-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 11 Mei 2025
Negara yang Absen
dan Bangkitnya Premanisme
(Langkah Akademis
dan Peran Agama)
Oleh: Najamuddin Petta Solong
(Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo)
Tulisan tentang Hercules Rosario dalam
tinjauan akademisi Australia, Ian Douglas Wilson, menarik dikaji karena membuka
mata kita tentang fenomena premanisme di Indonesia yang masih menjadi momok
hingga hari ini.
Wilson menggambarkan Hercules sebagai
cerminan dari kegagalan negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya, seperti
melindungi, mengatur, dan menciptakan keadilan.
Wilson dalam analisisnya menunjukkan bahwa
kehadiran Hercules dan para preman lainnya adalah akibat dari kekosongan
otoritas formal dan ambiguitas hukum yang dibiarkan tumbuh oleh rezim
pasca-Orde Baru. Mereka menjadi “makelar kekerasan” dalam sistem demokrasi yang
pincang, di mana hukum tidak mampu menjangkau lorong-lorong paling gelap dari
masyarakat.
Buku Wilson yang berjudul “The Politics of
Protection Rackets in Post-New Order Indonesia” pada Maret 2015 setebal 220
halaman (diterjemahkan oleh Mirza Jaka Suryana ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul: “Politik Jatah Preman” yang diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri,
Desember 2018), namun masih relevan dengan kondisi saat ini yang memberikan
wawasan mendalam tentang bagaimana premanisme telah menjadi bagian dari
struktur kekuasaan di Indonesia.
Tulisan ini juga menyoroti bagaimana
premanisme telah berkembang dan beradaptasi dengan zaman. Mereka tidak lagi
hanya mengandalkan kekerasan fisik, tetapi juga menggunakan jaringan dan
loyalitas untuk membentuk otoritas tanpa legitimasi formal.
Mereka menawarkan “perlindungan” dari
kekacauan yang mereka sendiri ciptakan, dan dalam logika yang ironis, itu
dianggap sebagai bentuk “kontribusi sosial.”
Kita dapat melihat fenomena ini sebagai
kegagalan hukum, tetapi lebih dari itu, ini adalah cermin dari negara yang tak
selesai. Negara yang membiarkan kekuasaan berserakan dan tidak pernah
sungguh-sungguh merebutnya kembali dari tangan-tangan tak bernama.
Pengukuhan Hercules sebagai Ketua Panglima
Santri se-Jawa Barat diunggah vidio viral pada 06 Mei 2025. Penetapan
pengangkatan ini melalui Surat Keputusan Majelis Pengurus Wilayah Banten MP3I
dengan nomor 014/MPWB/A.I/SK/VIII/2024 sehingga dalam konteks ini adalah ironi
yang menyedihkan. Ini menunjukkan bahwa premanisme masih memiliki pengaruh yang
kuat dalam masyarakat dan bahwa negara masih belum mampu mengatasi masalah ini.
Kita perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah
kekuasaan kini benar-benar ada di tangan rakyat, atau diam-diam telah diambil
alih oleh yang tahu cara menundukkan tanpa perlu bicara keras?
Apakah kita akan terus membiarkan
premanisme menjadi bagian dari kehidupan kita, ataukah kita akan berani
mengambil langkah untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum yang
sebenarnya?
Perguruan Tinggi dan Pesantren
Guna mengatasi masalah premanisme, perlu
dilakukan langkah-langkah akademis dan edukasi yang efektif. Berikut beberapa
gagasan yang bisa dilakukan yaitu pertama, Pengintegrasian Materi tentang
Premanisme dalam Kurikulum Pendidikan.
Perguruan tinggi dan sekolah dapat
memasukkan materi tentang premanisme dan dampaknya terhadap masyarakat dalam
kurikulum pendidikan. Ini dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman
siswa tentang masalah premanisme.
Kedua, Penelitian Akademis. Perguruan
tinggi dapat melakukan penelitian tentang premanisme dan dampaknya terhadap
masyarakat. Penelitian ini dapat membantu memahami akar masalah premanisme dan
mencari solusi yang efektif.
Ketiga, Pondok
Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Moral. Pondok pesantren dapat memainkan
peran penting dalam membentuk karakter dan moral peserta didik dengan cara
mengajarkan nilai-nilai moral dan etika yang dapat membantu mencegah perilaku
premanisme.
Keempat, Kerjasama antara Perguruan Tinggi
dan Pondok Pesantren. Perguruan tinggi dan pondok pesantren dapat bekerjasama
untuk mengembangkan program pendidikan yang efektif dalam mengatasi masalah
premanisme.
Kelima, Pemberdayaan Masyarakat. Perguruan
tinggi dan pondok pesantren dapat memberdayakan masyarakat untuk memahami dan
mengatasi masalah premanisme dengan cara melakukan penyuluhan dan pelatihan
untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah
premanisme.
Di sinilah peranan agama sangat penting.
Agama dapat membantu membentuk karakter dan moral individu, serta mempromosikan
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Pondok pesantren dapat memainkan peranan
penting dalam mengajarkan nilai-nilai agama dan moral yang dapat membantu
mencegah perilaku premanisme.
Penerapan langkah-langkah akademis dan
edukasi, serta memaksimalkan peranan agama, dapat membantu mengatasi masalah
premanisme di Indonesia. Semua pihak perlu bekerjasama dan bersinergi untuk
menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Kendati demikian harus diakui peranan
agama dan akademisi dalam mengatasi masalah premanisme dan membangun masyarakat
yang lebih adil dan sejahtera di negeri ini memang belum maksimal.
Setidaknya terdapat beberapa faktor yang
dapat menyebabkan hal ini, seperti (a) Kurangnya implementasi nilai-nilai agama
dan moral.
Meskipun agama dan akademisi memiliki
peranan penting dalam membentuk karakter dan moral individu, namun
implementasinya masih belum maksimal yang lebih banyak masih berorientasi pada
recehan.
(b) Prioritas pada kepentingan pribadi.
Selanjutnya dalam beberapa kasus, agama dan pendidikan cenderung hanya
digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bukan untuk
kepentingan masyarakat luas.
(c) Kurangnya kesadaran dan partisipasi
masyarakat. Masyarakat belum sepenuhnya sadar akan pentingnya peranan tokoh
agama dan akademisi serta pemerintah dalam mengatasi masalah premanisme dan
membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
(d) Sistem pendidikan yang belum efektif. Sistem
pendidikan di Indonesia masih belum efektif dalam mengajarkan nilai-nilai moral
dan etika yang dapat membantu mencegah perilaku premanisme karena lebih
berorientasi pasar kerja dan penguatan kecerdasan ketimbang spiritualitas serta
ruhaniah.
(e) Kurangnya kerjasama antara tokoh
agama, akademisi, dan pemerintah. Kerjasama antara tokoh agama, akademisi, dan
pemerintah masih belum optimal dalam mengatasi masalah premanisme dan membangun
masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Itulah sebabnya perlu dilakukan upaya
untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat, serta memperbaiki
sistem pendidikan dan kerjasama antara tokoh agama, akademisi, dan pemerintah.
Hanya dengan begitu, peranan agama dan akademisi dapat lebih maksimal dalam
mengatasi masalah premanisme dan membangun masyarakat yang lebih adil dan
sejahtera.
Memahami dan Mengamalkan Nilai-Nilai Agama
Bagian akhir tulisan ini menarik dikutip
untuk menjadi bahan renungan mengatasi premanisme tulisan Maman A. Majid Binfas,
di Pedoman Karya, pada Jumat, 09 Mei 2025, tentang Iqra Bersalaman Wal
Asri yang bisa membawa kita pada refleksi mendalam tentang esensi nilai-nilai
spiritual dan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Maman mengawali dengan mengingatkan kita
tentang peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu ketika Nabi Ibrahim
dibakar oleh Raja Namrud, dan peran cicak yang berusaha memperbesar api, serta
burung pipit yang membantu dengan mengambil air dari danau untuk memadamkan
api.
Maman kemudian mengaitkan cerita ini
dengan kehidupan sehari-hari, di mana banyak orang yang mengklaim memiliki iman
kuat namun tidak tercermin dalam perilaku sehari-hari dengan mengutip QS
As-Saff ayat 3, yang mengkritik orang-orang yang mengatakan sesuatu yang tidak
mereka lakukan.
Ayat ini menjadi pengingat bagi kita
sebagai agamawan maupun akademisi untuk memastikan bahwa iman kita tidak hanya
diucapkan, tetapi juga diimplementasikan dalam tindakan nyata.
Maman juga mengkritik budaya karetan dan
kebiasaan masyarakat yang lebih mengutamakan penampilan luar daripada esensi
nilai-nilai spiritual dan moral. Menurutnya penting bagi akademisi apalagi
agamawan menekankan pentingnya memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama dalam
kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar mengucapkan kata-kata manis tanpa
tindakan nyata.
Dalam bagian akhir tulisannya, Maman
menggunakan metafora cicak dan tikus untuk menggambarkan perilaku manusia yang
hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan tidak peduli dengan nilai-nilai
moral dan spiritual.
Di sini pentingnya mengatasi premanisme
dengan menekankan pentingnya bimbingan logis dan bermata nurani untuk
menghindari perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki esensi
nilai-nilai spiritual.
Tulisan Maman ini dapat membawa agamawan
dan akademisi pada upaya refleksi tentang pentingnya memahami dan mengamalkan
nilai-nilai spiritual dan moral dalam kehidupan sehari-hari sebagai teladan
guna mengatasi segala bentuk premanisme baik nyata maupun terselubung.
Apakah kita hanya mengucapkan kata-kata
manis tanpa tindakan nyata, ataukah kita benar-benar memahami dan mengamalkan
nilai-nilai agama dalam kehidupan kita?
Jawaban atas pertanyaan Maman ini akan
menentukan apakah kita dapat mencapai esensi Iqra dan Wal Asri dalam kehidupan
kita, termasuk untuk mencegah perilaku premanisme di sekitar dan bahkan yang
berpotensi pada diri kita. Wallahu a’lam.