama oleh kebijakan penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebab mengutamakan kepentingan umum dengan mengesampingkan kepentingan kelompok atau golongan, adalah wujud nasionalisme dan jiwa patriot pancasilais.

Mengamati faktor penyebab carut marutnya penyelenggaraan kekuasaan di Indonesia, salah satunya adalah adanya indikasi transaksi “cinta segi tiga politik”, yaitu perjanjian politik antara penguasa, pimpinan parpol, dan pengusaha (pemilik modal), atau lebih dikenal dengan istilah politik transaksional.

Dan hal tersebut, lebih mengedepankan kepentingan kelompok (oligarki) daripada kepentingan umum. Dan hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pengkhianatan kedaulatan rakyat sekaligus mengkhianati kedaulatan negara. Inilah yang disebut jauh panggan dari api atau antara Das Sein dan Das Sollen politik kekuasaan tidak sejalan (kontradiktif).

Sekarang mari kita amati dan cermati fakta-fakta lain, yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk dan plularisme agama. Yaitu kondisi faktual percaturan politik di Indonesia, yang menganut sistem demokrasi Pancasila.

Menjelang suksesi kepemimpinan nasional melalui pagelaran Pemilu 2024, semakin kencang upaya pembentukan opini publik oleh kelompok tertentu melalui penggiringan isu sentral yang bersifat adu domba.

Seperti isu radikal, politik identitas, dan sebagainya, serta adanya upaya pembunuhan karakter tokoh tertentu, dengan tujuan dan sasaran tidak lain untuk memecah belah umat serta menghindari terbentuknya kekuatan kelompok pada tokoh tertentu yang dianggap lawan saingan yang dapat mengancam serta melemahkan kekuatan kelompoknya.

Padahal di balik isu sentral tersebut, hanya kedok dan strategi untuk membangun opini publik, agar publik merasa takut dan menghindari kelompok tertentu yang menjadi sasaran dari isu sentral tersebut (teror sosial).

Dan lebih parah lagi justeru isu itu sengaja diarahkan kepada kelompok agama tertentu. Sekarang sudah era keterbukaan dimana sistem dan teknologi informasi sudah canggih, sehingga rakyat tidak muda lagi terhasut dan gampang dipecah belah.

Politik pecah belah, politik adu domba, atau devide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar (Islam) menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan.

Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Dengan kata lain mencegah dan menghindari bersatunya antara ormas-ormas Islam, menjadi satu kekuatan besar (political power).

Apa yang terjadi pada perpecahan internal di tubuh parpol seperti PKS dan Partai Gelora, begitu pula pada PAN dan Partai Ummat, adalah bukti konkret wujud politik pecah belah dan kuasai.

Dampak negatif dari penggiringan isu sentral tersebut, justeru membentuk opini publik terbalik dari sebagian besar rakyat. Yaitu hilangnya kepercayaan publik pada pemimpinnya karena sikap arogansi dan terbawa arus politik pecah bambu, hanya untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu, yang berupaya memecah belah bangsa demi melanggengkan serta melindungi kepetingan bisnis kelompoknya (kapitalisme).

Hilangnya kepercayaan publik pada pemimpinnya, karena pemimpin tidak mampu memperlihatkan integritas dan tanggungjawab moralnya, sebagai pemimpin bangsa yang berdiri tegak di atas kepentingan negara dengan mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan kelompok dan partai.

Demikian juga runtuhnya integritas dan moralitas pejabat publik dan penegak hukum, disebabkan karena diperbolehkanya pendekatan kepentingan dalam menyelesaikan isu politik melalui sistem politik transaksional.

Akibatnya, pejabat publik beserta penegak hukum tidak mampu menempatkan dirinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, karena pengaruh pendekatan kepentingan tersebut. Seperti suburnya gratifikasi, unsur KKN, serta korupsi berjamaah dalam birokrasi pemerintahan dari pusat hingga pemerintah daerah.

Terkait hal suksesi kepemimpinan nasional menjelang Pemilu 2024, konstelasi politik nasional membuat masyarakat terpolarisasi yang bisa mengancam terjadinya perpecahan bangsa.

Hal ini disebabkan oleh penyebaran isu politik identitas yang merugikan kelompok tertentu, yang bisa berdampak pada komplik SARA. Karena rakyat lebih memilih adanya perubahan total, dan sudah muak dengan tipu daya kebohongan dan adu domba yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Fenomena yang terjadi dalam masyarakat, dimana pemimpin mengharapkan rakyat ke arah timur, justeru rakyat memilih arah barat. Lihatlah contoh bagaimana terpuruknya  polling Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto yang diharapkan muncul sebagai pelanjut rezim, justeru rakyat banyak dari Sabang sampai Marauke sangat mengharapkan terjadinya era perubahan.

Hal ini mereka perlihatkan melalui sikap gotong royong dan secara sukarela berbondong-bondong mendeklarasikan dukungan ke figur Anies Rasyid Baswedan (ARB). Semoga masyarakat makin sadar akan pentingnya persatuan dan kesatuan, agar tidak mudah diadu domba dan dipecahbelah demi meraih kepentingan kelompok tertentu.***

 

------

Penulis: Drs Achmad Ramli Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Mantan Ketua Bidang Advokasi & Perlindungan Hukum APSI Pusat, Ketua Koorda Alumni IPM/IRM Kabupaten Gowa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama