Negara yang Absen dan Bangkitnya Premanisme

Pengukuhan Hercules sebagai Ketua Panglima Santri se-Jawa Barat diunggah vidio viral pada 06 Mei 2025. Penetapan pengangkatan ini melalui Surat Keputusan Majelis Pengurus Wilayah Banten MP3I dengan nomor 014/MPWB/A.I/SK/VIII/2024 sehingga dalam konteks ini adalah ironi yang menyedihkan. Ini menunjukkan bahwa premanisme masih memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat dan bahwa negara masih belum mampu mengatasi masalah ini.   

 

-----

PEDOMAN KARYA

Ahad, 11 Mei 2025

 

Negara yang Absen dan Bangkitnya Premanisme

 

(Langkah Akademis dan Peran Agama)

 

Oleh: Najamuddin Petta Solong

(Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo)

 

Tulisan tentang Hercules Rosario dalam tinjauan akademisi Australia, Ian Douglas Wilson, menarik dikaji karena membuka mata kita tentang fenomena premanisme di Indonesia yang masih menjadi momok hingga hari ini.

Wilson menggambarkan Hercules sebagai cerminan dari kegagalan negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya, seperti melindungi, mengatur, dan menciptakan keadilan.

Wilson dalam analisisnya menunjukkan bahwa kehadiran Hercules dan para preman lainnya adalah akibat dari kekosongan otoritas formal dan ambiguitas hukum yang dibiarkan tumbuh oleh rezim pasca-Orde Baru. Mereka menjadi “makelar kekerasan” dalam sistem demokrasi yang pincang, di mana hukum tidak mampu menjangkau lorong-lorong paling gelap dari masyarakat.

Buku Wilson yang berjudul “The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia” pada Maret 2015 setebal 220 halaman (diterjemahkan oleh Mirza Jaka Suryana ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Politik Jatah Preman” yang diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri, Desember 2018), namun masih relevan dengan kondisi saat ini yang memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana premanisme telah menjadi bagian dari struktur kekuasaan di Indonesia.

Tulisan ini juga menyoroti bagaimana premanisme telah berkembang dan beradaptasi dengan zaman. Mereka tidak lagi hanya mengandalkan kekerasan fisik, tetapi juga menggunakan jaringan dan loyalitas untuk membentuk otoritas tanpa legitimasi formal.

Mereka menawarkan “perlindungan” dari kekacauan yang mereka sendiri ciptakan, dan dalam logika yang ironis, itu dianggap sebagai bentuk “kontribusi sosial.”

Kita dapat melihat fenomena ini sebagai kegagalan hukum, tetapi lebih dari itu, ini adalah cermin dari negara yang tak selesai. Negara yang membiarkan kekuasaan berserakan dan tidak pernah sungguh-sungguh merebutnya kembali dari tangan-tangan tak bernama.

Pengukuhan Hercules sebagai Ketua Panglima Santri se-Jawa Barat diunggah vidio viral pada 06 Mei 2025. Penetapan pengangkatan ini melalui Surat Keputusan Majelis Pengurus Wilayah Banten MP3I dengan nomor 014/MPWB/A.I/SK/VIII/2024 sehingga dalam konteks ini adalah ironi yang menyedihkan. Ini menunjukkan bahwa premanisme masih memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat dan bahwa negara masih belum mampu mengatasi masalah ini.

Kita perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah kekuasaan kini benar-benar ada di tangan rakyat, atau diam-diam telah diambil alih oleh yang tahu cara menundukkan tanpa perlu bicara keras?

Apakah kita akan terus membiarkan premanisme menjadi bagian dari kehidupan kita, ataukah kita akan berani mengambil langkah untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum yang sebenarnya?

 

Perguruan Tinggi dan Pesantren

 

Guna mengatasi masalah premanisme, perlu dilakukan langkah-langkah akademis dan edukasi yang efektif. Berikut beberapa gagasan yang bisa dilakukan yaitu pertama, Pengintegrasian Materi tentang Premanisme dalam Kurikulum Pendidikan.

Perguruan tinggi dan sekolah dapat memasukkan materi tentang premanisme dan dampaknya terhadap masyarakat dalam kurikulum pendidikan. Ini dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman siswa tentang masalah premanisme.

Kedua, Penelitian Akademis. Perguruan tinggi dapat melakukan penelitian tentang premanisme dan dampaknya terhadap masyarakat. Penelitian ini dapat membantu memahami akar masalah premanisme dan mencari solusi yang efektif.

Ketiga, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Moral. Pondok pesantren dapat memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan moral peserta didik dengan cara mengajarkan nilai-nilai moral dan etika yang dapat membantu mencegah perilaku premanisme.

Keempat, Kerjasama antara Perguruan Tinggi dan Pondok Pesantren. Perguruan tinggi dan pondok pesantren dapat bekerjasama untuk mengembangkan program pendidikan yang efektif dalam mengatasi masalah premanisme.

Kelima, Pemberdayaan Masyarakat. Perguruan tinggi dan pondok pesantren dapat memberdayakan masyarakat untuk memahami dan mengatasi masalah premanisme dengan cara melakukan penyuluhan dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah premanisme.

Di sinilah peranan agama sangat penting. Agama dapat membantu membentuk karakter dan moral individu, serta mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Pondok pesantren dapat memainkan peranan penting dalam mengajarkan nilai-nilai agama dan moral yang dapat membantu mencegah perilaku premanisme.

Penerapan langkah-langkah akademis dan edukasi, serta memaksimalkan peranan agama, dapat membantu mengatasi masalah premanisme di Indonesia. Semua pihak perlu bekerjasama dan bersinergi untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Kendati demikian harus diakui peranan agama dan akademisi dalam mengatasi masalah premanisme dan membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera di negeri ini memang belum maksimal.

Setidaknya terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan hal ini, seperti (a) Kurangnya implementasi nilai-nilai agama dan moral.

Meskipun agama dan akademisi memiliki peranan penting dalam membentuk karakter dan moral individu, namun implementasinya masih belum maksimal yang lebih banyak masih berorientasi pada recehan.

(b) Prioritas pada kepentingan pribadi. Selanjutnya dalam beberapa kasus, agama dan pendidikan cenderung hanya digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan masyarakat luas.

(c) Kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat. Masyarakat belum sepenuhnya sadar akan pentingnya peranan tokoh agama dan akademisi serta pemerintah dalam mengatasi masalah premanisme dan membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

(d) Sistem pendidikan yang belum efektif. Sistem pendidikan di Indonesia masih belum efektif dalam mengajarkan nilai-nilai moral dan etika yang dapat membantu mencegah perilaku premanisme karena lebih berorientasi pasar kerja dan penguatan kecerdasan ketimbang spiritualitas serta ruhaniah.

(e) Kurangnya kerjasama antara tokoh agama, akademisi, dan pemerintah. Kerjasama antara tokoh agama, akademisi, dan pemerintah masih belum optimal dalam mengatasi masalah premanisme dan membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Itulah sebabnya perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat, serta memperbaiki sistem pendidikan dan kerjasama antara tokoh agama, akademisi, dan pemerintah. Hanya dengan begitu, peranan agama dan akademisi dapat lebih maksimal dalam mengatasi masalah premanisme dan membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

 

Memahami dan Mengamalkan Nilai-Nilai Agama

 

Bagian akhir tulisan ini menarik dikutip untuk menjadi bahan renungan mengatasi premanisme tulisan Maman A. Majid Binfas, di Pedoman Karya, pada Jumat, 09 Mei 2025, tentang Iqra Bersalaman Wal Asri yang bisa membawa kita pada refleksi mendalam tentang esensi nilai-nilai spiritual dan moral dalam kehidupan sehari-hari.

Maman mengawali dengan mengingatkan kita tentang peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu ketika Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud, dan peran cicak yang berusaha memperbesar api, serta burung pipit yang membantu dengan mengambil air dari danau untuk memadamkan api.

Maman kemudian mengaitkan cerita ini dengan kehidupan sehari-hari, di mana banyak orang yang mengklaim memiliki iman kuat namun tidak tercermin dalam perilaku sehari-hari dengan mengutip QS As-Saff ayat 3, yang mengkritik orang-orang yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan.

Ayat ini menjadi pengingat bagi kita sebagai agamawan maupun akademisi untuk memastikan bahwa iman kita tidak hanya diucapkan, tetapi juga diimplementasikan dalam tindakan nyata.

Maman juga mengkritik budaya karetan dan kebiasaan masyarakat yang lebih mengutamakan penampilan luar daripada esensi nilai-nilai spiritual dan moral. Menurutnya penting bagi akademisi apalagi agamawan menekankan pentingnya memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar mengucapkan kata-kata manis tanpa tindakan nyata.

Dalam bagian akhir tulisannya, Maman menggunakan metafora cicak dan tikus untuk menggambarkan perilaku manusia yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan tidak peduli dengan nilai-nilai moral dan spiritual.

Di sini pentingnya mengatasi premanisme dengan menekankan pentingnya bimbingan logis dan bermata nurani untuk menghindari perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki esensi nilai-nilai spiritual.

Tulisan Maman ini dapat membawa agamawan dan akademisi pada upaya refleksi tentang pentingnya memahami dan mengamalkan nilai-nilai spiritual dan moral dalam kehidupan sehari-hari sebagai teladan guna mengatasi segala bentuk premanisme baik nyata maupun terselubung.

Apakah kita hanya mengucapkan kata-kata manis tanpa tindakan nyata, ataukah kita benar-benar memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan kita?

Jawaban atas pertanyaan Maman ini akan menentukan apakah kita dapat mencapai esensi Iqra dan Wal Asri dalam kehidupan kita, termasuk untuk mencegah perilaku premanisme di sekitar dan bahkan yang berpotensi pada diri kita. Wallahu a’lam.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama